- Sebuah studi baru-baru ini yang menilai seberapa efektif 80 kawasan lindung baru di seluruh Asia Tenggara dikelola, menemukan lebih dari setengahnya tidak efektif dalam mencegah deforestasi.
- Tiga puluh enam kawasan lindung yang dikelola dengan baik telah mampu mencegah 78.910 hektar penggundulan hutan, sementara 44 kawasan lindung yang dikelola secara tidak efektif kehilangan hampir area tutupan hutan yang sama.
- Para peneliti dan konservasionis mengatakan kurangnya dana dan kekurangan staf merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap masalah tersebut,.
- Untuk kawasan lindung yang dikelola secara tidak efektif memerlukan dana sekitar USD 17 juta untuk mencegah penggundulan hutan dan memberikan manfaat konservasi dan iklim.
Selama dua dekade terakhir, negara-negara di seluruh dunia telah berlomba-lomba untuk menetapkan sebagian besar daratan dan perairan mereka sebagai kawasan lindung guna memenuhi target ambisius “30 by 30” yang menyerukan agar 30% daratan dan lautan Bumi dilindungi secara hukum pada tahun 2030.
Untuk mencapai target itu, para pemerintah negara-negara seakan berlomba untuk memperluas kawasan lindung yang ada atau mendirikan kawasan baru untuk mencegah deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi sebab pemanasan global.
Namun, seberapa baik kawasan lindung ini bekerja?
Itulah pertanyaan yang diajukan tim peneliti internasional untuk mengevaluasi keefektivitasan 80 kawasan lindung yang didirikan antara tahun 2007-2014 di seluruh Asia Tenggara.
Hasilnya, studi baru mereka yang diterbitkan dalam jurnal Current Biology, para peneliti melaporkan bahwa lebih dari separuh kawasan lindung ini gagal menghentikan deforestasi, yang mengakibatkan hilangnya 72.497 hektar hutan (atau seluas wilayah Jakarta lebih).
“Dalam 15 tahun terakhir, perluasan kawasan lindung merupakan mekanisme konservasi utama, namun tidak semua negara Asia Tenggara memiliki kemampuan finansial untuk membangun kawasan lindung secepat itu,” kata penulis utama Sreekar Rachakonda, yang kini menjadi peneliti pascadoktoral di University of Queensland, Australia, yang ketika penelitian ini berlangsung berada di National University of Singapore.
Kawasan Lindung Efektif dan Tidak Efektif dalam Pengelolaannya
Dengan menggunakan komputasi citra satelit yang diambil antara tahun 2000 dan 2020, para peneliti membandingkan 80 kawasan lindung dengan petak-petak hutan tak terlindungi di sekitarnya. Selanjutnya mereka mengamati apakah kawasan lindung yang ditujuk serta merta mengurangi laju deforestasi jika dibandingkan area tak terlindungi di sekitarnya.
Studi itu menemukan ada 36 dari 80 kawasan lindung yang efektif dalam mengurangi tingkat deforestasi. Secara kolektif ia mencegah hilangnya 78.910 hektar di seluruh Asia Tenggara, atau mencegah hilangnya 8.821 hektar hutan setiap tahunnya. Analisis menunjukkan tingkat deforestasi di kawasan lindung ini lebih rendah, jika dibandingkan kawasan ini tidak dilindungi.
Pencegahan hilangnya hutan ini memberi keuntungan bagi 91 spesies burung dan 98 spesies mamalia yang terancam punah, termasuk tikus berduri mindanao (Tarsomys echinatus), spesies endemik yang rentan di Taman Nasional Pegunungan Kitanglad di Filipina.
Juga menghasilkan manfaat iklim dengan mengurangi emisi sebesar 2,10 MtCO2e per tahun, yang sebanding dengan total emisi Bhutan, pada tahun 2021.
Adapun 44 kawasan lindung sisanya mengalami tingkat deforestasi yang sama atau lebih tinggi daripada yang terjadi sebelum penetapannya. Hutan yang hilang mencapai 72.497 hektar dan emisi 2,07 MtCO2e per tahun.
Ke-44 kawasan lindung ini adalah rumah bagi 121 spesies burung yang terancam punah dan 105 spesies mamalia yang terancam punah.
Ini termasuk burung munguk alis putih (Sitta victoriae), burung endemik yang terancam punah di Taman Nasional Nat Ma Taung di Myanmar Barat yang 18% tutupan hutannya hilang sejak tahun 2010.
Jenis-jenis burung seperti: burung hantu bertopeng seram (Tyto almae), burung bandicoot seram yang terancam punah (Rhynchomeles prattorum) dan tikus berekor mosaik gelap (Melomys aerosus), semuanya endemik di TN Manusela di Pulau Seram, Indonesia pun terancam.
“Habitat yang baik diperlukan untuk konservasi, tetapi itu saja tidak cukup,” ungkap James Bampton, Kepala Hutan Regional untuk Asia Pasifik WWF, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut tetapi memahami pengelolaan kawasan lindung di wilayah Mekong Raya.
“Kami setuju dengan temuan mereka bahwa pengelolaan kawasan lindung yang tidak efektif menyebabkan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati,” lanjutnya.
Mengapa ada Kawasan Lindung Baru yang Tidak Efektif?
Meskipun kawasan lindung sangat penting untuk konservasi, pengelolaannya secara efektif memerlukan uang dan staf terlatih, yang keduanya tidak selalu tersedia.
Dana tidak hanya untuk mendirikan tetapi juga untuk melanjutkan operasi rutin. Mereka harus membayar penjaga, melatih staf, mendapatkan peralatan seperti pelacak GPS untuk pemantauan, patroli area, membeli makanan dan bahan bakar, serta memasang papan dan rambu.
Studi tersebut menemukan bahwa 44 kawasan lindung yang tidak efektif, mencakup total 1,5 juta hektar, memerlukan setidaknya USD 17 juta untuk meningkatkan pengelolaannya.
“Banyak teknologi yang menghabiskan biaya, dan anggaran pemerintah cukup ketat untuk pengelolaan kawasan lindung,” kata ilmuwan konservasi yang berbasis di Malaysia, Gopalasamy Reuben Clements menyebutkan.
Efektivitas kawasan lindung meningkat seiring dengan peningkatan pendanaan. Korelasi antara PDB per kapita dan efektivitas kawasan lindung cukup kuat, yang menunjukkan bahwa negara-negara kaya cenderung memiliki kawasan lindung yang lebih efektif.
“Tidak hanya penting untuk memperluas kawasan lindung,” kata penulis studi Zeng Yiwen dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
“Namun juga perlu memastikan bahwa kawasan lindung berfungsi. Pendanaan dan dukungan amat diperlukan, agar kawasan lindung dapat terus berfungsi dengan baik bagi keanekaragaman hayati dan iklim.”
Mendirikan kawasan lindung baru bisa lebih mudah daripada mempertahankan kawasan lindung yang sudah ada karena banyak hibah dan dana filantropi tersedia untuk kawasan lindung.
“Namun, begitu kawasan lindung terbentuk, saat itulah pendanaan menyusut,” kata Clements.
Kondisi ini sebutnya para penyandang dana berasumsi bahwa tanggung jawab untuk mengambil alih pendanaan untuk mengelola kawasan ini kini berada di tangan pemerintah.
“Namun pada kenyataannya, masih diperlukan sejumlah dana transisi. [Sampai sekarang] saya tidak melihat adanya contoh dana transisi untuk kawasan lindung yang baru dibentuk.”
Iding Achmad Haidir, seorang ahli kehutanan Indonesia, mengatakan tantangan pendanaan dan sumberdaya manusia sangat berat di kawasan lindung yang bukan taman nasional.
“Di Indonesia, taman nasional memiliki lebih banyak pendanaan dan intervensi sumber daya manusia dibandingkan dengan cagar alam dan [jenis] kawasan lindung lainnya,” katanya, seraya mencatat bahwa, tidak seperti taman nasional, cagar alam dikelola di tingkat provinsi.
Meskipun studi saat ini tidak menemukan perbedaan antara kawasan lindung yang efektif dan tidak efektif berdasarkan kategori kawasan lindungnya, studi ini menemukan bahwa kawasan yang melaporkan tujuan pengelolaannya kepada IUCN, berkinerja lebih baik daripada kawasan yang tidak melaporkan.
Dapatkah Pasar Karbon Mengatasi Kesenjangan Pendanaan?
Para peneliti mengatakan negara-negara Asia Tenggara dapat mengeksplorasi pasar karbon dan kredit karbon berbasis alam untuk menghasilkan pendapatan melalui proyek-proyek yang memberikan insentif bagi konservasi.
Menurut perkiraan mereka, potensi untuk mengimbangi emisi di kawasan lindung yang saat ini tidak efektif di Asia Tenggara setara dengan USD 12 juta di pasar karbon saat ini — jumlah yang dapat menutupi sebagian besar dari USD 17 juta yang dibutuhkan untuk mendanai kawasan lindung yang tidak efektif.
Namun, mengandalkan mekanisme berbasis pasar seperti itu juga ada kekurangannya.
“Dengan pendekatan berbasis pasar apa pun, ada risiko keruntuhan pasar. Itu membawa risiko dalam masa proyek,” kata Zeng.
Sebaliknya, pembiayaan campuran, dengan campuran pendanaan publik dan swasta untuk mengelola kawasan lindung, dapat mengurangi risiko, jelasnya.
Kredit karbon dan mekanisme terkait juga menuntut “tambahan”, atau bukti bahwa pengurangan emisi dapat terjadi karena proyek tersebut. Clements mengatakan, hal ini dapat menjadi tantangan.
“Kriteria untuk memenuhi syarat untuk tambahan menjadi semakin ketat. Anda memerlukan waktu transisi lima hingga 10 tahun agar [semuanya] dapat berfungsi.”
Pada akhirnya harus ada kemauan politik yang kuat untuk menjaga, melindungi, mendanai kawasan lindung. Pemerintah negara-negara dapat mengeksplorasi kredit keanekaragaman hayati, menjual produk hutan, keringanan pajak ekologi, dan ekowisata.
“Konservasi adalah hal yang berkelanjutan, itu selalu membutuhkan dukungan dan adaptasi terhadap situasi,” kata Bampton
Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 3 September 2024. Diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Sreekar, R., Koh, L. P., Lamba, A., Mammides, C., Teo, H. C., Dwiputra, A., & Zeng, Y. (2024). Conservation opportunities through improved management of recently established protected areas in Southeast Asia. Current Biology, 34(16), 3830-3835.e3. doi:10.1016/j.cub.2024.07.031
***
Foto utama: Burung tohoko atau pitta ternate (Erythropitta rufiventris cyanonota), burung endemik Ternate, Maluku Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia