- Para nelayan di Desa Kwala Langkat, Kabupaten Langkat, Sumut pendapatannya makin menurun karena semakin sulit menangkap kepiting bakau akibat kerusakan dan alih fungsi lahan kawasan hutan mangrove menjadi pemukiman dan perkebunan kelapa sawit
- Para nelayan itu telah melakukan penangkapan kepiting secara berkelanjutan dan mencoba membudidayakan kepiting bakau untuk menjaga populasinya dari kepunahan, akan tetapi terkendala modal dan belum ada perhatian dari Pemkab Langkat.
- DKP Kabupaten Langkat mengklaim telah membantu para nelayan dengan kapal dan alat tangkap, penanganan pembudidayaan dan restocking kepiting bakau
- Ditengah alih fungsi yang cukup masif di Sumut, pemerintah berupaya mengkonservasi hutan mangrove sebagai habitat biota satwa dengan berbagai kebijakan dan aturan, serta rehabilitasi dan restorasi
Pagi hari itu di akhir September lalu, Khairul Anwar (42), warga Desa Kwala Langkat, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), bersiap mengais rezeki di kawasan hutan mangrove berada tak jauh dari tempat tinggalnya.
Khairul merupakan seorang nelayan yang sudah lebih dari 10 tahun menangkap kepiting bakau sebagai penghidupan utama bagi keluarga. Bahkan dia sudah menjadi nelayan sejak SMP.
Di atas sampannya, terdapat belasan bubu, alat tangkap kepiting bakau dari bambu yang dipakai nelayan tradisional secara turun temurun. Dengan umpan ikan, sejak pagi dia memasang bumbu diantara akar-akar pohon bakau.
Seperti hari-hari sebelumnya, dia berharap bubu yang dipasangnya bisa menangkap banyak kepiting bakau. Sekitar pukul 11.00 WIB, Khairul memeriksa bubu di beberapa tempat.
Wajahnya terlihat murung. Bubu yang dipasang hanya mampu menjerat satu hingga empat ekor kepiting bakau dengan ukuran sedang. Usai mengambil seluruh bubu, Khairul kemudian berpindah tempat untuk mencoba keberuntungannya bisa menjerat lebih banyak kepiting bakau.
Sambil menunggu, dia memacu sampannya balik arah menuju desa untuk menjual hasil tangkapan hari itu ke tengkulak atau toke.
“Hasil tangkapan kepiting bakau yang kami jual ke tengkulak hanya dua sampai dengan tiga kilogram saja per hari. Tangkapan terus berkurang. Kepiting bakau sudah semakin sulit dicari. Di tengkulak, kepiting yang ukuran kecil dihargai Rp10.000/kg. Sedangkan ukuran sedang dihargai Rp25.000/kilogram,” ungkapnya.
Dia mengatakan, hanya mendapatkan upah berkisar Rp70.000 hingga Rp100.000 sekali berangkat menangkap kepiting bakau. Pendapatannya itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, termasuk untuk biaya sekolah anaknya. Apalagi nelayan pesisir di sana tidak setiap hari pergi mencari kepiting bakau.
Sering kali demi mencukupi kebutuhan keluarga, Khairul berutang kepada warung atau tengkulak. Wajahnya terlihat sedih dan prihatin.
Makin sedikitnya jumlah tangkapan karena populasi kepiting bakau menurun akibat hutan mangrove sudah rusak. Alat produksinya berupa sampan dan alat tangkap yang tidak memadai menjadi faktor lainnya.
Baca : Rehabilitasi Mangrove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit
Aturan Penangkapan dan Pembudidayaannya
Meski pendapatannya makin sedikit, ditambah populasinya yang terus menyusut akibat perusakan habitatnya, namun Khairul dan para nelayan tradisional tidak menangkap semua kepiting bakau yang masih ada.
Dia mengatakan ada aturan penangkapan kepiting bakau yang terus dijaga secara turun-temurun. Apabila ada kepiting betina yang bertelur tertangkap atau masuk ke dalam bubu, maka mereka akan melepaskan dan mengembalikannya ke alam.
Aturan itu penting dilakukan dan harus ditaati oleh seluruh nelayan tradisional guna menjaga stabilitas populasi kepiting bakau yang semakin menyusut agar tidak punah.
Secara tradisi, apa yang dilakukan para nelayan itu sejalan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.16/2022 tentang Perubahan atas Permen KP No.17/2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di wilayah Negara Republik Indonesia. Walaupun belum ada sosialisasi dari pemerintah.
Permen KP No.16/2022 itu menyebutkan larangan ekspor kepiting bakau yang berukuran kurang dari 12 centimeter atau seberat setengah kilogram.
“Keputusan menteri itu sangat baik tetapi akan lebih bagus lagi jika ada bantuan dan perhatian terhadap nelayan tradisional penangkap kepiting bakau,” harapnya.
Selain pelarangan pengambilan kepiting betina bertelur agar tidak punah, Khairul mengatakan perlu dilakukan pembudidayaan di luar habitat aslinya untuk menjaga populasi kepiting bakau.
Meski peluangnya cukup besar, pembudidayaan kepiting bakau belum bisa dilakukan karena belum ada perhatian dari Pemkab Langkat. Para nelayan juga terkendala modal untuk membudidayakannya.
Pembiaran terhadap habitatnya yaitu ekosistem mangrove yang terus dirusak, tidak adanya upaya pembudidayaan di luar habitatnya menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah dalam mengantisipasi terjadinya kepunahan kepiting bakau.
“Jika kepiting bakau masih ada dihabitatnya, nelayan bisa bahagia dari sisi ekonomi tentu saja menekan jumlah kemiskinan,” pungkasnya.
Baca juga : Tidak Hanya Pulihkan Mangrove, Kelompok Tani dan Nelayan Ini Swadaya Budidaya Udang
Nelayan Makin Banyak, Tangkapan Makin Sedikit
Syahrial Nasution, Ketua Kelompok Tani Hutan, Ujung Damak Lestari mengatakan di Kecamatan Tanjung Pura, Langkat, setidaknya ada sekitar 50 orang nelayan tradisional penangkap kepiting bakau. Mereka berasal dari tiga desa yaitu Desa Kwala Langkat, Desa Pangkalan Biduk dan Desa Bubun dengan kondisi sangat mengkhawatirkan.
Jika pada 2004 hingga 2005, mereka hanya menggunakan belasan bubu yang menghasilkan sekitar 75 hingga 100 kg kepiting bakau dengan harga jual mencapai Rp1.000.000 sekali menangkap. Namun kini, mereka hanya bisa menangkap dua hingga tiga kilogram kepiting meski menggunakan ratusan bubu dengan upah yang diterima berkisar Rp70.000 hingga Rp100.000 sekali berangkat.
Menurut pria yang sudah 35 tahun menjadi nelayan penangkap kepiting bakau dan rajungan ini, jumlah nelayan tradisional penangkap kepiting bakau pada tahun 2005 hanya berkisar 20 hingga 30 nelayan saja. Sekarang jumlahnya semakin bertambah mencapai 50 orang.
Penambahan itu terjadi karena para nelayan yang sebelumnya mencari udang dan ikan di laut makin sedikit jumlah tangkapannya sehingga beralih mencari kepiting bakau yang nasibnya lebih menyedihkan karena populasinya juga sudah semakin sedikit.
Sedangkan Muhammad Jamil Nasution, tengkulak di Desa Kwala Langkat mengatakan dia bisa mengumpulkan sebanyak 30 – 40 kg kepiting bakau dari para nelayan.
Jenis kepiting yang paling mahal dan bisa diekspor ke luar negeri yaitu kepiting jumbo dengan berat antara 2,5 hingga 3 ons. Kemudian, ada kepiting jantan, dengan harga jual mencapai Rp110.000/kg dan kepiting betina dengan harga jual mencapai Rp260.000/kg.
Jamil mengatakan aturan Permen KP No.16/2022 yang melarang penangkapan kepiting bakau dibawah 12 cm itu sangat memberatkan dan menurunkan pendapatan nelayan tradisional.
Jamil sendiri mengaku belum mendapatkan sosialisasi mengenai aturan ukuran kepiting bakau yang boleh ditangkap.”Belum ada (sosialisasi peraturan dari) pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat dan Provinsi Sumut,” jelasnya.
Baca juga : Kebun Sawit di Kawasan Hutan Aman, Petani Pemulih Mangrove Malah Hadapi Jerat Hukum
Dia menyebutkan, kerusakan habitat kepiting bakau yakni hutan mangrove sangat mempengaruhi besar kecilnya ukuran kepiting didapat nelayan. Apabila hutannya hancur maka sangat berpengaruh kepada ekonomi masyarakat yang tinggal di sana.
“Lebih enak cari kepiting dimasa lalu, daripada sekarang. Saya saja masa itu pernah membawa satu hari 100 kg lebih. Seperti satu sepeda motor itu tidak sanggup, dua sepeda motor membawa kepiting dijual ke agen,” jelasnya.
Sebagai agen yang membeli hasil tangkapan di tingkat nelayan, keuntungan yang bisa diperolehnya setiap hari antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000.
Jamil menjual kepiting ke Pangkalan Brandan dan tengkulak lainnya ada juga ke Tanjung Pura. Jamil menjual di Pangkalan Brandan karena harganya jualnya lebih baik. Tengkulak pun tidak menekan para nelayan kepiting dan sama-sama mendapat keuntungan serta tidak memberatkan masyarakat nelayan.
Sosialisasi Aturan Penangkapan Kepiting
Ricardo Lumumba Simanulang, Kepala Bidang Perikanan Budidaya dan Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kabupaten Langkat mengatakan pihaknya telah turun ke lapangan dan melakukan sosialisasi Permen KP No.16/2022 kepada masyarakat nelayan, meskipun itu dibantah oleh nelayan tradisional penangkap kepiting bakau di Kabupaten Langkat.
“Pada intinya kepada masyarakat sudah kita sampaikan, apalagi kepada agen dan tengkulak. Kepiting bertelur harus dikembalikan ke alam lagi,” ujarnya saat ditemui akhir September lalu.
Terkait pembudidayaan kepiting di luar habitatnya, DKP Pemkab Langkat hanya menangani pembudidayaan saja. Namun untuk aturan dan perizinan semua ada di tingkat provinsi.
DKP Pemkab Langkat juga belum mencatat jumlah nelayan pembudidaya kepiting. Tetapi Ricardo pembudidayaan kepitinig penting untuk dilakukan meski sampai saat ini belum ada yang berhasil. Semua produksi kepiting masih berasal dari penangkapan di alam.
Disebutkannya, mengatasi terjadinya kepunahan kepiting, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya salah satunya dengan membuat program restocking. Namun, anggarannya masih sangat terbatas.
Mereka masih optimis populasinya di alam bisa tetap terjaga karena penangkapan juga masih terbatas. Eksploitasi besar-besaran juga belum terjadi di kabupaten ini sehingga ada keyakinan stok kepiting bakau masih lumayan cukup tersedia.
Berbeda dengan keterangan Khairul sebagai nelayan kepiting, DKP Pemkab Langkat menyatakan telah memberi bantuan untuk nelayan kepiting seperti kapal dan alat tangkapnya.
“Kalau untuk bantuan tetap memperhatikan masyarakat nelayan, terutama kepada masyarakat penangkap kepiting. Biasanya kita membantu pengadaan alat tangkapnya yaitu bubu kepiting dan pemberian jaring kepiting yang tiga inci,” kata Ricardo.
Baca juga : Kawasan Konservasi Mangrove di Langkat jadi Kebun Sawit, Ada Permainan Mafia Tanah?
Penyadartahuan dan Rehabilitasi Mangrove
Onrizal, Pakar Mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) menjelaskan, pemerintah telah membuat peraturan untuk menjaga habitat biota pesisir seperti kepiting bakau, ikan, udang dan lain sebagainya. Spesies-spesies ini hidup di antara ekosistem mangrove yang masih ada di wilayah pantai timur Sumatera, contohnya adalah wilayah konservasi Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading di Kabupaten Deli Serdang.
Pemerintah mempertahankan hutan mangrove sebagai habitat perkembangbiakan kepiting, udang dan lainnya.
“Jadi bukan hanya untuk udang dan kepiting, perlindungan mangrove sangat esensial untuk menjaga kestabilan pesisir dan Indonesia sebagai negara kepulauan,” katanya saat ditemui akhir September lalu.
Dia menyebutkan, populasi kepiting tergantung hutan mangrovenya, karena hutan mangrove menjadi habitat penyedia pakan utama dalam rantai makanan. Ada juga pembudidayaan kepiting, meski mengambil anakan dari alam, bukan diternak sendiri.
Mengingat hutan mangrove merupakan rumah bagi kepiting bakau berkembang biak, maka hutan mangrove yang dialihfungsikan sangat mempengaruhi perekonomian nelayan, khususnya nelayan kepiting bakau semakin berkurang.
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mendukung kehidupan manusia dengan mengurangi dampak gelombang dan cuaca ekstrem, melindungi pantai dari abrasi/erosi, mencegah intrusi air laut, menjadi sumber makanan, dan rumah bagi keanekaragaman hayati, menyaring polutan dan mendukung mata pencaharian penduduk.
Yuliati Siregar, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Sumut ketika ditemui akhir September mengatakan luas hutan mangrove di Sumatera Utara 51 ribu hektar, dengan kondisi ada yang bagus, rusak ringan dan rusak berat.
Dijelaskannya, hutan mangrove tersebar di Kabupaten Serdang Bedagai, Deli Serdang, Langkat, Batu Bara, Asahan, Labuhanbatu, Mandailing Natal dan Kota Tanjung Balai, Sibolga serta Nias. Namun sayangnya, mangrove yang ada sebagian dialihfungsikan menjadi kebun sawit dan pemukiman.
Penanaman pohon bakau juga terus dilakukan melibatkan pasukan TNI dari jajaran Kodam I/BB dan pasukan TNI AL. Semua pihak mendukung dalam rangka penyelamatan ekosistem mangrove di Sumatera Utara.
Di tahun 2024 ini, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), akan merestorasi sedikitnya 2.000 hektar hutan mangrove di Sumatera Utara.
Namun di sisi lain, ada pihak yang dengan sengaja merusak hutan mangrove dan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Yuliani mengatakan perlu adanya kebijakan yang tegas dari pemerintah dan para pengusaha agar bisa bersama satu tujuan yang saling menguntungkan dan tidak saling merugikan.
Bahkan, menurutnya, berbagai cara dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem mangrove di provinsi ini. Pembinaan dan penyadartahuan terhadap masyarakat serta memasukkannya dalam program Merdeka Belajar bekerja sama dengan Dinas Pendidikan juga dilakukan guna memancing kesadaran siswa menjaga ekosistem mangrove.
Di bawah kepemimpinannya, DLHK Sumut sudah banyak menghentikan penebangan hutan mangrove, dibandingkan sebelumnya. “Semenjak saya jadi kadis, sudah banyak penghentian dan penebangan hutan mangrove, seperti sebelumnya,” ungkapnya.
Yuliati menyatakan, penebangan hutan mangrove sangat berdampak terhadap perekonomian nelayan kepiting. Pembinaan serta penyadartahuan terhadap para pembalak kawasan mangrove mereka lakukan dan itu berhasil. Sejumlah mantan penebang liar sekarang telah sadar dan malah mengabdikan diri untuk menanam kembali pohon bakau sempat rusak parah salah satunya ada di Kabupaten Langkat. (***)