- Sejumlah anak muda di Bali mengikuti Megalung Iklim untuk memaknai kembali tradisi yang ramah lingkungan
- Mereka mengikuti kegiatan membuat penjor dan gebogan dari bahan alami karena sebagian material untuk pembuatan berbagai persembahan kini menggunakan material anorganik.
- Ada juga pameran produk rintisan dan program inovasi bisnis berkelanjutan untuk mendorong kesadaran perubahan iklim dan penurunan emisi.
- Kini, ritual di Bali bisa menjadi masalah baru yang harus ditangani karena maraknya penggunaan mengandung material berbahaya dalam sejumlah persembahan.
Puluhan anak muda berkumpul di Taman Baca Kesiman, Denpasar untuk Megalung Iklim pada Sabtu (12/10/2024), sebuah perayaan mengingat lagi kearifan lokal minim emisi melalui sejumlah ritual di Bali serta memamerkan sejumlah inovasi iklim gaya anak muda.
Ada tiga tradisi yang selalu ada saat Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali. Di antaranya penjor, gebogan, dan membuat sate dan lawar. Penjor terbuat dari sebatang bambu yang melambangkan kesejahteraan dan hormat pada bumi karena bentuknya merunduk, berhias aneka hasil bumi dan janur.
Sementara gebogan adalah rangkaian buah dan bunga juga menunjukkan hasil bumi dibalut rasa estetika. Sehari sebelum Galungan atau Kuningan, umat Hindu yang merayakan membuat makanan tradisional untuk dipersembahkan dan dimakan keluarga seperti sate dan lawar.
Masalahnya, ketiga bentuk persembahan itu kini terkontaminasi plastik atau benda anorganik seperti hiasan warna-warni dari plastik dalam penjor, sementara gebogan makin banyak berisi minuman wadah plastik atau kaleng. Makna persembahan dari bumi dan untuk bumi pun terkikis.
Nah, di Megalung Iklim, sejumlah anak muda ini memaknai kembali penggunaan hasil bumi lokal dengan membuat penjor dan gebogan, tanpa menggunakan material anorganik. Misalnya untuk penjor hanya janur dan buah, sementara gebogan menggunakan alas kayu dan buah-buahan lokal.
Salah satu pengunjung, Agung Alit yang memproduksi kerajinan ramah lingkungan dan fair trade mengatakan produksi resin yang menggunakan zat kimia berbahaya makin marak untuk berbagai wadah persembahan. Menurutnya ini yang tak disadari banyak warga.
Berbagai penggunaan material dengan zat polutan ini juga akhirnya mencemari sumber air seperti sungai dan laut karena persembahan banyak dilarung untuk persembahan atau sengaja dibuang di sungai karena mengira semua alami. Tanpa disadari, ritual penyucian pun membuat alam tercemar.
Baca : Teba Modern, Cara Desa Celuk Bali Bebas Sampah Organik
Tak hanya membuat penjor dan gebogan, sejumlah anak muda lainnya juga mempresentasikan inisiatif iklimnya yang didampingi New Energy Nexus (NEX) dalam program Smart Energy Lab, program mentoring dan pendanaan bisnis berkelanjutan.
Salah satunya Decoco Luminer, sebuah produk yang dikembangkan sebagai pencahayaan dari limbah batok kelapa yang diukir. Untuk menambah nilai produk, ada jenis lampu yang menggunakan energi cahaya matahari melalui panel dan baterai lithium sehingga bisa digunakan sepanjang hari, termasuk pada malam hari.
Nurul Adhim, pendiri produk rintisan ini mengatakan ia bekerja sama dengan pengerajin dari Tampaksiring, Gianyar, Bali yang sudah terkenal membuat ukiran batok kelapa. Sejumlah desain yang sudah dibuat mengadopsi alam seperti capung, bunga, daun, dan lainnya. “Produk ini akan otomatis menyala di malam hari dan siang menyimpan daya,” urainya.
Inisiatif lainnya yang mendapat dukungan adalah Ambarwana yang mengembangkan bisnis pewarna alami berkualitas tinggi. Ambawarna bertujuan untuk menyediakan alternatif pewarna tekstil berkelanjutan yang bersumber dari kekayaan sumber daya alam Bali. Kemudian Ecous menawarkan produk furnitur daur ulang dan ramah lingkungan, melalui skema ekonomi sirkular dengan melibatkan masyarakat pada aspek bisnis hulu yakni pengumpulan dan daur ulang sampah.
Ada juga Dupadi, dupa ramah lingkungan berbahan baku sekam dari Desa Baha menjadi pewangi alami. Selanjutnya Ecotalk, platform penghubung online wisatawan dengan ekowisata dan keberlanjutan bisnis di Bali untuk mempromosikan wisata ramah lingkungan.
Diyanto Imam, Direktur Program New Energy Nexus Indonesia, menegaskan pentingnya peran kaum muda, ruang-ruang informal, seni, diskusi, serta inovasi dalam membangun ekonomi hijau menuju Bali Emisi Nol Bersih. Inovasi dan solusi iklim telah menjadi bagian dari tradisi Bali. “Kami tidak memperkenalkan hal baru, tetapi mengajak kaum muda untuk kembali mengingat esensi kehidupan yang mengutamakan harmoni dengan alam, termasuk dalam aktivitas ekonomi,” katanya.
Baca juga : Tantangan Target Nol Emisi di Tengah Maraknya Event Internasional di Bali
Dikutip dari siaran pers, dalam diskusi bertajuk “Menghadapi Krisis Iklim di Bali: Kewirausahaan Iklim dan Peran Komunitas,” ada sejumlah inisiatif lain yang sudah berjalan dan memberi dampak. Misalnya Ni Nyoman Rida Bimastini co-founder MagiFarm, sebuah social enterprise asal Bali yang berfokus pada pengelolaan limbah makanan berkelanjutan, berbagi pengalaman tentang membangun startup yang mengatasi masalah limbah sekaligus mengurangi emisi karbon. Sebagai penerima grant lewat Inisiatif Matangi Bali, Ima menunjukkan bagaimana kewirausahaan iklim dapat memberikan solusi nyata untuk menghadapi tantangan lingkungan di Bali dan memperkuat inovasi lokal.
Luh Putu Anggita Baruna Putri, Community Manager Sungai Watch, juga berbagi pentingnya keterlibatan komunitas dalam untuk mendukung inisiasi dan gerakan yang dilaksanakan Sungai Watch. Organisasi ini sudah melakukan banyak kegiatan untuk mengurangi sampah dari saluran irigasi, area mangrove, dan sungai ke laut. Misalnya dengan memasang penghadang sampah (trash barrier), mengolah sampah yang ditemukan dan bisa didaur ulang menjadi plat untuk sejumlah kebutuhan, dan lainnya.
Pesan kampanye lingkungan juga disampaikan dalam acara hiburan tradisional seperti kecak, bondres, dan musik Nosstress.
Penelitian Bali Partnership sebelumnya menyebut timbulan sampah di Pulau Bali mencapai 4.281 ton per hari. Sebesar 60% dari total sampah tersebut merupakan sampah organik, 20% sampah plastik, dan sisanya terdiri dari kertas, logam, gelas dan sampah dari pura. Dikutip dari jurnal Ecocentrism, sebuah artikel berusaha memetakan upaya daur ulang yang bisa dilakukan untuk limbah dari persembahyangan yang kini tercampur.
Baca juga : Aplikasi Bank Sampah Digital ini Jadi Basis Data lebih 15 Ribu Warga Bali
Penelitian Sugianti & Trihadiningrum (2008) menunjukkan timbulan sampah rata-rata di Pura Besakih, pura terbesar di Bali, mencapai 5,06 m3 /hari dan saat hari upacara adat, timbulan sampah meningkat hingga 46,71 m3 /hari). Sebesar 79,13% merupakan sampah basah yang berpotensi diolah menjadi kompos. Selain itu, terdapat juga komposisi sampah lainnya, seperti plastik, kaleng dan kertas.
Made Wijaya dan Kadek Ardi dari Program Pasca Sarjana Universitas Mahasaraswati menyimpulkan sampah upacara adat merupakan permasalahan sampah di Bali yang sangat membutuhkan penanganan. Dengan demikian, pura sebagai ikon pariwisata budaya di Bali tidak lagi menjadi kontributor sampah di TPA.
Sampah upacara adat terdiri dari 80% material organik, berupa bunga, daun, kelapa, sisa makanan dan buah, dan plastik. Beberapa upaya pengolahan sampah upacara adat, di antaranya pembuatan dupa aromatherapi dari sampah bunga, vermicomposting, dan pembuatan biofuel dari bunga gemitir. (***)