- Sebuah studi terbaru menyatakan bahwa serbuk sari berlebihan akibat pertumbuhan vegetasi di akhir zaman es mungkin menyebabkan alergi pada mamut berbulu, mengganggu indra penciuman dan komunikasi mereka, yang berujung pada penurunan populasi.
- Alergi yang dipicu serbuk sari ini kemungkinan besar menghambat mamut dalam mencari makanan dan pasangan, yang mempercepat kepunahan mereka.
- Beberapa ahli skeptis terhadap teori alergi ini, dengan alasan bahwa perubahan iklim dan perburuan manusia lebih mungkin menjadi penyebab utama kepunahan mamut.
Mamut berbulu (Mammuthus primigenius) atau woolly mammoth merupakan salah satu megafauna yang hidup pada masa Pleistosen, sekitar 2,6 juta hingga 11.700 tahun yang lalu. Hewan ini mampu bertahan dalam iklim dingin, beradaptasi dengan lapisan lemak tebal dan bulu yang lebat untuk melindungi mereka dari suhu ekstrem. Mamut tersebar luas di wilayah Eurasia dan Amerika Utara, tetapi mereka mulai punah secara bertahap sekitar 10.000 tahun yang lalu, seiring dengan berakhirnya zaman es. Para ilmuwan telah lama berdebat tentang penyebab kepunahan mereka, dengan beberapa hipotesis populer menyebutkan faktor seperti perubahan iklim, perburuan oleh manusia prasejarah, dan penurunan keragaman genetik akibat inbreeding. Namun, penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Earth History and Biodiversity pada 27 Agustus lalu menyampaikan teori baru yang cukup kontroversial, yaitu serbuk sari tumbuhan yang menyebabkan alergi berperan dalam mengganggu indra penciuman mamut, yang pada akhirnya menyebabkan kepunahan.
Baca Juga: Sauropoda, Hewan Terbesar yang Pernah Mengembara di Daratan Bumi
Pemanasan Global Sebabkan Ledakan Vegetasi
Menurut para peneliti, pemanasan global yang terjadi pada akhir zaman es terakhir menyebabkan perubahan besar dalam flora di seluruh wilayah yang dikenal sebagai stepa mamut. Wilayah ini sebelumnya didominasi oleh padang rumput kering, tetapi pemanasan global memicu pertumbuhan tanaman berbunga yang lebih melimpah. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah serbuk sari di udara, yang dapat memicu reaksi alergi pada hewan-hewan besar seperti mamut.
Peneliti berpendapat bahwa mamut yang terkena alergi akan mengalami gangguan penciuman yang serius, sehingga kesulitan menemukan pasangan selama musim kawin. Hal ini diyakini menyebabkan penurunan populasi yang signifikan, yang pada akhirnya mengarah pada kepunahan. “Salah satu mekanisme yang mungkin untuk kepunahan hewan selama perubahan iklim adalah gangguan pada indra penciuman akibat perkembangan alergi ketika flora berubah,” tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Baca juga: Satwa-satwa Prasejarah akan Bangkit Lagi, Begini Penjelasan Ilmuwan Rusia
Untuk membuktikan hipotesis ini, para peneliti menyarankan pemeriksaan lebih lanjut terhadap sisa-sisa mamut yang ditemukan dalam keadaan beku atau terawetkan. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya reaksi alergi adalah dengan menganalisis kandungan serbuk sari dalam perut mamut yang diawetkan atau dalam bahan tumbuhan yang ditemukan di sekitar bangkai mereka. Selain itu, feses fosil (koprolit) mamut juga bisa dianalisis untuk mencari tanda-tanda adanya imunoglobulin E (IgE), protein yang diproduksi tubuh selama respons alergi.
Namun, hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara khusus mencari keberadaan IgE dalam sampel mamut purba. Ini membuka peluang baru bagi studi lanjutan untuk menguji apakah mamut memang mengalami alergi serius akibat perubahan lingkungan.
Perdebatan Panjang Tentang Penyebab Kepunahan Mamut
Sampai saat ini, para ilmuwan sepakat bahwa kepunahan mamut disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk perburuan oleh manusia, perubahan lingkungan, dan inbreeding (perkawinan antar individu yang memiliki hubungan kekerabatan dekat). Populasi mamut mulai menurun sekitar 10.000 tahun yang lalu, tetapi sekelompok kecil masih bertahan di Pulau Wrangel di timur laut Rusia hingga sekitar 4.000 tahun yang lalu.
Namun, masih ada perdebatan mengenai sejauh mana masing-masing faktor ini berkontribusi terhadap kepunahan mamut. Hipotesis baru yang mengaitkan reaksi alergi dengan kepunahan mamut menambah elemen baru dalam diskusi ini, tetapi para ahli memperingatkan bahwa teori ini masih memerlukan lebih banyak bukti sebelum dapat diterima secara luas.
Baca Juga: Habitat Purba Burung Raksasa Moa Jadi Suaka Bagi Spesies Terancam Punah di Selandia Baru
Pandangan Skeptis dari Para Ahli
Meskipun hipotesis ini menarik, tidak semua ahli setuju dengan gagasan bahwa alergi adalah penyebab utama kepunahan mamut. Vincent Lynch, seorang ahli biologi evolusi dan profesor di University at Buffalo, meragukan bahwa alergi dari serbuk sari memainkan peran besar dalam kepunahan mamut. “Ide ini terdengar agak jauh, dan saya tidak yakin bagaimana Anda akan membuktikannya,” kata Lynch dalam email yang dikirimkan ke Live Science.
Namun, Lynch mengakui bahwa ada bukti genetik yang menunjukkan bahwa mamut terakhir di Pulau Wrangel memang kehilangan kemampuan untuk mencium aroma tumbuhan berbunga. Data DNA purba menunjukkan bahwa gen yang berhubungan dengan kemampuan mendeteksi aroma tumbuhan mengalami mutasi pada mamut-mamut terakhir ini. Meskipun demikian, Lynch berpendapat bahwa kepunahan mamut lebih mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor lingkungan dan dampak manusia, bukan hanya alergi saja.
Masih Perlu Riset Lebih Lanjut
Meskipun hipotesis ini masih memerlukan bukti lebih lanjut, gagasan bahwa serbuk sari dan alergi bisa berperan dalam kepunahan mamut menawarkan perspektif baru dalam memahami dampak perubahan iklim pada ekosistem purba. Perubahan lingkungan yang cepat pada akhir zaman es terakhir jelas membawa tantangan besar bagi mamut dan spesies lainnya, tetapi apakah alergi merupakan salah satu faktor utama dalam kepunahan mereka masih menjadi pertanyaan terbuka.
Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa perubahan lingkungan dan iklim dapat memiliki dampak yang sangat luas terhadap kehidupan hewan, termasuk yang mungkin tidak langsung terlihat, seperti alergi. Penelitian lebih lanjut akan membantu mengklarifikasi sejauh mana faktor-faktor ini mempengaruhi kepunahan mamut dan apa yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini untuk memahami dampak perubahan iklim saat ini pada keanekaragaman hayati.