- Transparansi dan akurasi data merupakan kunci mewujudkan perikanan tuna lestari di Indonesia. Masalahnya, untuk menghasilkan data akurat bukan pekerjaan mudah.
- Ada banyak alasan mengapa penyediaan data akurat begitu rumit. Salah satunya, titik pendaratan cukup banyak. Pendataan harus dengan merekam penangkapan sejak dari atas kapal. Untuk menghasilkan data akurat, idealnya dengan menempatkan petugas verifikator/enumerator di atas kapal. Persoalannya, metode itu berbiaya tinggi karena memerlukan banyak sumber daya manusia (SDM).
- Para pelaku industri, berperan sentral mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan. Dari merekalah tuna-tuna yang tersebar di pasaran berasal. Dengan begitu, standar tinggi perusahaan dapat memengaruhi etika saat penangkapan tuna.
- Glaudy Perdanaharja, peneliti Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mengatakan, ada metode yang bisa dipakai untuk menyiasati keterbatasan sumber daya manusia, dengan memanfaatkan teknologi untuk monitoring kapal atau di lokasi pendaratan. Inovasi teknologi bisa jadi pendekatan terbaik menyiasati berbagai kelemahan pendataan.
Andika, bukan nama sebenarnya, menegak habis segelas minuman dingin saat jeda bongkar muat tuna di Pelabuhan Benoa, Bali, akhir Juni lalu. Saat itu, sudah hari keempat proses penurunan tuna-tuna dari kapal pengumpul.
Pekerja asal Jawa Tengah ini tak tahu pasti berapa banyak tuna mereka yang turunkan. Dia perkirakan lebih 50 ton. Karena itu, proses bongkar muat sampai empat hari. “Ndak cukup kalau sehari karena jumlah banyak. Biasa empat hari, ada juga sampai seminggu,” katanya.
Pendaratan tuna dengan gunakan crane sebagai alat bantu. Selama proses penangkutan, tak ada petugas observer/verifikator yang mengecek ulang antara volume ikan dengan yang dilaporkan di logbook.
Dari lambung kapal, tuna-tuna itu mereka angkut ke kendaraan untuk bawa ke gudang di seberang dermaga.
Tak ada petugas observer ini memunculkan kekhawatiran soal akurasi data hasil tangkapan tuna. Padahal, data itu tidak hanya untuk mengetahui pemanfaatan hingga pada level per spesies, juga pada perkiraan setok.
Budi Wiryawan, Dewan Pembina Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), mengatakan, transparansi dan akurasi data jadi kunci mewujudkan perikanan tuna lestari. Masalahnya, untuk menghasilkan data akurat bukan pekerjaan mudah.
“Beberapa data tersedia belum mencerminkan angka yang sebenarnya. Padahal, data akurat ini tidak hanya berfungsi untuk mengetahui kondisi setok di alam, juga rujukan atau baseline penyusunan strategi pemanenan,” katanya dihubungi Mongabay, Juli lalu.
Ada banyak alasan mengapa penyediaan data akurat begitu rumit. Salah satunya, titik pendaratan cukup banyak. Pada, pelabuhan-pelabuhan besar seperti Benoa, seharusnya tak menjadi soal. Tetapi, katanya, ada banyak pelabuhan bayangan jadi lokasi pendaratan ikan.
Pendataan harus dengan merekam penangkapan sejak dari atas kapal. Untuk menghasilkan data akurat, idealnya dengan menempatkan petugas verifikator/enumerator di atas kapal. Persoalannya, metode itu berbiaya tinggi karena memerlukan banyak sumber daya manusia (SDM).
Satu inisiatif pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lakukan dengan pelibatan daerah tetapi hasil dinilai meragukan. “Karena di daerah itu ada anggapan, ketika produksi meningkat, berarti kinerja baik. Yang terjadi, data produksi di mark up. Padahal, bukan begitu yang diharapkan,” kata Budi.
Saat ini, KKP menerapkan pengisian logbook untuk melaporkan setiap jenis dan volume ikan hasil tangkapan. Namun katanya, sejauh mana data di logbook itu dilaporkan secara benar, tak ada jaminan. “Terlebih di lapangan, tidak ada petugas verifikator yang meng-kroscek ulang antara data tangkapan pada logbook dengan ikan yang didaratkan.”
Pada perikanan tuna, situasi itu jadi lebih rumit lagi. Karena armada tuna dalam sekali trip bisa memakan waktu 10-11 bulan memerlukan kapal collecting untuk membawa hasil tangkapan lebih cepat.
Dengan begitu, proses identifikasi, seperti asal kapal dan area tangkap, misal, jauh lebih rumit karena ikan berasal dari banyak kapal.
Gunakan teknologi
Glaudy Perdanaharja, peneliti Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) mengatakan, ideal pendataan sejak penangkapan kapal berlangsung. Namun, penempatan petugas observer tentu jadi tantangan lantaran trip kapal tuna memakan waktu berbulan-bulan.
Kendati demikian, ada metode yang bisa dipakai untuk menyiasati keterbatasan sumber daya manusia, dengan memanfaatkan teknologi untuk monitoring kapal atau di lokasi pendaratan.
Menurut dia, inovasi teknologi bisa jadi pendekatan terbaik menyiasati berbagai kelemahan pendataan.
Ada banyak negara, kata Glaudy memanfaatkan electronic monitoring untukagar data tangkapan akurat, termasuk kapal-kapal ikan yang beroperasi di Samudera Pasifik.
“Karena kalau mengandalkan observasi manual, jelas tidak mungkin. Selain SDM terbatas, juga mahal.”
Afdillah, Juru Kampanye Laut dan Pesisir Greenpeace, mengatakan, transparansi jadi satu kunci mewujudkan perikanan berkelanjutan. Sayangnya, dari ratusan perusahaan tuna di Indonesia, belum semua melakukannya, meski itu menguntungkan. “Karena beberapa negara tidak mau menerima produk tuna dengan rantai pasok tidak jelas.”
Secara khusus, Greenpeace beberapa kali memberikan penilai terhadap perusahaan tuna kaleng di Asia Tenggara, lima dari Indonesia. Hasilnya, hanya ada satu perusahaan mendapat rapor hijau. Sisanya, kuning maupun merah.
“Dari metode yang kami lakukan, kuning dan merah itu mengindikasikan produk tuna kalengan dari perusahaan ini belum clear. Ada standar lemah bahkan tidak dijalan perusahaan dimaksud,” kata Afdillah.
Meski begitu, dia mengapresiasi sikap perusahaan dengan sukarela dilakukan penilaian di tengah banyak perusahaan yang menolak.
Para pelaku industri, katanya, berperan sentral mewujudkan perikanan tuna berkelanjutan. Dari merekalah tuna-tuna yang tersebar di pasaran berasal. Dengan begitu, standar tinggi perusahaan dapat memengaruhi etika saat penangkapan tuna.
“Ketika armada-armada didorong penangkapan tuna tak merusak lingkungan, di hilir konsumen didorong memilih produk tuna berlabel ramah lingkungan, maka, pelaku industri memiliki tanggung jawab sama untuk memastikan rantai pasok secara jelas.”
Sertifikasi
Bali jadi salah satu sentra perikanan tuna di Indonesia. Statistik KKP 2021 menyebut, produksi tuna di Bali mencapai 18.800 ton dan menempatkan di peringkat ketujuh nasional. Enam daerah penghasil tuna di atas Bali adalah Sulawesi Utara (1), Maluku Utara (2), Maluku (3), Papua (4), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (5).
Laporan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) berjudul “Analisis rantai pasok dan rantai industri perikanan tuna di Benoa,” yang rilis 2021 itu menyebut, dominasi pangsa pasar tuna Bali ke Amerika Serikat (56,8%), lalu Jepang (18,4%), American Samoa (7,9%), Thailand (5,8%) dan Australia (3%).
Okta Tejo Darmono, peneliti Fisheries Resource Centre Indonesia (FRCI) mengatakan, Uni Eropa menerapkan standar relatif lebih ketat terkait produk tuna dan makanan laut bisa masuk ke sana.
Selain standar umum berkaitan dengan higienitas, satu persyaratan lain kepada pengekspor seperti mengantongi sertifikat Marine Stewardship Counci l(MSC).
Selain Uni Eropa, tak banyak negara memberlakukan sertifikat itu. Untuk mendapatkannya pun, pelaku industri harus melalui prosedur penilaian ketat. Kondisi ini pula yang membuat pelaku industri cenderung mengekspor produk ke negara-negara lain di luar Uni Eropa, seperti Tiongkok, Amerika, atau bahkan Jepang.
“Indikasinya, memang begitu ya. Uni Eropa ini memang dikenal memiliki standar lebih ketat. Mulai dari ketelusuran rantai pasok, sampai proses penangkapan di atas laut.”
MSC merupakan organisasi nirlaba internasional untuk mengatasi permasalahan perikanan tak berkelanjutan demi menjaga pasokan ikan di masa datang. Lembaga ini berkantor pusat di London, dan berkembang di banyak negara, seperti Amerika dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Ada beberapa prinsip MSC dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan. Pertama, penangkapan dengan cara baik dan tidak mengakibatkan penurunan populasi. Kedua, menghindari dampak penangkapan, meliputi perlindungan terhadap keragaman spesies lain dan ekosistem. Ketiga, manajemen efektif, menjunjung tinggi peraturan internasional dan nasional, termasuk sektor ketenagakerjaan.
Kewajiban ada sertifikat MSC juga terlihat pada penelitian Alif Astagia dalam jurnal Albacore. Dibanding Amerika Serikat maupun Jepang, Uni Eropa menjadi satu-satunya wilayah yang mensyaratkan sertifikat MSC agar tuna bisa masuk sana.
Dengan kata lain, sertifikat MSC jadi pembeda sebagai syarat ekspor tuna ke Eropa dibanding ke Amerika dan Jepang. Sekali pun untuk syarat kualitas dan keamanan, misal, ketiga negara itu memberlakukan syarat sama, penerapan good manufacturing practices (GMP), standard sanitation operating procedure (SSOP) dan hazard analysis and critical control points (HACCP).
Menurut Alif, pengelolaan tuna berlanjutan mutlak untuk menjamin ketersediaan sumberdaya masa depan. Hal itu perlu, lantaran permintaan pasar makin meningkat hingga berpotensi menganggu setok masa depan.
Alasan itu pula yang menjadikan tuna diatur dalam Regional Fisheries Management Organizations (RFMO). Ini organisasi di bawah PBB yang bertanggung jawab mengelola sumber daya ikan yang masuk kategori high migratory fish hingga memerlukan kerjasama negara-negara di dunia.
Ada lima badan regional di bawah RFMO yang mengeloal highly migratory fish ini. Antara lain, International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT), Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC).
“Pada konteks keberlanjutan, penangkapan tuna ekspor ke Jepang, Uni Eropa, dan Amerika harus melakukan pendaftaran kapal terlebih dahulu kepada RFMO. Setelah itu pemberitahuan hasil tangkapan kepada organisasi regional,” tulis Alif dalam jurnal yang rilis Maret 2022 itu.
Usmawati Anggita Sakti, Senior Commercial Communications MSC Indonesia mengatakan, ada tiga prinsip harus pelaku industri tuna jalankan untuk bisa mendapatkan MSC.
Pertama, memastikan penangkapan dengan memperhatikan ketersediaan setok lewat via logbook. Dengan begitu, upaya pemanfaatan bisa terukur.
Kedua, praktik penangkapan meminimalisir dampak lingkungan atau spesies lain. “Ini dengan menyusun SOP (standard operating procedure). Kalau tidak sengaja menangkap kura-kura atau hiu, apa yang harus dilakukan? Itu sebagai upaya mitigasinya,” katanya.
Ketiga, manajemen yang efektif. Para pelaku perikanan, katanya, harus mampu memenuhi seluruh aturan berlaku baik tingkat daerah, nasional, bahkan internasional. Pada konteks internasional, misal, kapal beroperasi terdaftar di RFMO.
Anggi bilang, khusus Bali, sampai saat ini belum satu pun perusahaan penangkapan tuna memperoleh sertifikat MSC. Hal itu jadi salah satu alasan produk mereka belum bisa masuk Eropa. “Memang sudah ada upaya perbaikan. Tetapi, karena standar bisa mendapatkan sertifikat itu banyak, jadi mungkin masih berproses.”
Nyoman Sudarto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), mendukung berbagai inisiatif mewujudkan tuna berkelanjutan. Dukungan itu, antara lain, melalui penggunaan alat tangkap lebih selektif.
ATLI memiliki sekitar 144 anggota dengan 22 merupakan perusahaan penangkapan, 86 perorangan, 8 pengolahan (unit pengolahan ikan/UPI), 8 keagenan, 2 perusahaan dock kapal. Selain itu, ada pula 18 anggota dari perorangan non usaha.
Dia menjamin, dari 144 anggota, tak ada yang gunakan jaring. “Dari alat tangkap, semua sudah pakai pancing. Itu pun dengan ukuran tertentu supaya tidak ada tuna kecil kena.”
Mereka sudah berkomitmen tunduk dan patuh terhadap regulasi RFMO berkaitan penangkapan tuna. Mereka juga menggandeng berbagai pihak guna memberikan masukan untuk mewujudkan tata kelola perikanan tuna lebih baik.
Untuk penangkapan, ATLI sudah menyusun SOP berkaitan perlakuan hasil tangkapan sampingan. Pada hiu yang tak sengaja tertangkap, katanya, boleh bawa dengan kondisi utuh. Terutama hiu yang tidak masuk dalam status lindung. “Itu semua ada SOP-nya sebagai upaya mitigasi. Semua tercatat dengan baik.”
Saat ini, mereka berupaya mendapatkan sertifikat MSC. Sertifikat ini untuk menjangkau pasar lebih luas. Hanya saja, katanya, untuk dapatkan sertikat ini bukan hal mudah.
“Ini sudah pre assessment, masih perlu perbaikan. Dengan komitmen bersama, saya kira itu bisa.”
*********