Kasus dugaan korupsi timah di Kepulauan Bangka Belitung yang tengah berproses di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, merupakan kelanjutan dari sejarah kelam penambangan timah di kepulauan tersebut.
Dua abad lalu, timah yang sangat dibutuhkan industri di Eropa, menyebabkan peperangan antara Kesultanan Palembang [penguasa Bangka] dengan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Selanjutnya, menciptakan konflik antara Belanda dan Inggris, yang melahirkan perjanjian London pada 1824.
Perjanjian London ini yang menyebabkan Singapura [Temasek] lepas dari Belanda, dan diserahkan ke Inggris, sementara Bengkulu diserahkan Inggris ke Belanda. Lepasnya Singapura ini akhirnya memutuskan jejak sejarahnya dengan Indonesia.
Singapura adalah pulau yang ditemukan dan dikuasai Parameswara atau Iskandar Syah, seorang pangeran dari Palembang [1389-1398]. Parameswara lari dari Palembang setelah Kerajaan Majapahit melakukan invasi ke Palembang.
Pada awalnya, perdagangan timah yang dilakukan Kesultanan Palembang dengan VOC [Vereenigde Oostindische Compagnie], sebuah perusahaan Belanda, berjalan lancar. Perdagangan timah masuk dalam kontrak atau perjanjian dagang antara Kesultanan Palembang dengan VOC yang dibuat pada tahun 1662, 1678, 1679, 1681, 1691, 1722, 1755. Bahkan, VOC mendirikan sebuah loji di tepi Sungai Aur, Palembang.
Persoalan mulai muncul ketika VOC dibubarkan pada 1799; perusahaan mengalami banyak kerugian akibat korupsi.
Bubarnya VOC membuat Kesultanan Palembang mendapat keuntungan. Meskipun masih melakukan perdagangan dengan Belanda, yang diwakili oleh pemerintahan kolonial Belanda, tapi Kesultanan Palembang membuka jalur perdagangan baru. Misalnya dengan para pedagang di Makau, Tiongkok. Perdagangan ini disebut Belanda sebagai “pasar gelap”, sebab tidak berdasarkan perjanjian atau kontrak dagang.
Baca: Tersangka Kasus Korupsi Timah Telah Ditetapkan, Bentang Alam Bangka Belitung Harus Dipulihkan

Dikutip dari jurnal berjudul “Pasang Surut Pedagangan Pada Masa Kesultanan Palembang Tahun 1804-1821” yang ditulis Rima Agri Triacitra, Nor Huda, Nyimas Umi Kalsum dari Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang yang dipublikasikan pada 2021, disebutkan melalui pasar gelap, Kesultanan Palembang mengekspor lada sebanyak 20 ribu pikul dan timah sebanyak 27.655 pikul ke Makau, Tiongkok. Sementara perdagangan dengan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1800, Kesultanan Palembang hanya mengekspor 5.000 pikul lada dan 5.000 pikul timah.
Masa kedaulatan perdagangan timah tersebut berlangsung selama Sultan Mahmud Badaruddin II memimpin Kesultanan Palembang sejak 1804.
Inggris membaca peluang ini. Sir Thomas Stamford Raffles, seorang negarawan Inggris yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda [1811–1816], mengajak Kesultanan Palembang untuk memutuskan hubungan dagang dengan Belanda, dan berganti dengan Inggris.
Sultan Mahmud Badaruddin II menolaknya. Raffles tidak terima. Pada 1811, Raffles memasok persenjataan kepada sejumlah masyarakat Palembang untuk menyerang loji milik Belanda di Sungai Aur. Loji itu hancur. Belanda menuduh Inggris dibalik penyerangan tersebut, Inggris berbalik menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II.
Raffles mendesak Sultan Mahmud Badaruddin II untuk berdagang timah dengan Inggris. Sultan Palembang itu kembali menolaknya. Terjadilah peperangan dengan kemenangan Inggris. Sultan Mahmud Badaruddin II lari ke pedalaman, ke wilayah Ulu Rawas.
Selanjutnya, melalui sebuah musyawarah Sultan Mahmud Badaruddin II diperbolehkan kembali ke Palembang, dan kembali menjadi Sultan Palembang.
Inggris menguasai timah di Pulau Bangka selama dua tahun. Berakhir, setelah adanya perjanjian London.
Setelah Inggris melemah atau pergi, pemerintah kolonial Belanda mencoba menguasai Kesultanan Palembang. Tentunya, keinginan tersebut guna menguasai perdagangan timah yang saat itu sangat dibutuhkan banyak industri di Eropa. Sultan Mahmud Badaruddin II menolak takluk. Dia menolak keinginan Belanda.
Baca: Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah

Belanda akhirnya menyerang Palembang dengan armada yang dipimpin Herman Warner Muntinghe pada 12 Juni 1819. Pasukan Muntinghe atau disebut “Menteng” oleh wong Palembang, akhirnya kalah. Ratusan tentara Belanda mati. Peperangan ini dikenang sebagai “Perang Menteng” atau “Perang Palembang”.
Pada 21 Oktober 1819, Belanda kembali menyerang Palembang. Kali ini dipimpin Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek. Tapi setelah satu hari pertempuran, Wolterbeek menghentikannya. Pada 30 Oktober 1819, dia kembali ke Batavia.
Pertengahan Juni 1821, Belanda kembali mengirim pasukannya ke Palembang. Saat itu bulan Ramadan.
Minggu dini hari, 24 Juni 1821, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. Serangan mendadak tersebut, jelas membuat Sultan Palembang dan rakyatnya tidak siap.
Palembang jatuh ke tangan Belanda. Sebulan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin dibuang ke Batavia, dan selanjutnya dibuang ke Ternate, Maluku, hingga wafat.
Kesultanan Palembang dibubarkan Belanda pada 1823. Penambangan dan perdagangan timah di Pulau Bangka dikuasai penuh Belanda.
Monopoli perdagangan timah oleh kolonial Belanda di Pulau Bangka menimbulkan konflik. Konflik tejadi dengan Depati Amir pada 1850-1851. Penyebabnya, Belanda tidak menaati perjanjian untuk berbagi hasil dari penambangan timah di tanah milik keluarga Depati Amir. Setelah dikalahkan Belanda, Depati Amir dibuang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur [NTT].
Saat melawan Belanda, Depati Amir minta dukungan Batin Tikal, seorang pejuang dan tokoh masyarakat dari daerah Sungai Selan, Bangka. Batin Tikal berjuang melawan Belanda dari 1819-1829 bersamaan dengan perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Depati Amir adalah anak Depati Bahrin. Depati Bahrin menjadi tokoh masyarakat Bangka setelah berhasil menumpas para perompak di Selat Bangka, di masa kolonial Belanda.
Baca: Tambang Timah, Polusi Suara, dan Ancaman Kehidupan Mamalia Laut di Pulau Bangka

***
Sikap Sultan Mahmud Badaruddin II untuk tidak melanjutkan kontrak dagang dengan Belanda dan Inggris, dapat dikatakan sebagai upaya menegakkan kedaulatan kekayaan alam, khususnya timah, dari kepentingan asing [Belanda dan Inggris].
Dia bersama rakyatnya merasakan keuntungan lebih besar, sejak putus hubungan dagang dengan VOC. Keuntungan besar yang didapatkan melalui “pasar gelap”. Pasar gelap dimainkan dengan para pedagang Tiongkok, khususnya di Makau.
Lalu, apakah penambangan timah ilegal yang berlangsung di Kepulauan Bangka Belitung selama puluhan tahun terakhir sama seperti yang dilakukan Sultan Mahmud Badaruddin II?
Tentu saja tidak, sebab apa yang dilakukan Sultan Mahmud Badaruddin II untuk kepentingan pemerintahan dan rakyatnya, bukan kepentingan pribadi dan keluarganya. Buktinya, dia menolak tawaran Raffles untuk menjual timah ke Inggris, meskipun tawaran harganya lebih mahal dibandingkan yang dibayar Belanda. Bahkan, setelah Kesultanan Palembang dikuasai kolonial Belanda, perlawanan terus dilakukan rakyat Palembang, termasuk yang diperjuangkan Batin Tikal di Pulau Bangka.
Sementara, penambangan timah ilegal diperkirakan lahir dari semangat “lokalis” masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung terhadap timah. Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung menilai kekayaan timah, selama ini hanya dinikmati orang luar atau bangsa asing. Melalui penambangan timah ilegal, mereka seakan ingin menyatakan berhak untuk menikmati timah.
Faktanya, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung justru hidup jauh dari sejahtera dari penambangan timah ilegal. Bahkan, daya rusak penambangan timah ilegal bukan hanya merusak bentang alam, juga berdampak pada kemiskinan dan kesehatan masyarakat.
Penambangan timah ilegal justru memperkaya kelompok orang tertentu. Syukurnya, saat ini sebagian penikmat yang disebut koruptor itu tengah diproses hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Baca juga: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

***
Pertanyaan pentingnya, apakah dipenjaranya mereka yang diduga melakukan korupsi perdagangan timah, membuat masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung menjadi makmur dan hidup bahagia?
Tentu saja tidak, untuk saat ini. Bahkan, kehidupan mereka lebih memprihatinkan. Hutan, kebun dan laut yang selama ini sebagai sumber penghidupan sudah rusak. Butuh waktu lama untuk pulih agar dapat dimanfaatkan lagi.
Pariwisata yang memanfaatkan kolam atau kolong eks penambangan timah, saya pikir cukup sulit menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat Bangka.
Jadi, yang sangat memungkinkan adalah selain melakukan perbaikan [restorasi] terhadap hutan, kebun dan laut yang sudah rusak, yakni adanya kebijakan untuk memberikan anggaran lebih besar, baik dana alokasi umum [DAU], dana alokasi khusus [DAK], dan dana bagi hasil [DBH] ke Kepulauan Bangka Belitung.
Dengan adanya anggaran besar dari pusat, memungkinkan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung dapat memperbaiki diri dan selamat dari dampak berkelanjutan penambangan timah yang tidak lestari.
Kebijakan ini mungkin dapat diterapkan pada daerah lainnya di Indonesia, yang menjadi korban eksploitasi mineral dan migas.
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni yang menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.
Kasus Korupsi Timah, Pegiat Lingkungan: Pemerintahan Jokowi Gagal Wujudkan Tata Kelola Pertambangan