- Proyek pembangunan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, terus berjalan di tengah penolakan masyarakat. Seperti pada 2 Oktober lalu, sampai terjadi kekerasan terhadap masyarakat termasuk jurnalis ketika PLN masuk bersama aparat keamanan ke lokasi proyek. Berbagai kalangan mengingatkan, perlindungan terhadap masyarakat terdampak bukan malah melakukan kekerasan terhadap mereka.
- Koalisi Masyarakat Adat Poco Leok menuntut Kapolri, Jenderal Lustyo Sigit menghentikan kekerasan terhadap masyarakat Poco Leok yang menolak proyek geotermal.
- Masyarakat Poco Leok kuat menolak rencana perluasan proyek PLTP Ulumbu. Mereka, khawatir proyek ini akan menghilangkan tanah yang jadi ruang hidup serta merusak sumber air. Ancaman keselamatan jiwa juga muncul dari risiko kebocoran gas, yang menyebabkan kematian dan keracunan di lokasi geothermal lain, seperti Sorik Marapi dan Mataloko.
- Umbu Wulang, perwakilan pemuda NTT, menegaskan, PLTP di Flores terus menuai protes dari masyarakat. Pembangkit ini, tanpa melibatkan warga.
“Kapolri harus bertanggungjawab terhadao tindakan anarkis dan preman oleh anak buahnya di lapangan,” kata Mario Yosryandi Sara, pemuda Flores dalam orasi di depan Markas Besar (Mabes) Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, 7 Oktober lalu.
Aksi ini buntut dari bentrok antara polisi dan warga penolak pembangunan proyek strategis nasional pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Poco Leok, 2 Oktober lalu.
Dalam orasi itu, Mario mengatakan, PT PLN bersama pemerintah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memaksa masuk ke Poco Leok untuk pengukuran lahan warga dan mengidentifikasi lokasi Access Road Wellpad D, Wellpad I, dan Access Road Wellpad I. Aktivitas ini bagian dari proyek pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, yang rencananya, 1-3 Oktober.
Aksi massa membawa spanduk dan poster kecaman terhadap institusi Polri, pemerintah dan PLN.
“Pelaku Kejahatan dan Kekerasan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok, Copot Kapolres Manggarai.” “Kami mengutuk keras! atas tindakan kekerasan aparat kepolisian.” “Copot Kapolres Manggarai atas tindakan kekerasan terhadap masayarakat Poco Leok dan intimidasi Jjurnalis.” “Ekspansi geothermal picu bencana terorganisir.” #RendahKarbonTinggiKorban.”
Massa tergabung dalam Koalisi Masyarakat Adat Poco Leok menuntut Kapolri, Jenderal Lustyo Sigit menghentikan kekerasan terhadap masyarakat Poco Leok yang menolak proyek geotermal.
Mereka juga mendesak, kapolri segera memerintahkan bawahannya meninggalkan tanah Masyarakat Poco Leok dan menindak tegas Kapolres Manggarai.
“Kami datang ke Mabes Polri karena marah dan kecewa luar biasa terhadap institusi yang katanya memiliki motto pelindung dan pengayom masyarakat, atas tindakan kekerasan terhadap orang tua kami, masyarakat kami, serta jurnalis yang bertugas. Kami meminta kapolri tegas dan mengusut kapolres atas tindakan itu,” kata Kristianis Jaret, Koordinator Aksi, di depan Mabes Polri.
PLN dan Pemerintah Manggarai, katanya, mengerahkan aparat keamanan gabungan, termasuk kepolisian, TNI, dan Satpol PP, dengan dalih mengamankan proses pengukuran. Kehadiran aparat keamanan, katanya, berujung intimidasi dan tindakan brutal terhadap warga.
Puluhan orang mengalami luka-luka, termasuk beberapa tak sadarkan diri karena serangan aparat. Tindakan ini juga berujung penangkapan sewenang-wenang tiga warga dan satu jurnalis dari media Floresa.co.
Masyarakat Poco Leok kuat menolak rencana perluasan proyek PLTP Ulumbu. Mereka, kata Kristianis, khawatir proyek ini akan menghilangkan tanah yang jadi ruang hidup serta merusak sumber air.
Ancaman keselamatan jiwa juga muncul dari risiko kebocoran gas H2S, yang menyebabkan kematian dan keracunan di lokasi geothermal lain, seperti Sorik Marapi dan Mataloko.
“Aksi penolakan Masyarakat Poco Leok sudah bertahun-tahun. Mereka hendak melindungi kampung atau ruang hidup mereka sendiri dari rencana proyek industri ekstraktif tambang panas bumi,” katanya.
Di Mataloko, dampak negatif dari geothermal sudah terlihat. Saat ini saja, katanya, diduga menyebabkan sawah terendam lumpur panas dan sumber air tercemar. Pertanian warga pun rusak.
Atap rumah warga juga rusak akibat korosi oleh polusi dari aktivitas tambang.
Upaya paksa PLN bukanlah yang pertama. Sejak 2022, warga dari 10 komunitas adat di Poco Leok sudah berhadapan dengan tindakan kekerasan aparat di dalam 26 penghadangan. Proyek yang dikerjakan PLN dengan dana dari kreditanstalt für wiederaufbau (KfW) dari Jerman ini menuai kritik karena dinilai mengabaikan penolakan masyarakat dan mengancam keselamatan mereka.
Selain aksi massa juga melaporkan Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh ke Propam Mabes Polri atas dugaan kekerasan yang dilakukan oleh anak buahnya terhadap warga dan jurnalis Floresa, Herry Kabut. Mereka juga meminta Propam mengaudit anggaran Polres Manggarai.
Selain di Mabes Polri, massa melanjutkan aksi ke Kantor Pusat PLN, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Mereka menuntut, PLN bertanggungjawab atas kekerasan yang terjadi. Selain itu, mereka juga mendesak PLN angkat kaki dan menghentikan pembangkit geotermal di Poco Leok.
Koalisi: lindungi masyarakat terdampak
Koalisi berbagai organisasi masyarakat sipil, antara lain dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, dan Lembaga Bantuan Hukum menekankan, wajib perlindungan masyarakat terdampak termasuk hak-hak mereka. Koalisi juga mengecam kekerasan berulang dalam proyek-proyek skala besar di Indonesia.
Farhat Kasman dari Jatam Nasional mengatakan, perlawanan warga Poco Leok sejak 2022. Warga khawatir kerusakan lingkungan, terutama karena Poco Leok terletak di kawasan ring of fire, atau cincin api, yang rawan gempa bumi.
“Poco Leok merupakan kawasan sangat rawan gempa bumi karena berada di ring of fire,” ujar Farhat.
Warga merasa ancaman gempa ini sangat nyata, dan ekspansi PLTP Ulumbu hanya akan memperburuk keadaan.
Penetapan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai, Nabit, yang melegitimasi perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok makin memicu kemarahan warga.
Warga khawatir pengalaman serupa dengan daerah lain, seperti Mandailing Natal di Sumatera atau Mataloko, Nusa Tenggara Timur, terulang di kampung mereka.
Umbu Wulang, perwakilan pemuda NTT, menegaskan, PLTP di Flores terus menuai protes dari masyarakat. Pembangkit ini, katanya, tanpa melibatkan warga.
Penetapan Flores sebagai “Pulau Geothermal” berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM/2017 dibuat tanpa persetujuan rakyat.
“Surat keputusan dibuat tanpa ada musyawarah atau diskusi dengan masyarakat Flores mengenai pilihan energi yang mereka inginkan untuk masa depan. Tiba-tiba, negara menetapkan Flores sebagai pulau geothermal, tanpa memikirkan manusia dan budaya di dalamnya,” kata Umbu.
Dalam forum Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 18-20 September 2024, Presiden Joko Widodo meminta pemangkasan pengurusan izin untuk proyek geothermal.
“Pernyataan ini memicu kekhawatiran, bahwa legitimasi itu digunakan sebagai dasar bagi tindakan aparat menghadapi warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.”
Novia dari Solidaritas Perempuan, mengatakan, perempuan di Poco Leok tidak pernah diajak berdiskusi padahal relasi mereka dengan tanah sangat kuat.
Tanah bagi perempuan di Poco Leok merupakan sumber penghidupan, masa kini dan masa depan anak-anak mereka. Proyek geotermal ini, katanya, bisa ganggu kehidupan mereka karena ladang-ladang tak lagi bisa ditanami.
Perempuan Poco Leok pun tak ketinggalan berjuang bersama di posko-posko penjagaan kampung mereka.
Samsyul Alam Agus, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mengatakan,kekerasan di Poco Leok, Manggarai, Flores pada 2 Oktober lalu, bukanlah peristiwa pertama, sudah mulai pada 2023.
“Aparat masuk intimidasi, teror, hingga kekerasan fisik,” kata Samsyul. Ia
Pada 2023, ratusan warga, terutama perempuan, menghadapi blokade polisi saat rencana pengukuran lahan untuk proyek itu.
Kekerasan ini, katanya, terus berulang karena penegakan hukum dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak pernah terusut tuntas.
Komnas HAM, telah melakukan kunjungan ke Poco Leok, menyimpulkan, ada indikasi pelanggaran HAM. Pada 2023, warga juga mengajukan komplain ke Bank Pembangunan Jerman, KfW, yang mendanai proyek ini.
Baru bulan lalu, katanya, KFW mengirimkan tim independen untuk memastikan apakah prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC) diterapkan perusahaan. “Kami berharap mereka merekam semua pelanggaran yang terjadi.”
Dalam insiden 2 Oktober, tiga warga ditangkap dan disekap dalam truk polisi, termasuk satu jurnalis. Samsyul bilang, tindakan ini merupakan pelanggaran HAM, karena warga hanya menyampaikan penolakan terhadap proyek geotermal.
Dia menyebut, polisi menghalangi upaya jurnalis untuk melaporkan kebenaran yang harus diketahui publik.
Samsyul mendesak TNI menarik anggota dari lapangan dan tidak terlibat dalam bisnis keamanan seperti ini. “Penegakan hukum harus dilakukan untuk mencegah kekerasan berulang.”
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, hampir seluruh wilayah Flores terbagi untuk kepentingan tambang dan pariwisata. Dia pun mempertanyakan argumen proyek energi di sana untuk masyarakat.
“Jika dikatakan energi ini untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, itu harus dicek baik-baik. Justru, energi yang diproduksi sekarang akan menyuplai industri ekstraktif dan pariwisata,” katanya.
Rukka menyinggung soal krisis iklim global dan pentingnya beralih dari energi fosil. Namun, dia mengingatkan energi yang disebut sebagai “clean energy” seperti geotermal dan bendungan, justru seringkali menyusahkan masyarakat adat.
“Energinya untuk siapa? Siapa yang dikorbankan dengan dalih clean energy?”
Chikita, perwakilan LBH Pers, menyoroti kasus kekerasan dan kriminalisasi yang menimpa Pimpinan Redaksi (Pemred) Floresa.
Tindakan aparat, melanggar UU Pers dan bentuk kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum.
Dia memastikan, kasus ini akan mereka laporkan ke Dewan Pers, karena tindakan aparat menghalangi kerja pers merupakan pelanggaran. Aparat penegak hukum, kata Chikita, seharusnya tak terpengaruh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti perusahaan.
Chikita juga mencatat, selain serangan fisik, ada indikasi intimidasi oleh sesama jurnalis yang terlibat dengan pihak berkepentingan, seperti pemerintah atau perusahaan.
*******
Rencana Pengeboran Geothermal di Poco Leok dan Pengabaian Warga