- Sejumlah nelayan dan masyarakat pesisir lain melakukan aksi menolak penambangan pasir di depan gedung KKP, Jakarta.
- Aksi dilakukan karena bagi nelayan penambangan pasir laut sudah mengakibatkan kualitas air laut menjadi rusak.
- Akibatnya tak hanya nelayan yang tangkapan ikannya semakin menjauh, namun pembudi daya udang mengalami gagal panen.
- Pemerintah diminta memperhitungkan kerugian biaya akibat kerusakan lingkungan dan ekologi yang ditimbulkan dari penambangan pasir laut.
“Fir’aun punya padang pasir, tapi tidak pernah jual pasir” begitu bunyi salah satu poster yang dibawa nelayan saat berunjuk rasa di depan Gedung Mina Bahari I, Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Jakarta Pusat.
Kalimat satire itu dituliskan seolah mewakili keresahan nelayan mengenai aturan ekspor pasir laut yang kembali dibuka setelah 20 tahun dilarang. Tak hanya poster dengan berbagai macam tulisan penolakan, nelayan yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini juga membawa properti lain seperti alat tangkap ikan berupa jala dan bubu.
Dalam aksinya, para pahlawan protein pangan ini juga membawa 17 karung berisi pasir yang ditumpuk di depan gedung KKP itu.
“Sejauhnya kami datang ke Jakarta, ke rumah kami (KKP) ini untuk menyampaikan keresahan kami bahwa pengerukan sendimen sudah sangat mengancam ruang hidup kami,” tegas Ezra Dwi Lestari, koordinator Persaudaraan Perempuan Nelayan Lampung kepada Mongabay disela-sela aksinya, Kamis (10/10/2024).
Perempuan 40 tahun ini mengaku geram, alih-alih nelayan dan pembudidaya udang di daerahnya dalam ancaman, pemerintah lewat Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan justru menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 pada 29 Agustus 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Aturan ini mengesahkan kegiatan ekspor pasir laut kembali dibuka.
“Aturan belum dibuka saja aktivitas pengerukan ini sudah sangat mengganggu kami, apalagi sekarang dibolehkan. Apa nggak semakin parah dampaknya,” imbuh perempuan asal Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung
Baca : Diamankan KKP, Dua Kapal Asing Curi Pasir Laut di Batam untuk Singapura

Kualitas Perairan Rusak
Ezra mengeklaim, penambangan pasir laut yang beroperasi sejak tahun 2020 di daerahnya sudah mengakibatkan kualitas air laut menjadi rusak. Akibatnya para pembudidaya udang, termasuk dirinya seringkali mengalami gagal panen.
“Saya punya tambak mangkrak sekarang. Kakak-kakakku, adik-adikku juga mengalami masalah yang sama. Kerugiannya minimal Rp15 juta untuk modal benur, pakan, dan pupuk,” terangnya.
Tidak hanya itu, menurut Ezra dampak dari aktivitas penambangan partikel batuan halus itu juga membuat nelayan tangkap semakin jauh mencari ikan. Dengan semakin menjauhnya nelayan dari bibir pantai, menurut Ezra membuat ongkos operasional seperti pembelian solar jadi bertambah.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan sebab suhu air laut semakin menghangat akibat krisis iklim.
Akibatnya hasil tangkapan nelayan semakin menurun. Dalam per hari, Ezra mengeklaim mulanya nelayan tangkap ini bisa mendapatkan penghasilan Rp500 ribu hingga sejuta per hari. Namun sekarang ini semakin menyusut.
Saat hasil tangkapannya semakin tidak tentu, katanya, efek yang ditimbulkan jadi panjang, salah satunya anak-anak nelayan saat ini sudah banyak yang putus sekolah.
Mirisnya lagi, pada saat profesi nelayan dan membudidayakan udang ini sudah tidak bisa diharapkan, dampaknya sekarang ini banyak nelayan yang beralih profesi menjadi buruh migran maupun buruh bangunan. “Tidak ada yang mau meneruskan pekerjaan nelayan. Sehingga perempuan nelayan semakin terbeban ganda dan termiskinkan,” ungkapnya.
Baca juga : Mengancam Lingkungan dan Berkonflik Sosial, Nelayan Kepri Tolak Penambangan Pasir Laut

Ezra menyayangkan, padahal, bila perairan laut dikelola dengan baik, serta memperlakukannya dengan ramah dan bersih potensi ekonominya jauh lebih besar. Ia meyakini itu, sebab faktanya, sebelum pengerukan pasir itu ada, keadaan masyarakat sejahtera.
Dia bilang, keluhan-keluhan seringkali disampaikan ke berbagai pihak pemangku kebijakan, namun hingga saat ini belum ada tindakan yang konkrit. Kalaupun ada, lanjutnya, itu hanya sebatas penanaman mangrove yang ditaman dengan tidak maksimal.
“Kami berharap pemerintah membuatkan regulasi yang membuat laut kami kembali aman, agar kami bisa kembali melaut dengan aman dan nyaman tanpa ada kegelisahan. Untuk masa depan anak cucu kami,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan Eko Prasetyo, nelayan asal Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Eko berkisah, hingga kini ia bersama nelayan lain di daerahnya masih berjuang mempertahankan ruang tangkapnya yang dibayangi ancaman penambangan pasir laut yang dilakukan Perusahaan Alam Lestari.
Eko mengungkapkan, adanya penambangan pasir laut yang terjadi di daerahnya dampaknya tidak hanya ke mata pencaharian nelayan, namun juga membuat lahan petani yang ada di bibir pantai mengalami penyusutan karena abrasi yang terjadi semakin parah.
“Kami mohon kiranya aturan-aturan yang terkait dengan penambangan pasir laut ini direvisi lagi,” harapnya.
Baca juga : Jejaring Perempuan Pesisir Tuntut Pemerintah Cabut Aturan Tambang Pasir Laut

Jangan Bohongi Nelayan
Sementara itu, Susan Herawati, Sekertaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) secara tegas mengungkapkan, bahwa regulasi PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut itu hanyalah kedok negara memberikan karpet merah kepada investor dibandingkan memikirkan nasib nelayan.
Nelayan, katanya, kerapkali dibohongi dengan berbagai istilah seperti ekonomi biru maupun hijau. Namun, pada kenyataan di lapangan, nelayan seringkali menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap mereka.
Termasuk dibukanya keran ekspor pasir yang mengatasnamakan sendimentasi. Padahal, lanjutnya, sedimentasi itu mengandung dua komponen pasir dan lumpur.
“Jangan bohongi nelayan dan perempuan nelayan dengan kata-kata halus bahwa ini sendimentasi,” terangnya.
Tak hanya aktivis, nelayan maupun masyarakat pesisir lain, penolakan terhadap dibukanya kembali keran ekspor pasir laut juga datang dari kalangan akademisi.
Fahmi Radhi, pengamat ekonomi dan energi Universitas Gajah Mada (UGM) berpandangan, pengerukan pasir laut tidak hanya berdampak pada ekologi laut, namun juga bisa memicu tenggelamnya pulau-pulau yang berdampak kepada masyarakat pesisir pantai.
Meskipun pemerintah berdalih ekspor pasir laut ini untuk menambah pendapatan negara, akan tetapi menurutnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk ekspor pasir laut jauh lebih besar. Sehingga tidak tepat.
“Perlu untuk diperhitungkan kerugian biaya akibat kerusakan lingkungan dan ekologi yang ditimbulkan,” kata dia, baru-baru ini sembari mendesak agar pemerintah segera menghentikan ekspor sendimen laut.

KKP Amankan Kapal Pencuri Pasir Laut
Ditengah hangatnya polemik ekspor pasir laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan penghentian operasional dua kapal keruk (dradger) bernama MV Yang Cheng 6 dan MV Zhou Shun 9.
Kapal berbendera Malaysia ini diduga melakukan kegiatan pengerukan pasir laut tanpa izin dan dokumen yang lengkap di Perairan Batam, Kepulauan Riau. Sedangkan nahkoda kapal membantah bahwa penyedotan pasir tidak dilakukan di Indonesia tetapi di Malaysia untuk dibawa ke Singapura.
Pengungkapan kasus penangkapan dua kapal tersebut disampaikan KKP, Kamis siang, (10/10/2024). Beberapa awak media dibawa menggunakan kapal pengawas perikanan Orca 12 untuk mendatangi salah satu dari kapal tersebut yaitu, kapal Yang Cheng 6 yang ditangkap di perairan Pulau Nipah Kota Batam.
Terlihat juga dalam pengungkapan kasus ini hadir langsung Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)Pung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Viktor Gustaaf Manoppo dan juga Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi serta beberapa jajaran KKP lainnya. (***)
Kontroversi Ekspor Pasir Laut: Ancaman Lingkungan atau Peluang Ekonomi?