- Karut marut tata kelola sawit berbuntut penggeledahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dua pekan lalu. Informasinya, gerak Kejagung ini terkait dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit 2005-2024. Berbagai kalangan pun merespon dan meminta Kejagung membuka kasus dengan terang supaya masyarakat dapat berkontribusi dalam memberikan data dan masukan.
- Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bilang, ada kendala bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam memberikan data kalau perkara kasus tidak terang. Seharusnya, Kejagung membuka informasi pada publik perkara pokok dari korupsi yang mereka endus di KLHK.
- Halri Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, mengatakan, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) meyakini telah terjadi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan yang melanggar hukum. Aksi ini diduga terjadi sejak 2005-2024.
- Masyarakat sipil juga mendesak proses penyelidikan korupsi tata kelola sawit ini juga menjerat korporasi. Pasalnya, korporasi yang diuntungkan dalam pemutihan ini. Padahal, praktik ilegal mereka ini merugikan negara, masyarakat sekitar dan lingkungan hidup.
Karut marut tata kelola sawit berbuntut penggeledahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dua pekan lalu. Informasinya, gerak Kejagung ini terkait dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit 2005-2024. Berbagai kalangan pun merespon dan meminta Kejagung membuka kasus dengan terang supaya masyarakat dapat berkontribusi dalam memberikan data dan masukan.
Uli Arta Siagian, Direktur Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengapresiasi tindakan Kejagung walau terlambat. Walau belum ada keterangan resmi, tetapi Uli menengarai penggeledahan ini berkaitan dengan pemutihan sawit dalam kawasan hutan.
“Kami sudah tunggu lebih dari 14 tahun. Karena pelepasan kawasan hutan baik dari perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah), PP (peraturan pemerintah), itu sarat dengan praktik korupsi,” katanya dalam Diskusi Publik bertajuk Praktik Korupsi Dibalik Pemutihan Sawit dalam Kawasan Hutan yang diadakan di Jakarta, pekan lalu.
Modus perubahan kawasan hutan untuk akomodasi pelanggaran itu Uli sebut jamak sejak 2011. Bahkan, tata ruang ditunggangi untuk perusahaan-perusahaan yang selama ini melakukan aktivitas ilegal menjadi legal.
Catatan Walhi, sudah terjadi 8 juta hektar kawasan hutan lepas sampai 2022. Sekitar 71% atau 6 juta untuk korporasi perkebunan. Artinya, indikasi praktik korupsi dalam konteks pengampunan kesalahan, pemutihan, hingga perubahan tata ruang sudah terjadi sejak lama.
Perusahaan, lanjut Uli, juga memiliki modus operandi untuk menduduki kawasan hutan terlebih dahulu dan mengubah menjadi sawit atau aktivitas lain. Dari situ, mereka tinggal mengusulkan pelepasan kawasan atau pemutihan.
“Jadi banyak ruang dipakai perusahaan untuk membuat aktivitas mereka yang selama ini ilegal jadi legal. Itu difasilitasi pemerintah.”
Fasilitas itu berupa serangkaian regulasi yang muncul untuk pengampunan pada korporasi. Sejak 13 tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) memberikan ruang spesial ini.
Dia sebut, mulai dari PP 60/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Regulasi ini memberikan waktu enam bulan bagi perusahaan yang melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan untuk mengurus legalitas.
“Hingga waktu enam bulan tidak diapa-apain juga sama pemerintah. Tidak diberikan sanksi, tidak penegakan hukum.”
Pun demikian dengan PP 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan. Regulasi ini memberikan mandat tiga tahun bagi pemerintah dan korporasi untuk proses legalitas kegiatan ilegal yang selama ini perusahaan lakukan. Hasilnya, nihil hingga batas waktu tiga tahun selesai.
Terbaru, pengampunan ini lewat Pasal 110a dan 110b UU Cipta Kerja. Proses pemutihan ini yang dia lihat penuh indikasi korupsi dalam konteks tata kelola sawit dalam kawasan hutan.
“Proses ini sangat tertutup. Sangat sedikit publik bisa akses data dan informasi terkait dengan prosesnya,” kata Uli.
Dari data yang Walhi dapatkan, walau tidak langsung dari KLHK, terdapat 1.263 kebun teridentifikasi dalam kawasan hutan. Secara total luas mencapai 1,4 juta hektar.
Ada juga beberapa surat keputusan (SK) KLHK keluarkan, dengan 78 surat berisi penetapan batas pelepasan kawasan hutan.
“Ada 97 perusahaan dapat SK pelepasan kawasan hutan. Tapi kita tidak tahu perusahaan ini apa saja, dan apakah prosesnya berjalan sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah atau tidak,” kata Uli.
KLHK juga mengeluarkan kebijakan penghitungan denda dengan menyamaratakan jenis pohon. Jadi, penghitungan denda kecil dibanding seharusnya.
“Ada gap sangat tinggi sekali yang seharusnya didapatkan oleh negara dari proses perhitungan yang diperkecil ini,” kata Uli.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyebut, data pemerintah tahun 2019 mencatat ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan, sebanyak 2,2 juta tengah proses pemutihan.
“Sisanya katanya sudah diselesaikan. Tapi di mana, dan siapa itu kita tidak tahu. Gelap. Padahal ini di kawasan hutan negara, jadi publik harusnya tahu,” katanya.
Dia menyebut, ada indikasi korupsi dalam proses denda ini. Dari studi mandiri mereka, Sawit Watch menemukan ada perputaran uang sampai Rp105 triliun dari pemutihan 2,1 juta hektar sawit.
Buka kasus
Jadi, katanya, meskipun dari awal Sawit Watch tak setuju model denda dan Pasal 110a dan 110b, tetapi desak Kejagung membuka informasi soal pemutihan dan informasi agar ada proses pemantauan.
“Semoga kasus di KLHK itu terkait pemutihan ini. Kejagung membuka semua. Kalau tidak dibuka, ini duit yang besar. Rakyat harus tahu biar proses terang benderang.”
Senada dengan Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Dia bilang, ada kendala bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam memberikan data kalau perkara kasus tidak terang. Dia meminta, Kejagung membuka informasi pada publik perkara pokok dari korupsi yang mereka endus di KLHK.
“Kalau sudah ada penggeledahan, nggak mungkin informasinya nol atau sedikit. Pasti sudah ada info atau petunjuk awal yang dikumpulkan. Jadi dibuka saja seteng-terangnya… Kita pasti akan dukung konteks pemberantasan tindak pidana korupsi yang seadil-adilnya,” kata Dodo, sapaan akrabnya lewat sambungan telepon kepada Mongabay.
Dodo menyebut, informasi minim dari Kejagung membuat masyarakat sipil bertanya-tanya duduk perkara sebenarnya. Informasi awal yang Dodo dapat bahkan kasus itu berada di rentang waktu 2016-2024.
Dalam rentang waktu itu, setidaknya ada dua tipe korupsi, yaitu sebelum dan sesudah Undang-undang Cipta kerja (UUCK).
“Kalau 2016, ada proses pelepasan hutan yang izin diajukan sebelum 2016. Tahun 2020 ke atas, itu bicara konteks pasca Pasal 110a dan 110b di UUCK dan pasal turunannya,” kata Dodo.
Aktor yang terlibat pun berbeda. Sebelum UUCK, untuk pelepasan kawasan hutan dan tata kelola sawit, ada KLHK dan kementerian lain terkait. Pasca UUCK, untuk pemutihan sawit dalam kawasan hutan, ada KLHK dan satgas keterlanjuran di bawah Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi.
Karena itu, penting membuka informasi kasus dan aktor secara luas. “Kami tidak mau info simpang siur karena kasus ini belum dibuka dengan terang. Kami hanya tahu aksi penggeledahan tapi tidak tahu dalam kasus apa,” kata Dodo.
Kejagung pun masih irit bicara. Informasi yang beredar hanya penggeledahan di sejumlah ruangan di KLHK dengan penyitaan dokumen sebanyak empat boks dan barang bukti lain dalam bentuk elektronik, terutama terkait proses pelepasan kawasan hutan.
Dilansir dari CNN Indonesia, barang bukti sitaan penyidik Kejagung berasal dari sejumlah ruangan, yakni, Ruang Sekretariat Jenderal KLHK, dan Sekretariat Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian. Kemudian direktorat yang membidangi pembayaran PNBP berupa PSDH dan DR, direktorat yang membidangi pelepasan kawasan hutan, serta direktorat yang membidangi penegakan hukum, dan biro hukum.
Halri Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, mengatakan, penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) meyakini telah terjadi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan yang melanggar hukum. Aksi ini diduga terjadi sejak 2005-2024.
“Saat ini, penyidik sedang fokus analisis terhadap barang bukti dan akan pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi,” katanya.
Febrie Adriansyah, Jampidsus Kejagung dilansir Liputan6.com menyebut, penghitungan kerugian negara dalam kasus ini dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dia mengatakan, perkara ini mirip dengan kasus Duta Palma.
“Masih dihitung kerugian negaranya… Bersama BPKP,” katanya.
Panggil perusahaan
Masyarakat sipil juga mendesak proses penyelidikan korupsi tata kelola sawit ini juga menjerat korporasi. Pasalnya, korporasi yang diuntungkan dalam pemutihan ini. Padahal, praktik ilegal mereka ini merugikan negara, masyarakat sekitar dan lingkungan hidup.
Dari catatan Walhi, Riau dan Kalimantan Tengah, merupakan daerah masif dengan proses pemutihan. Perusahaan sawit bermasalah juga banyak di wilayah itu.
Dalam investigasi mereka terhadap 11 perusahaan di Riau. Rinciannya, enam tak sesuai tata ruang, tiga perusahaan beroperasi di lahan gambut, enam perusahaan alami kebakaran hutan dan lahan. Sebelas perusahaan ini tercatat pernah berkonflik dengan masyarakat.
“Jadi legalitas itu hanya satu dari sekian banyak persoalan yang terjadi di lapangan. Ada dampak langsung dari aktivitas mereka yang dirasakan masyarakat sekitar,” kata Uli.
Di Kalteng, khusus di Seruyan, ada masyarakat adat yang ditembak mati saat protes pengembalian tanah mereka.
Pelakunya, PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), satu perusahaan yang dapat pemutihan.
Untuk itu, Walhi mendorong Kejagung tidak hanya menggeledah KLHK, juga memeriksa perusahaan yang ikut dalam proses pemutihan ini.
Menurut Uli, banyak perusahaan terlibat dalam indikasi korupsi ini yang bisa diungkap.
“Kejaksaan berani enggak manggil dan periksa perusahaan-perusahaan yang ikut mekanisme pemutihan ini? Ini tantangan yang kami tanyakan ke Kejagung. Berani apa enggak?” seru Uli.
Catatan Sawit Watch, pemutihan sawit dalam kawasan hutan juga turut menguntungkan perusahaan yang sudah memiliki sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Di Kalteng, misal, ada 130 anggota RSPO dengan luas 142.000 hektar yang mengurus pemutihan. Di Riau, ada 106 anggota RSPO seluas 38.000 hektar yang melakukan hal sama.
“Sudah selesai atau belum (pemutihannya), kami enggak tahu,” kata Rambo.
Hal ini, katanya, akan menurunkan harga diri RSPO. Seharusnya RSPO mengeluarkan surat pada anggota yang bermasalah untuk mengimbau mereka melakukan pemulihan, bukan pemutihan.
“Ini dilegalkan, bukan dari awal ngurus baik-baik. Ini proses yang abnormal. RSPO juga seharusnya menolak sertifikasi mereka sejak awal,” kata Rambo.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, tak hanya anggota RSPO yang mereka temukan mengikuti proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan, tapi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Ini menunjukkan, inisiatif sertifikasi itu tidak mampu jawab tata kelola yang buruk,” kata Rio, biasa disapa.
Hasil kajian Greenpeace menemukan, hampir semua fungsi kawasan hutan ditanami sawit ilegal. Rio menyebut, di hutan produksi tetap terdapat 724.000 hektar sawit skala industri. Lalu, di hutan produksi dapat dikonversi terdapat 579.000 hektar, hutan produksi terbatas ada 174.000 hektar, 49.000 hektar di hutan lindung dan 27.000 hektar di kawasan konservasi.
Greenpeace mencatat, praktik ini menguntungkan grup besar seperti Best Agro Plantation, Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, hingga Citra Borneo Indah. “Sebelum UUCK, praktik ini tidak boleh, tapi malah diputihkan oleh UUCK.”
Grahat Nagara, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera mengatakan, upaya pemerintah dalam memutihkan sawit dalam kawasan hutan lewat serangkaian regulasi jelas menguntungkan pelaku usaha.
Narasi pemerintah lewat Pasal 110a dan 110b dalam UUCK yang menyebut aksi ini untuk menyelesaikan keterlanjuran tidak tepat lantaran ikut dalam penyelesaian ini adalah pelaku usaha yang jelas ilegal dari awal kegiatan mereka.
“Jadi, ada label yang salah. Ini tidak berkaitan dengan masyarakat dan tidak berkaitan dengan keterlanjuran kebijakan. Karena ada yang ilegal sama sekali dalam proses perizinannya.”
Dia pun mengkritik logika hukum pemerintah untuk menempatkan KLHK sebagai pihak yang mengurus penghitungan denda pemutihan sawit. Menurut dia, sesuai UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup (UU PPLH), KLHK seharusnya memiliki legal standing sebagai wali lingkungan.
Jadi, dalam setiap kegiatan yang merugikan lingkungan, KLHK harus berdiri mewakili lingkungan untuk menggugat, minta ganti rugi dan pemulihan.
“Tugas ganti rugi adalah di Kemenkeu. KLHK harusnya memastikan lingkungan itu terwakili. [Tapi] cara merespons kejahatan lingkungan dengan menagih utang. Bukan mewakili lingkungan. Ini cara pikir lembaga publik kita.”
*******
Pemutihan Kebun Sawit Ilegal: Hitungan Denda, Negara Berisiko Merugi