- Satu dekade Pemerintahan Joko Widodo sudah berlalu. Janji pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih jauh dari asa. Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (UU Masyarakat Adat) belum ada kejelasan. Kini, harapan mereka sematkan pada pemerintahan baru.
- Masyarakat adat mendesak kepada Ketua DPR, Puan Maharani dan Presiden baru, Prabowo Subianto untuk mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat yang gagal ketok palu pada rezim Pemerintahan Joko Widodo.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan, Undang-undang ini akan jadi fondasi penting menyelesaikan beragam persoalan yang menimpa masyarakat adat, termasuk konflik lahan dan kriminalisasi.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), juga mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret melindungi hak-hak masyarakat adat. Selama ini, pemerintah gagal melindungi wilayah adat, yang makin terkonsolidasi di bawah kendali pemodal melalui konsesi-konsesi yang beroperasi di area konflik agraria.
“Undang-undang masyarakat adat adalah perintah konstitusi.” “Jalankan reforma agraria sejati untuk masyarakat adat.” “Kami adat, kami berdaulat, sahkan RUU masyarakat adat.” “Food estate, sistem tanam paksa gaya baru.” “PSN, penggusuran gaya baru, modus baru perampasan wilayah adat.” Kami penjaga hutan, bukan alat perdagangan karbon.”
Itu antara lain poster-poster dan spanduk yang masyarat adat dari berbagai daerah bawa ketika aksi di Jakarta, 11 Oktober lalu.
Mereka aksi damai menagih janji politik satu dekade pemerintahan Joko Widodo dan tuntutan agenda masyarakat adat di pemerintahan baru. Selama satu dekade Jokowi berkuasa, janji pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih jauh dari asa. Pemerintahan berganti, harapan juga masyarakat adat sematkan ke pemerintahan baru.
“Pemerintahan baru, lindungi, akui, hak kami masyarakat adat!” Begitu teriakan massa aksi yang menamakan diri sebagai Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (Gerak Masa).
Masyarakat adat berharap besar kepada Ketua DPR, Puan Maharani dan Presiden baru, Prabowo Subianto untuk mengesahkan Undang-undang Masyarakat Adat yang gagal ketok palu pada rezim Pemerintahan Joko Widodo.
Setidaknya, ada tiga tuntutan utama mereka sampaikan. Pertama, masyarakat adat menuntut penghormatan hak oleh negara. Kedua, mereka meminta bebaskan penahanan masyarakat adat oleh pihak berwajib. Ketiga, masyarakat adat menuntut pengesahan segera RUU Masyarakat Adat.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menegaskan kembali urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat. Undang-undang ini akan jadi fondasi penting menyelesaikan beragam persoalan yang menimpa masyarakat adat, termasuk konflik lahan dan kriminalisasi.
“Mudah-mudahan dengan ada Undang-undang, persoalan tanah adat bisa terselesaikan. Mereka yang saat ini dipenjara karena memperjuangkan haknya bisa segera bebas, dan hak-hak mereka dipulihkan,” katanya ditemui di tengah aksi.
Dia contohkan, perlawanan masyarakat adat di Tanah Batak terhadap PT Toba Pulp Lestari–sebelumnya Indorayon–, sejak akhir 1980-an.
“Perempuan-perempuan di Tanah Batak pernah menghadang buldoser dengan tubuh mereka, sementara suami, anak, dan kakek mereka ditangkap polisi. Ini bukan perlawanan baru, sudah berlangsung lama,” katanya.
Kasus hampir sama terjadi di berbagai wilayah Indonesia saat ini. Banyak warga adat masuk penjara hanya karena mempertahankan tanah leluhur mereka. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi, katanya, memperkuat urgensi pengesahan Undang-undang ini.
Rukka menyebut, bersama sejumlah perwakilan masyarakat adat telah bertemu dengan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR. Dalam pertemuan itu, PKB berkomitmen memperjuangkan pengesahan RUU Masyarakat Adat pada periode DPR 2024-2029.
“PKB berjanji memperjuangkan RUU ini semaksimal mungkin. Kami berharap, dengan DPR baru, komitmen ini bisa terealisasi, masyarakat adat tidak lagi dikecewakan,” ujar Rukka.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), juga mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret melindungi hak-hak masyarakat adat.
Dia nilai, pemerintah gagal melindungi wilayah adat, yang makin terkonsolidasi di bawah kendali pemodal melalui konsesi-konsesi yang beroperasi di area konflik agraria.
“Kami kembali turun ke jalan, bersama masyarakat adat, untuk mengingatkan bahwa pemerintahan sebelumnya telah gagal melindungi hak-hak masyarakat adat.”
Wilayah adat, katanya, makin dikuasai pemodal, sementara konflik agraria di masyarakat adat bukan sekadar sengketa tanah biasa, tetapi masalah struktural sebagai bentuk perampasan tanah adat.
“Dari Aceh sampai Papua, masyarakat adat terus menjadi korban perampasan wilayah adat mereka. Ini bukan hanya soal hak tanah, tetapi hak konstitusional masyarakat adat yang dilanggar,” katanya.
KPA bersama AMAN dan kelompok petani mendesak DPR yang baru dilantik segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Mereka menetapkan target 100 hari bagi DPR untuk mengambil langkah nyata memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
“Kami tidak ingin lagi diombang-ambing seperti 10 tahun terakhir. Kami menuntut penghentian penerbitan dan perpanjangan izin konsesi di wilayah adat, serta pembebasan pejuang masyarakat adat yang saat ini masih ditahan atau berhadapan dengan proses hukum,” ujar Dewi.
Menatap ke masa depan, Gerak Masa menyerukan kepada pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran lebih tegas dan konsisten dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Ada delapan tuntutan utama mereka sampaikan, seperti percepatan pengakuan hak atas wilayah adat dan penghentian seluruh perampasan tanah untuk proyek strategis nasional (PSN) dan kepentingan korporasi.
Mereka juga mendesak pemerintah baru segera mencabut UU Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), serta berbagai regulasi yang dianggap diskriminatif terhadap masyarakat adat dan kelompok rentan lain seperti petani, nelayan, dan buruh.
Gerak Masa juga menuntut Prabowo-Gibran memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang mempertahankan hak atas wilayah adat mereka. Partisipasi aktif masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka sebagai langkah penting masa depan lebih adil.
“RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan. Ini fondasi hukum yang akan melindungi hak-hak kami. Pemerintahan baru harus berani pemulihan lingkungan hidup dan menegakkan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan serta pelanggar hak asasi manusia,” seru Sombolinggi.
Masyarakat adat katakan, pemerintahan Jokowi memicu krisis multidimensi yang mencakup aspek politik, sosial, ekologi, agraria, hingga hukum. Mereka berharap, pemerintahan baru dapat mengambil langkah nyata mengatasi krisis dan memulihkan kedaulatan bangsa atas tanah serta sumber daya alam yang dikuasai pemodal.
Mereka juga menyerukan pemerintah mendukung upaya pelestarian budaya adat dan memperluas akses pendidikan yang menghargai kearifan lokal. Menurut mereka, pendidikan yang berbasis budaya dan nilai-nilai lokal adalah kunci untuk menjaga identitas masyarakat adat di tengah arus globalisasi.
Dengan harapan yang besar pada pemerintahan baru, Gerak Masa bertekad mengawal pemenuhan hak-hak masyarakat adat dan memastikan janji-janji perubahan lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejumlah petinggi Fraksi PKB DPR merespons dengan menemui mereka di depan Gedung DPR. Mereka diwakili Sekretaris Fraksi Anggia Ermarini, KH Maman Imanulhaq, dan Daniel Johan.
Dalam pertemuan dengan para pengunjuk rasa, Anggi menegaskan dukungan atas pengesahan RUU Masyarakat Adat karena memiliki urgensi besar dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Fraksi PKB punya komitmen kuat untuk memasukkan RUU Masyarakat Adat ke dalam program legislasi nasional periode saat ini. PKB berkepentingan memperjuangkan RUU Masyarakat Adat untuk memberikan perlindungan dan payung hukum terhadap masyarakat adat,” ujar Anggi, saat menerima draf RUU Masyarakat Adat dari perwakilan massa.
Maman Imanulhaq mengatakan, penting pengesahan RUU ini. Menurut dia, masyarakat adat memiliki hak-hak khusus yang harus diakui secara hukum.
Legislator PKB yang juga Wakil Sekretaris Dewan Syuro PKB itu memastikan partainya akan memperjuangkan hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, wilayah, sumber daya alam, serta kebudayaan dan kearifan lokal.
“Selama ini, tanah dan sumber daya masyarakat adat sering kali jadi target eksploitasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Pengesahan RUU ini penting melindungi mereka dari ancaman itu, dan memastikan keberlanjutan pengelolaan lingkungan yang mereka praktikkan secara tradisional,” kata Maman.
Daniel Johan juga menyatakan, masyarakat adat kerap jadi korban kriminalisasi dan marginalisasi selama RUU ini belum disahkan. RUU ini, Daniel sebut akan jadi langkah besar dalam memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum bagi jutaan masyarakat adat di seluruh Indonesia, serta menjaga keberlanjutan pengelolaan lingkungan yang mereka wariskan antar generasi.
“RUU ini akan memberikan kepastian hukum, menghapuskan tumpang tindih aturan yang selama ini menyebabkan konflik.”
Desakan masyarakat adat
Yulia Pihang, perwakilan perempuan adat, mengatakan, 10 tahun kepemimpinan Jokowi meninggalkan catatan buruk bagi bangsa dan memperkeruh kasus pelanggaran HAM pada komunitas adat di Nusantara. Salah satunya, Komunitas O Hongana Manyawa atau Orang Tobelo Dalam di Halmahera. Menurut Yulia, mereka terancam punah karena kebijakan yang dibuat pemerintahan Joko Widodo dan DPR.
Perempuan adat Hoana Keturunan Tobelo pesisir itu menyebut, Masyarakat Adat O Hangana Manyawa sudah ada sebelum negara ini merdeka. Sudah ratusan hingga ribuan tahun mereka menempati hutan Halmahera dan menjaga hutan adat sebagai rumah.
“Masyarakat Adat O Hongana Manyawa sangat bergantung hutan, saat ini dengan dalih pembangunan, negara hadir dan memporak-porandakan kehidupan mereka, termasuk hutan,” katanya.
Selain di Jakarta, aksi serupa juga diadakan di berbagai daerah. Ada di Kalimantan Timur, AMAN Kaltim bersama sejumlah Komunitas Adat anggota AMAN dari Paser, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Mahakam Ulu. Mereka juga mendesak pemerintah mengakui dan memulihkan hak masyarakat adat termasuk hutan adat.
Di Sulawesi Selatan, ratusan masyarakat adat menggeruduk Kantor DPRD Sulawesi Selatan.Aksi damai diinisiasi AMAN dan beberapa organisasi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah itu menuntut agar pengesahan UU Masyarakat Adat.
Di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bicara Kawal Masyarakat Adat menggelar aksi di depan Gedung DPRD dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Timur.
Massa dari komunitas masyarakat adat anggota AMAN dan lembaga lain ini menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan peraturan daerah (perda) dan RUU Masyarakat Adat.
Aksi juga ada di Ambon, Maluku oleh masyarakat adat yang tergabung dalam Gerak Masa ) di Bundaran Patung Leimena, Desa Poka, Kota Ambon, Maluku. Mereka juga menuntut hal sama, pengesahan UU Masyarakat Adat.
Aksi serupa juga ada di Ternate, Maluku Utara. AMAN Maluku Utara, bersama Gerakan Mahasiswa menggelar aksi serentak mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Aksi ini berlatarbelakang perampasan hak ulayat dan kerusakan lingkungan masyarakat adat karena laju industri pertambangan.
******