- Pengadilan Negeri [PN] Surabaya, mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] terhadap PT SS, yang telah mencemari lingkungan. Perusahaan tekstil di Pasuruan, Jawa Timur, itu wajib membayar denda sebesar Rp48 miliar, Rabu [11/9/2024].
- Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum LHK], Rasio Ridho Sani, menyatakan tidak ada tempat di negeri ini bagi industri yang melakukan pencemaran lingkungan.
- Direktur Eksekutif Ecoton, Daru Setyorini, mengatakan putusan itu sangat bagus untuk perlindungan lingkungan, namun perlu konsistensi dalam menyikapi kasus serupa yang melibatkan industri besar.
- Akademisi dari Departemen Hukum Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, melihat ada kecenderungan politik penegakan hukum lingkungan hanya menyasar aktor-aktor menengah dan kecil. Penegakan hukum hendaknya bukan sebagai formalitas atau pelengkap, namun sungguh-sungguh dijalankan sesuai hukum yang mengatur.
Pengadilan Negeri [PN] Surabaya, mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] terhadap PT SS, yang telah mencemari lingkungan. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Rudito Surotomo, Rabu [11/9/2024], perusahaan tekstil di Pasuruan, Jawa Timur, itu dinyatakan bersalah dan wajib membayar denda sebesar Rp48 miliar.
Putusan ini berdasarkan gugatan KLHK pada 27 Desember 2023 terhadap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang harus bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan, sesuai Pasal 87 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan hidup.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum LHK], Rasio Ridho Sani, mengapresiasi putusan tersebut yang mengedepankan perlindungan lingkungan [in dubio pro natura] dan pertanggungjawaban mutlak [strict liability].
“Dikabulkannya gugatan KLHK oleh Majelis Hakim PN Surabaya harus memberikan pembelajaran kepada setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk tidak melakukan pencemaran maupun perusakan terhadap lingkungan.
“Tidak ada tempat di negeri ini bagi industri yang melakukan pencemaran lingkungan. Kami akan menindak pelaku yang menimbulkan kerusakan alam keresahan masyarakat,” jelasnya melalui keterangan tertulis, Rabu [18/9/2024].
Baca: Mahkamah Agung Tolak Kasasi, Pemprov Jatim dan PUPR Harus Pulihkan Kali Brantas
Konsistensi kasus
Direktur Eksekutif Ecoton, Daru Setyorini, mengatakan putusan itu sangat bagus untuk perlindungan lingkungan, namun perlu konsistensi dalam menyikapi kasus serupa yang melibatkan industri besar.
“Putusan ini tidak menyebut detil parameter pencemaran, selain bau dan warna air sumur warga yang tercemar,” ujarnya, Selasa [24/9/2024]
Ecoton sering melaporkan sejumlah perusahaan atau industri yang kedapatan membuang limbah ke sungai tanpa diolah. Termasuk, perusahaan yang membuang limbah B3.
“Namun, laporan tersebut dianggap tidak cukup untuk menjerat perusahaan yang mencemari lingkungan.”
Laporan terakhir Ecoton terkait pencemaran di Sungai Brantas, dimenangkan penggugat. Untuk kasus ini, pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pemulihan terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi.
“Selama ini, pengawasan pemerintah sangat lemah. Alasannya, kurangn personil, anggaran terbatas, dan laboratorium tidak memadai.”
Teknologi yang semakin maju, seharusnya banyak cara dan inovasi yang dilakukan pemerintah maupun industri untuk menangani masalah lingkungan.
“Penindakan tanpa tebang pilih dan sesuai ketentuan hukum, diharapkan memberikan efek jera kepada perusahaan pencemar lingkungan,” paparnya.
Baca juga: Sungai Brantas Sakit, Pemerintah Jawa Timur Diminta Laksanakan Putusan Mahkamah Agung
Penegakan hukum belum sentuh industri besar
Akademisi dari Departemen Hukum Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, mengapresiasi putusan yang menghukum perusahaan pencemar lingkungan.
Namun, Agung melihat ada kecenderungan politik penegakan hukum lingkungan hanya menyasar aktor-aktor menengah dan kecil. Menurut dia, penegakan hukum hendaknya bukan sebagai formalitas atau pelengkap, namun sungguh-sungguh dijalankan sesuai hukum yang mengatur.
“Ada kasus besar justru tidak terungkap, perusahaan di Sukoharjo misalnya, melakukan pencemaran bahkan mengkriminalisasi masyarakat. KLHK pernah mengeluarkan hasil audit lingkungan yang menyatakan ada pelanggaran terhadap izin lingkungan, tapi sampai hari ini perusahaan tersebut masih beroperasi,” paparnya, Selasa [1/10/2024].
Penegakan hukum bagi perusahaan atau industri besar, menurut Agung, sering mendatangkan kekhawatiran bagi pemerintah, terkait dampak dinamika politik, ekonomi, tenaga kerja, hingga pajak.
“Belum lagi relasi atau jejaring yang perusahaan bangun dengan politisi, misalnya. Itu kendala penegakan hukum kasus lingkungan selama ini,” ungkapnya.
Agung menambahkan, sanksi yang dijatuhkan belum sepenuhnya dilaksanakan pihak tergugat, karena dalam praktiknya denda yang dimenangkan KLHK hanya di atas kertas. Bahkan, dana ganti rugi itu menjadi pendapatan negara bukan pajak, yang belum tentu digunakan untuk memulihkan lingkungan akibat pencemaran tersebut.
“Fleksibilitas itu banyak sekali diberikan kepada perusahaan. Seolah menang di atas kertas, tapi uang itu tidak pernah masuk kas negara untuk pemulihan lingkungan,” pungkasnya.
Sungai Brantas Sakit, Pemerintah Jawa Timur Diminta Laksanakan Putusan Mahkamah Agung