- Rencana pembukaan pertambangan emas dan perak skala besar di Kecamatan Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, membuat resah para petani kopi arabika.
- Penanggung jawab kegiatan adalah PT Pegasus Mineral Nusantara. Perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan [IUP] dari Pemerintah Provinsi Aceh pada 17 Maret 2022 Nomor: No. 540/DPMPTSP/664/IUP-EKS./2022. Luas wilayah tambangnya 968.06 meter persegi dengan kapasitas produksi setiap tahun mencapai 2.090.000 ton.
- Semua kebun kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah milik pribadi dengan luas beragam. Tidak ada perusahaan perkebunan. Masyarakat yang bekerja sebagai pemetik kopi, pengepul, penyortir, hingga pedagang sangat bergantung kopi arabika.
- Pertambangan emas dan perak tidak hanya berdampak pada masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah, tapi juga masyarakat di sekitar DAS Peusangan, yaitu, Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe. Aliran DAS Peusangan bermuara ke Selat Malaka.
Rencana pembukaan pertambangan emas dan perak skala besar di Kecamatan Rusip Antara, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, membuat resah para petani kopi arabika.
Syahrizal, petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah, mengatakan rencana tersebut dimuat di media lokal Aceh yang lokasinya di desa atau Gampong Tanjung, Desa Paya Tampu, Desa Merandeh Paya, dan Desa Kuala Rawa.
Dalam pengumuman 17 Oktober 2024 itu, penanggung jawabnya PT Pegasus Mineral Nusantara. Perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan [IUP] dari Pemerintah Provinsi Aceh pada 17 Maret 2022 Nomor: No. 540/DPMPTSP/664/IUP-EKS./2022. Luas wilayah tambang 9.968.06 meter persegi dengan kapasitas produksi setiap tahun mencapai 2.090.000 ton.
“Di Kecamatan Linge, Aceh Tengah, akan dibuka tambang emas dan di Rusip Antara juga,” jelasnya, Jumat [18/10/2024].
Syahrizal mengatakan, sebagian besar masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, selama ini sangat bergantung kopi arabika gayo, jenis terbaik di dunia. Beberapa tahun terakhir, pohon kopi terancam ulat buah dan hama penggerek batang.
“Semua berawal dari rusaknya hutan dan lingkungan di dataran tinggi Gayo. Jika muncul tambang emas, saya khawatir kopi arabika gayo akan tinggal kenangan.”
Baca: Petani Kopi Arabika Gayo Ungkap Kekhawatiran Dampak Perluasan Pertambangan Emas Linge
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat, tahun 2020 luas kebun kopi masyarakat di Aceh Tengah mencapai 50.942 hektar dan di Kabupaten Bener Meriah seluas 48.163 hektar.
“Semua kebun kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah milik pribadi dengan luas beragam. Tidak ada perusahaan perkebunan. Masyarakat yang bekerja sebagai pemetik kopi, pengepul, penyortir, hingga pedagang sangat bergantung kopi arabika.”
Jika pohonnya rusak maka yang miskin itu semua warga Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
“Juga berpengaruh hingga seluruh Provinsi Aceh, karena semua pasokan ke warung kopi dari dua kabupaten ini.”
Baca: Hanya Kopi Arabika di Hati Masyarakat Gayo, Bukan Tambang Emas
Sebelumnya, petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah protes dengan rencana pertambangan emas di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah oleh PT Linge Mineral Resource.
Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, PT Linge mendapatkan IUP Eksplorasi pada 28 Desember 2009 seluas 98.143 hektar, melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 tentang Peningkatan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi. Lokasinya, di Kecamatan Linge dan Bintang, Aceh Tengah.
Pada 4 April 2019, perusahaan ini mengumumkan rencana usaha dan kegiatannya dalam rangka studi amdal di media massa. Selaku kuasa Direktur PT Linge, Achmad Zulkarnain, menyatakan perusahaan akan menambang dan mengolah bijih emas seluas 9.684 hektar di Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq, dan Desa Penarun, Kecamatan Linge. Jumlah produksi maksimal 800.000 ton per tahun.
“Kami warga Aceh Tengah dan Bener Meriah tidak butuh tambang emas. Kami hanya bergantung hidup dari kebun kopi yang kami tanam dan pelihara sendiri,” papar Syahrizal.
Baca: Masyarakat Gayo Tegas Menolak Kehadiran Perusahaan Tambang Emas
Penghasil kopi dan padi
Sri Wahyuni, Sekretaris Gayo Alas Conservation Center, mengatakan Kecamatan Rusip Antara berada di sekitar Daerah Aliran Sungai [DAS] Peusangan. Selain penghasil kopi, kecamatan ini juga produsen padi.
“Pertambangan emas dan perak tidak hanya berdampak pada masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah, tapi juga masyarakat di sekitar DAS Peusangan, yaitu, Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe. Aliran DAS Peusangan bermuara ke Selat Malaka,” ujarnya, Jumat [18/10/2024].
Jika pertambangan dibuka, akan meningkatkan konflik satwa dengan manusia, karena daerah tersebut merupakan habitat sejumlah satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera.
“Pemerintah seharusnya lebih bijak mengeluarkan izin, jangan sampai menghancurkan kehidupan masyarakat. Pengawasan terhadap pertambangan merupakan bagian dari transparansi dan komitmen pemerintah mencegah korupsi dan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Baca juga: Jangan Rusak Kopi Arabika Gayo dengan Tambang Emas
Protes izin
Koordinator Gerakan Antikorupsi [GeRAK] Aceh, Askhalani, menjelaskan GeRAK pernah protes dengan izin usaha pertambangan [IUP] baru untuk 15 perusahaan tambang. Salah satunya, diberikan kepada PT Pegasus.
“Kami tanyakan mengapa Januari-Juli 2022, Pemerintah Aceh mengeluarkan sejumlah izin menjelang berakhirnya jabatan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh,” katanya, Jumat [18/10/2024].
Menurut Askhalani, izin-izin tersebut dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [DPMPTSP] Aceh setelah mendapat persetujuan Dinas ESDM Aceh.
“Kenapa dikeluarkan tiba-tiba? Ini terkesan Pemerintah Aceh tidak memiliki komitmen terhadap perlindungan kawasan hutan dan moratorium tambang.”
Izin ini tidak akan memberikan manfaat kepada publik.
“Hanya menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Dikutip dari situs Dinas ESDM Aceh, PT Pegasus Mineral Nusantara mendapatkan total luas IUP emas di Aceh Tengah, sekitar 1.008 hektar. Dalam surat yang ditandatangani Kepala Dinas ESDM Aceh, Mahdinur, dituliskan bahwa izin perusahaan berakhir pada 17 Maret 2030.
Tambang Emas Ilegal Bertebaran di Aceh, Belum Tersentuh Hukum?