- Reforma agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai hanya ilusi semata. Nasib petani justru kesulitan, perampasan tanah untuk investasi maupun proyek infrastruktur meraja-lela dari Aceh sampai Papua. Keberpihakan pemerintah pada investor membuat nasib petani makin terpuruk.
- Pemerintahan Jokowi membiarkan praktik korupsi agraria-sumber daya alam dan mafia tanah. Padahal, dalam struktur ekonomi nasional yang bersandar pengerukan kekayaan sumber agraria, episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang memberi izin, dan hak mengelola.
- Proyek strategis nasional (PSN), food estate juga ciptakan masalah. Sampai 2024, perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi mencapai 571.000 hektar, dan 1,86 juta hektar di 11 provinsi demi proyek food estate.
- Data KPA, selama satu dekade terjadi 2.939 konflik agraria seluas 6,30 juta hektar yang mengakibatkan 1,7 juta keluarga menjadi korban konflik agraria. Sebanyak, 2.442 petani, masyarakat adat, perempuan dan aktivis alami kriminalisasi.
Reforma agraria Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai hanya ilusi semata. Nasib petani justru kesulitan, perampasan tanah untuk investasi maupun proyek infrastruktur meraja-lela dari Aceh sampai Papua. Keberpihakan pemerintah pada investor membuat nasib petani makin terpuruk.
Di Jakarta, misal, petani Kampung Bayam bersusah payah bertani di lahan seadanya karena tergusur ketika proyek Jakarta International Stadium (JIS) mulai pada 2019.
“Paling kita yang sekarang ini tanam cabe, sayur-sayuran, melon, bertani seperti dulu aja, bedanya tempatnya nggak ada. Dengan lahan seadanya aja, pake pot,” ujar Muhammad Furqon, Ketua Kelompok Tani Bayam Madani kepada Mongabay saat aksi Hari Tani Nasional beberapa waktu lalu.
Kampung Bayam berada di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kini, tanah yang dahulu mereka tinggali sudah berdiri JIS. Ada sekitar 138 keluarga Kampung Bayam terdampak.
“Kami sebagai petani di ujung kota yang dihilangkan, didamparkan, negara belum hadir di tengah-tengah rakyat, miskin kota dan petani,” kata Furqon.
Mereka sempat berpindah-pindah tempat tinggal, mulai dari mendirikan tenda di sekitar proyek JIS, menempati Kampung Susun Bayam yang didirikan pemerintah hingga sekarang di hunian sementara Jalan Tongkol Pergudangan Kerapu 10, Ancol, Jakarta Utara.
Kini para petani mulai menata hidup dari awal. Mereka mulai bertani namun di tanah terbatas. Setidaknya, hasil tani bisa membantu menyambung hidup.
Dia bilang, gembar-gembor reforma agraria hanyalah omong kosong pemerintah saja. Pemerintah belum hadir untuk rakyat.
“Kehadiran pemerintah tidak ada, kami didamparkan begitu saja. Kami bertempat tinggal di Utara dengan lahan yang seadanya,” katanya.
Ato, petani asal Indramayu, Jawa Barat juga rasakan makin sulit bertani. Petani berusia 52 tahun yang tinggal di Desa Suka Slamet mengatakan, ratusan hektar lahan pertanian di desanya gagal panen karena kondisi cuaca.
Dia menilai, minim bantuan pemerintah dan tidak tepat sasaran pada petani.
Kondisi petani saat ini memprihatinkan karena terjadi perampasan tanah, seperti terjadi di Majalengka oleh perusahaan tebu.
Petani di sana, kata Ato, tanah perusahaan sewa tetapi tidak ada kejelasan. Akhirnya, perusahaan kuasai tanah warga tak berkutik.
“Jadi ia (perusahaan) bilangnya ‘sini fotocopy KTP KK (kartu keluarga) entar disewa dulu (tanah). Ternyata mau diambil susah. Lahan garapan, cuma garap udah lama.”
Reforma agraria gagal
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) mengatakan, ada 18 kejahatan terhadap konstitusi agraria di era pemerintahan Jokowi yang menyangkut deforestasi, pertambangan, penggunaan tanah untuk infrastruktur hingga pembangunan di pesisir laut kecil. Kejahatan itu, katanya, menimbulkan konflik dengan masyarakat dan petani hingga berkepanjangan.
“Padahal pemerintahan ini menjanjikan sejak awal akan menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektar, termasuk dalam konteks redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria,” katanya.
Dewi bilang, Jokowi gagal menjalankan reforma agraria sesuai dengan amanah konstitusi Pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960. UU itu merupakan landasan pembaruan politik dan hukum agraria nasional untuk membebaskan diri dari sisa-sisa feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme agraria melalui reforma agraria.
“Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR/BPN), hanya membagikan sertifikat tanah, tidak menyasar wilayah-wilayah konflik agraria, tidak koreksi terhadap ketimpangan penguasaan tanah dan tidak juga redistribusi tanah,” katanya.
KPA mencatat, selama 2015-2023, Jokowi melalui Menteri ATR/BPN hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77.000 hektar dari 7,24 juta hektar tanah terindikasi terlantar.
Pemerintahan Jokowi membiarkan praktik korupsi agraria-sumber daya alam dan mafia tanah. Padahal, dalam struktur ekonomi nasional yang bersandar pengerukan kekayaan sumber agraria, episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang memberi izin, dan hak mengelola.
Dia contohkan, melalui kebijakan UU Cipta Kerja terkait bank tanah, kawasan hutan dengan pengelolaan khusus dan pengampunan keterlanjuran bisnis ilegal kehutanan, tambang dan sawit. “Dari ketiga kanal kebijakan ini, legalisasi korupsi agraria-sumber daya alam mencapai 8,84 juta hektar.”
Reforma agraria Jokowi hanya janji manis. Kebijakan pemerintah, katanya, justru mengakibatkan konflik. UU Cipta Kerja, misal, melanggengkan perampasan lahan atas nama investasi.
Data KPA, selama satu dekade terjadi 2.939 konflik agraria seluas 6,30 juta hektar yang mengakibatkan 1,7 juta keluarga menjadi korban konflik agraria. Sebanyak, 2.442 petani, masyarakat adat, perempuan dan aktivis alami kriminalisasi.
Dari korban konflik agraria itu, 181 orang merupakan perempuan. Selanjutnya, 1.062 orang mengalami penganiayaan dan penangkapan karena mempertahankan hak konstitusionalnya atas tanah dan sumber kehidupan.
“Selama pemerintahan Jokowi ada ribuan petani ditangkap, ribuan petani diintimidasi bahkan tewas, 79 tewas di wilayah konflik agraria selama 10 tahun pemerintahan Jokowi,” katanya.
Dalam penanganan konflik agraria, pendekatan masih melibatkan TNI dan Polri.
Selain untuk investasi, kejahatan agraria juga dengan dalih proyek strategis nasional (PSN), food estate. Sampai 2024, katanya, perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi mencapai 571.000 hektar, dan 1,86 juta hektar di 11 provinsi demi proyek food estate.
Alih-alih menjaga kedaulatan pangan lewat proyek food estate pemerintah terus impor pangan. Terbukti, berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik 2023, produk luar negeri yang tersebar di pasar seperti beras 7,26 juta ton, dan sayuran 5,56 juta ton. Begitu juga, buah-buahan 4,24 juta ton, gula 35,70 juta ton bahkan garam mencapai 16.18 juta ton.
“Pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan lebih bertumpu pada korporasi pangan sebagai penyedia pangan melalui food estate. Petani makin gurem dan miskin, posisi mereka yakni petani dan nelayan sebagai produsen pangan terus dilemahkan.”
Kebijakan pangan Pemerintah Jokowi juga menghilangkan kedaulatan perempuan terhadap sistem produksi lokal.
Berdasarkan berbagai masalah itu, mereka menuntut penyelesaian pemerintah. Antara lain, pemerintah harus jalankan reforma agraria sesuai UUD 1945 dan UUPA 1960, reformasi kelembagaan untuk mendukung reforma agraria dan mencabut UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya.
Kemudian, menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria dan RUU Masyarakat Adat sebagai penguat cita-cita UUPA. Lalu, mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang, korupsi agraria dan mafia tanah.
Kemudian, menghentikan dan menghukum berat praktik para mafia impor pangan yang menghancurkan sendi-sendi produksi petani, nelayan, peternak dan petambak garam serta melemahkan pemenuhan hak bahkan kedaulatan pangan.
“Bubarkan bank tanah, membebaskan petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, kaum miskin perkotaan dan aktivis agraria yang dipenjara serta dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah.”
Tuntutan lain, mereka mendesak setop cara-cara kekerasan dan otoriter dalam penanganan konflik agraria. “Lindungi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan wilayah tangkap nelayan serta hentikan food estate.”
*******
Serikat Petani Pasundan, Bangun Pusat Edukasi dan Ekonomi Petani