- Konflik agraria antara Masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, dengan perusahaan sawit PT Permata Hijau Pasaman (PHP) berlarut sejak lama dan kembali memanas. Pada 4 Oktober lalu, Polda Sumatera Barat menangkap sembilan petani Nagari Kapa buntut konflik agraria berlarut dan sempat bentrok antara warga ketika polisi melakukan pengamanan kepada perusahaan.
- Pada 4 Oktober, sekitar pukul 23.00, polisi bebaskan sembilan petani. Mereka hanya dimintai keterangan. Beberapa advokat LBH Padang mendampingi dan para petani dimintai keterangan. Pada 7 Oktober, polisi kembali tangkap lima petani dan lepas lagi pada 8 Oktober.
- Bentrok 4 Oktober terjadi ketika PT PHP1, anak usaha Wilmar Group, bersama aparat gabungan dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat, masuk ke lahan pertanian masyarakat untuk tanam sawit.
- Diki Rafiki, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang mengatakan, konflik agraria sudah sejak 1997. Masyarakat, sudah mengupayakan solusi melalui pengajuan tanah objek reforma agraria (Tora). Harapannya, langkah itu dapat menyelesaikan konflik agraria puluhan tahun ini tetapi belum ada kejelasan hingga kini.
Konflik agraria antara Masyarakat Nagari Kapa, Pasaman Barat, dengan perusahaan sawit PT Permata Hijau Pasaman (PHP) sudah terjadi sejak lama dan kembali memanas. Pada 4 Oktober lalu, Polda Sumatera Barat menangkap sembilan petani Nagari Kapa buntut konflik agraria berlarut dan sempat bentrok antara warga ketika polisi melakukan pengamanan kepada perusahaan. Malam harinya polisi lepaskan para petani. Pada 7 Oktober, polisi kembali tangkap lima petani dan lepas lagi pada 8 Oktober.
Bentrok 4 Oktober terjadi ketika PHP1, anak usaha Wilmar Group, bersama aparat gabungan dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat, masuk ke lahan pertanian masyarakat untuk tanam sawit. Peristiwa ini berujung pada penangkapan sembilan warga Kapa, termasuk enam perempuan.
Diki Rafiki, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang mengatakan, konflik agraria sudah sejak 1997. Masyarakat, katanya, sudah mengupayakan solusi melalui pengajuan tanah objek reforma agraria (Tora). Harapannya, langkah itu dapat menyelesaikan konflik agraria puluhan tahun ini tetapi belum ada kejelasan hingga kini.
Hari itu, kata Diki, sekitar pukul 09.00, PHP1, dengan pengamanan kepolisian, masuk ke tanah sengketa. Warga yang tengah beraktivitas di ladang dihalangi untuk bertani. Warga tak terima. Sembilan petani diamankan dan posko yang jadi tempat peristirahatan, dan musala, dirobohkan paksa.
“Seharusnya kepolisian bisa jadi mediator dalam penyelesaian konflik, bukan malah mendukung upaya paksa perusahaan. Kami sangat menyayangkan tindakan kekerasan dan penangkapan,” katanya saat konferensi pers di Kantor LBH Padang, pekan lalu.
Dalam penyelesaian konflik agraria ini perlu dialog adil tanpa melibatkan intimidasi atau kekerasan. Dengan keberpihakan aparat pada perusahaan, katanya, hanya memperburuk situasi dan menghambat penyelesaian konflik.
AKBP Agung Tribawanto, Kepala Polres Pasaman Barat mengatakan, pengamanan tidak dari mereka melainkan Polda Sumbar langsung.
“Yang kendalikan pengamanan langsung dari Polda (Sumbar) dan yang menangani kasus juga dari Polda, bukan Polres,” kata Agung.
Mongabay mencoba mengonfirmasi Kapolda Sumbar Irjen Suharyono melalui telepon tetapi tak ada respon.
Polisi lepas petani, tangkap dan lepas lagi
Pada 4 Oktober, sekitar pukul 23.00, polisi bebaskan sembilan petani. Mereka hanya dimintai keterangan. Beberapa advokat LBH Padang mendampingi dan para petani dimintai keterangan.
“Belum ada status. Baik itu dalam proses tahapan awal bahkan dalam pro justisia itu nggak ada untuk wawancara ini. Itu hanya untuk pengembangan informasi bagi mereka,” katanya.
Pada Senin (7/10/24) kondisi memanas lagi. Hari itu, perusahaan bersama sekitar 200-an personil kepolisian masuk ke tanah Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Nagari Kapa. Polisi kembali menangkap lima petani. Selasa (8/10/24) pagi, polisi kembali melepas mereka.
Kejadian berawal, Senin pukul 15.00, perusahaan memasuki lahan dengan membawa bibit sawit dan dua eskavator serta satu jonder dengan kawalan ketat kepolisian. Petani menghalangi mereka masuk dan sempat cekcok dengan perusahaan. Terjadi aksi dorong-dorongan antara polisi dengan petani. Tiga ibu-ibu petani Kapa pingsan.
Polisi mengamankan lima petani Kapa dan dibawa ke kantor PHP1. Saat tim kuasa hukum petani menemui petani, aparat kepolisian mengatakan sedang menunggu penyidik dari Diskrimsus Polda Sumbar untuk proses lebih lanjut.
Atas kasus ini, LBH Padang mendesakkan empat poin.
- PHP1 menghentikan penanaman sebelum konflik selesai.
- Kapolda Sumatera Barat dan Kapolres Pasaman Barat menarik mundur pasukan, menghentikan intimidasi dan kekerasan serta melepaskan warga yang ditangkap.
- Mendesak semua pihak menghormati Perpres 62/2023. Saat ini, lokasi itu dalam proses pengajuan tanah objek reforma agraria. Dalam lampiran Surat Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Agraria tertanggal 29 Juli 2024, Desa Nagari Kapa, Kecamatan Luhak Nan Duo, Pasaman Barat masuk LPRA.
- Mendesak Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melihat persoalan di Nagari Kapa sebagai kegagalan Wilmar Grup dalam memenuhi standar dan prinsip RSPO.
Marihot, Manajer PHP1 mengatakan, secara legal mereka sudah mempunyai hak guna usaha (HGU) yang berlaku sampai 2034. “Lokasi HGU PHP1 tidak pernah ditelantarkan atau tidak di kelola,” katanya.
Dengan begitu, katanya, tak ada alasan sebagian kecil masyarakat Kapa menuntut HGU PHP1 dengan alasan apa pun. “Sebab proses HGU-nya sesuai aturan dan peraturan,” katanya melalui pesan WhatsApp, Sabtu (5/10/24).
Konflik berlarut
Zulkifli, Legal Consultant Yayasan Ulayat Nagari, dulu pernah mendampingi Masyarakat Nagari Kapa melalui Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), mengatakan, konflik di Nagari Kapa sejak 1996 ketika PHP mengajukan permohonan ke Bupati Pasaman untuk mendapatkan konsesi.
“Tahun itu, ada rapat melalui muspika (musyawarah pimpinan kecamatan). Ada camat, kepala desa dan lainnya,” katanya.
Dalam rapat itu, hadir orang adat, yaitu, Gampo Alam, dulu dijabat Syahrun Gampo Alam, sudah almarhum dan ninik mamak.
“Karena tidak tercapai kesepakatan pada 1996 itu, pada 1997 tepatnya 6 Februari 1997, Bupati Pasaman waktu itu Taufik Marta mengundang Gampo Aalam dan ninik mamak Nagari Kapa ke kantor bupati. Di sana datang perwakilan PHP,” katanya.
Dalam rapat itu, perusahaan sampaikan keinginan mereka membuka perkebunan sawit di Nagari Kapa dengan skema 50:50 antara perkebunan inti dan plasma.
Pada 6 Februari 1997, ditandatangani surat penyerahan tanah ulayat secara adat dengan ketentuan adat diisi limbago dituang.
“Disaksikan Mamak Kepala Waris Gampo Alam dan empat ninik mamak nan Mamusek Ampek di dalam dan empat ninik mamak Ampek di luar. Masing-masing ninik mamak bertindak sebagai mamak kepala waris dalam kaum,” katanya.
Lantas perusahaan menyerahkan uang adat melalui Pemerintah Pasaman Rp62 juta dibayar dua tahap. Pertama Rp40 juta, kedua Rp22 juta. “Perjanjiannya plasma diserahkan tiga tahun setelah tanam. Mulai 1997 terbit izin pencadangan lahan dari Gubernur Sumbar, waktu itu Hasan Basri Durin.”
Kantor Badan Pertanahan Pasaman menindalkanjuti dengan menerbitkan izin lokasi lalu pemetaan kadastral.
Zulkifli mengatakan, karena Lokasi itu masuk gugus kawasan hutan produksi terbatas, PHP juga mengajukan permohonan melalui Gubernur Sumbar dan Menteri Kehutanan untuk mengalihfungsikan kawasan hutan untuk pemanfaatan lain. Pada 1997, mulai pembersihan lahan dan bangun kebun.
“Pada 2004, PHP mengajukan permohonan HGU ke Menteri ATR BPN melalui Kanwil Sumbar. Karena PHP belum menunaikan kewajiban 50% plasma SK HGU ditolak dengan (ninik mamak) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pasaman dengan gugatan wanprestasi.”
Karena gugatan itu, Kepala BPN tidak serta merta menerbitkan HGU dan 2005 perusahaan kalah di PN Pasaman. “Dimenangkan oleh Gampo Alam, Koperasi Unit Desa dan ninik mamak,” katanya.
PHP banding ke pengadilan tinggi dan hasil menguatkan putusan pengadilan negeri, kemudian Perusahaan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam proses, perusahaan mendatangi ninik mamak. “Mereka menyetujui mengalokasikan 50% untuk plasma.”
“Saat itu melalui kepala kaum petani plasma didata, lalu dikelompokkan jadi 10 kelompok tani dan jadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD) Kapa,dengan luasan yang akan dibagi sekitar 697,4 hektar. Penerima manfaatnya berjumlah 700 keluarga.”
Pada 2013, katanya, perusahaan meminta persetujuan pelepasan tanah ulayat Magari Kapa ke Gampo Alam untuk syarat pengajuan HGU. Kanwil BPN Sumbar sudah pemetaan dan dalam kebun inti perusahaan, berada dalam tanah ulayat Nagari Kapa sekitar 698 hektar.
“Arealnya lebih kurang 900 hektar dan di dalamnya ada 698 hektar tanah ulayat,” katanya.
Gampo Alam, sebagai tokoh adat tidak memberikan persetujuan dan menolak penerbitan HGU di atas tanah ulayat itu. “Akhirnya, kita ajukan laporan ke RSPO dari YMKL, yang mendukung waktu itu Sawit Watch, Uma dan FPP dari internasional,” katanya.
Catatan LBH Padang, pada 2014 pucuk adat Nagari Kapa mengajukan penyelesaian pengaduan perselisihan pada RSPO. Kasus ini terdaftar dengan Grievance 000878, soal perselisihan warga dengan PHP melibatkan Kantor Pertanahan Pasaman Barat dan Kantor Pertanahan Sumbar sebagai saksi.
Pada 20 November 2014, Perusahaan memperbarui HGU dengan keterangan perubahan luas jadi 1.247 hektar.
Dalam catatan LBH Padang, pada 2019, beberapa kali pucuk adat mengumumkan HGU PHP1 akan habis dan mempersilakan masyarakat mengambil ulayat nagari. Tahun berikutnya, terjadi kesepakatan bersama antara ninik mamak dengan perwakilan induak barampek di dalam dan induak barampek di luar Saparampek Nagari Kapa dengan PHP1 disaksikan RSPO diketahui Bupati Pasaman Barat.
Kemudian penyerahan dana dari perusahaan kepada ninik mamak sebagai bagian penyelesaian pengaduan perselisihan.
Pada 7 Juli 2020, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Karapatan Advokat Nagari (LBH-KAN) menggugat perdata PHP dengan dasar sesuai putusan MK 2012 mengenai hutan adat dan cacat formil dalam kesepakatan plasma dan inti serta HGU di Nagari Kapa.
Kemudian, pada 11 November, masyarakat Nagari Kapa dengan kuasa hukum baru melanjutkan banding ke Pengadilan Tinggi Negeri Padang.
Tahun 2021, masyarakat mulai menanam dan berkebun di tanah ulayat Nagari Kapa. Sebelumnya, tokoh adat Gampo Alam mengumumkan kalau HGU perusahaan sudah habis dan jadi milik masyarakat. Hal itu disampaikan pada rapat gabungan Komisi I dan II DPRD Pasaman Barat pada 9 September 2021.
Pada 3 Agustus tahun sama, Polda melihat lokasi pembakaran masyarakat Kapa. Lantas masyarakat bertemu dengan kepolisian dan minta keterangan pengelolaan HGU. Dalam catatan kepolisian memperlihatkan HGU di Nagari Sasak, bukan Kapa.
Lanjut pada 5 Agustus 2021, masyarakat melihat perusahaan akan menanam bibit sawit. Masyarakat keberatan karena tanah itu belum ada kejelasan hukum atau sedang berperkara di Mahkamah Agung. Perusahaan bawa polisi pada 6 Agustus dan terjadi perselisihan.Saat itu terjadi kesepakatan polisi akan memperlihatkan surat HGU PHP1 sebagai bukti pengelolaan lahan. Saat itu, masyarakat diwakili empat orang pergi melihat bukti dengan menaiki mobil polisi.
Ternyata mereka dibawa ke Polda Sumbar dan meminta agar masyarakat memperbolehkan Perusahaan tanam sawit kalau menolak mereka akan jadi tahanan.
Keluar surat penahanan kepada empat orang itu atas dugaan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan. Mereka adalah Syafirudin (60), Alamsyah (68), Syafril (53) dan Irwanto (41). Pada 7 Agustus, mereka di ruang tahanan Polda sampai 26 Agustus dan melewati dua kali perpanjangan sampai 5 Oktober 2021.
Pada 23 Agustus 2021, tiga petani perempuan Kapa alami dugaan kekerasan dari satpam PHP. Pada 24 Agustus 2021, terjadi kembali perselisihan antara masyarakat dengan PHP, empat perempuan dilaporkan ke polisi dengan dugaan memperalat anak melakukan demonstrasi tanpa perlindungan jiwa.
Kini, konflik memanas lagi. “Hingga kini belum ada penyelesaian tuntas. Perseteruan antara masyarakat Kapa dan Permata Hijau Pasaman terus berlarut-larut,” kata Diki.
*******
Sengketa Tak Berkesudahan, Potret Wilmar Group di Nagari Kapa