- Petani sawit di Buol, Sulawesi Tengah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah, kemitraan plasma sawit dengan perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP), tak menguntungkan apalagi mensejahterakan, para pemilik tanah pun terjerat utang.
- Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, yang HIP lakukan menjebak para petani pemilik lahan dalam siklus utang yang sulit terputus. Besaran utang yang diklaim perusahaan juga, tak ada bukti dan catatan rinci yang bisa dipertanggungjawabkan.
- Eep Saepulloh dari Sawit Watch mengatakan, perusahaan, kerap mengalokasikan dana talangan kepada petani plasma dengan cara-cara tidak transparan. Fenomena itu, sering ditemukan pada masalah kemitraan di perkebunan sawit, salah satunya, konflik kemitraan petani plasma Buol dan PT HIP.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menemukan, PT HIP tak memberikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan kebun plasma kepada mitra plasma, dalam hal ini Koptan Amanah, selama masa kerja sama kemitraan. KPPU memutuskan, HIP terbukti melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20/2008 dalam pelaksanaan kemitraan dengan Koptan Amanah. Gopprera Panggabean, Ketua Majelis dalam sidang 9 Juli 2024 juga memutuskan HIP kena denda Rp1 miliar.
“Kalau lahan satu hektar, bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Kalau dua hektar bisa langsung membeli mobil.”
Begitu antara lain janji perusahaan sawit, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) kepada warga ketika awal mula datang, pada 2007. Saat itu, perusahaan meminta warga Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) menyerahkan tanah mereka untuk jadi perkebunan sawit dan akan dapat imbalan bagian keuntungan.
Janji tinggal janji, kenyataan jauh panggang dari api. Hampir dua dekade, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun dari perusahaan. Bahkan, warga terjebak dalam labirin kemiskinan dan terjerat utang ratusan juta rupiah.
“Lebih dari 16 tahun, kami sudah bekerjasama dengan HIP, sampai sekarang tidak mendapatkan hasil apapun. Anehnya, kami justru dibebankan utang begitu besar oleh perusahaan,” kata Aripin Abdul Asis, warga Desa Winangun, kepada Mongabay Juli lalu.
Desa Winangun ini satu desa dengan penduduk transmigrasi dari berbagai daerah. Mereka pindah dan tinggal di Winangun sejak 1995 melalui program transmigrasi pada masa orde baru.
Saat transmigrasi, setiap keluarga mendapatkan dua hektar tanh dari negara. Satu hektar ada rumah siap huni dan jadi wilayah pekarangan tanaman pertanian. Satu hektar lagi jadi wilayah tanah bisa buat apa saja.
Transmigrasi bersamaan dengan kehadiran HIP, anak perusahaan PT Central Cipta Murdaya (CCM). Pada 1998, HIP peroleh hak guna usaha (HGU) dari pemerintah seluas 22.780,87 hektar bikin kebun sawit dengan wilayah berdampingan dengan transmigrasi.
HGU itu jadi alat HIP buka lahan (land clearing) untuk tanam sawit. Perusahaan keluarga Siti Hartati Tjakra Murdaya ini juga bikin pabrik pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO).
Pada 2007, perusahaan mulai menjejaki kemitraan dengan warga di desa sekitar kebun sawit mereka dengan membangun kemitraan plasma. Perusahaan umbar “kemakmuran” kepada warga dengan janji berikan 70% bagi hasil dari kebun warga yang akan masuk dalam skema plasma.
Sampai 2011, HIP menyebar cepat ke berbagai penjuru desa sekitar dan berhasil meyakinkan 1.650 warga dengan 4.700 hektar tanah. Mereka masuk dalam program kemitraan plasma melalui tujuh koperasi tani (koptan), yakni, Koptan Amanah, Plasa, Bersama, Awal Baru, Bukit Pionoto, Idaman, dan Fi-Sabilillah.
“Kami kumpul di balai desa, dan perusahaan sosialisasi plasma ini dengan janji mensejahterakan masyarakat. Apa yang disampaikan perusahaan sangat manis dan meyakinkan saat itu,” kata Aripin Abdul Asis, mengenang pertama kali hadir saat sosialisasi HIP 17 tahun lalu.
Untuk pendaftaran kemitraan plasma, warga harus mengambil pinjaman bank guna membiayai pembangunan kebun sawit Rp25 juta per hektar. Caranya, warga harus menyerahkan tanah mereka ke perusahaan jadi agunan pinjaman ke bank. Secara kolektif mereka menanggung utang hingga belakangan mencapai miliaran rupiah.
Ketentuan pasti dari setiap kemitraan plasma itu ditetapkan dalam kontrak antara perusahaan perkebunan dan warga, yang diwakili koperasi. Kontrak-kontrak ini akan mengatur tanah dan keuangan warga pemilik lahan selama sedikitnya 25 tahun.
Dalam kasus HIP, kontrak-kontrak itu memberikan sedikit ruang bahkan tidak ada negosiasi kepada warga. Dari analisis Mongabay terhadap dokumen perjanjian kerjasama antara HIP dan Koptan Amanah, satu koptan dengan 1.269 hektar lahan dengan petani 1.260 orang.
Dalam perjanjian kerjasama antara HIP dan Koptan Amanah itu menjelaskan, koperasi mengalihkan kendali uang hasil pinjaman petani pemilik lahan di bank kepada HIP. Perusahaan memperoleh keleluasaan atas bagaimana pinjaman itu dibelanjakan guna bangun kebun sawit.
Ketika kebun plasma berbuah, koperasi memberikan perusahaan kewenangan langsung menghitung biaya tidak langsung (overhead) pengelolaan perkebunan dan memotong dari pendapatan koperasi. Biaya termasuk biaya pemeliharaan, pupuk, panen, dan pengangkutan tandan buah segar (TBS) ke pabrik HIP.
Apabila hasil penjualan TBS belum dapat menutupi angsuran kredit dan bunga bank, dan biaya-biaya—-pemeliharaan, buat panen, transportasi TBS ke pabrik HIP, dan biaya tidak langsung (overhead) sebesar 5% total biaya pemeliharaan—, maka Koptan Amanah akan mendapat pinjaman dana talangan dari HIP untuk menutupi kekurangan itu.
Selama Koptan Amanah masih memerlukan dana talangan dari HIP, pemilik lahan belum dapat menerima sebagian hasil penjualan TBS, tetapi mendapat pinjaman Rp25.000 per petani per bulan yang akan dibayarkan setiap triwulan.
Untuk membayar angsuran dana talangan dan bunga HIP, maupun berbagai biaya—- pemeliharaan, panen, dan transportasi TBS ke pabrik HIP, serta biaya tidak langsung (overhead)—, surplus dari penjualan TBS akan dipotong 50%. Sisanya, diberikan kepada petani plasma Koptan Amanah.
Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan, kontrak-kontrak ini memberi kewenangan penuh kepada perusahaan dan memberikan hak terbatas kepada petani terkait pembelanjaan pinjaman mereka, dan perusahaan menghitung biaya dan laba.
“Kontrak itu sangat tidak adil. Ini sangat menguntungkan perusahaan dan merugikan petani pemilik lahan.”
Selaras dengan temuan Mongabay di lapangan. Kami meawancara lebih 10 petani plasma merasa terpinggirkan dan menjadi mitra pasif serta minor di perkebunan sawit mereka sendiri yang masuk kelola HIP.
Alih-alih mendapatkan keuntungan besar, mereka dibayar kurang Rp10.000 per bulan. Bahkan, beberapa dari mereka tidak memperoleh penghasilan apapun selama hampir dua dekade, sejak HIP panen awal.
“Kami sama sekali tidak diberikan bagi hasil dari perusahaan. Padahal, perusahaan telah panen di kebun kami,” kata Paulus Tato, petani Desa Winangun, tergabung dalam Koptan Amanah.
Terlilit utang
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Pepatah ini cocok untuk menggambarkan kondisi petani plasma di Buol. Selain hanya memperoleh hasil sedikit bahkan tak ada sama sekali dari plasma, perusahaan, seperti sengaja menenggelamkan petani dalam utang sampai ratusan juta rupiah per orang.
Di Koptan Amanah, misal, biaya bikin kebun sawit Rp25 juta per hektar. Melalui koperasi dan perusahaan, mereka mendapatkan pinjaman kredit Investasi dari Bank Mandiri Cabang Makassar Rp25,127 miliar. dengan agunan sertifikat hak milik (SHM) seluas 1.000 hektar.
Jangka waktu pinjaman 13 tahun sejak penarikan kredit pertama termasuk masa tenggang waktu angsuran (grace periode) selama lima tahun, dari 2008-2013. Fasilitas kredit investasi interest during construction (bunga masa pembangunan) Rp11,997 miliar.
Adapun bunga tahunan dari pinjaman itu 15%, dan total bunga kredit investasi Rp17,960 miliar. Kalau pinjaman kredit investasi dari Bank Mandiri ditambah KI-IDC dan bunga kredit investasi, pinjaman Koptan Amanah berjumlah Rp55,085 miliar.
Pinjaman-pinjaman ini yang kemudian HIP kelola penuh, dan secara kolektif para petani plasma menanggung utang mencapai puluhan juta rupiah per orang. Untuk melunasi utang-utang itu, masyarakat bergantung pada perusahaan HIP yang mengembangkan dan memelihara perkebunan agar bisa memperoleh laba.
Namun, sejumlah petani plasma Buol yang ditemui Mongabay justru memiliki utang Rp140 juta-Rp151 juta selama hampir sudah dekade setelah kebun mereka ditanami sawit. Utang itu berdasarkan pengakuan perusahaan kepada mereka, tetapi tidak transparan.
‘’Kami diberitahukan perusahaan bahwa memiliki utang Rp142 juta per orang. Kami tidak diberitahu ini utang dari mana dan mengapa sebanyak itu? Perusahaan tidak transparan soal utang itu. Sisi lain, kita tidak dapat hasil apa-apa,” kata Tato.
Dia sinyalir HIP memanfaatkan ketidakterbukaan dalam skema kemitraan untuk mengelola perkebunan yang menguntungkan mereka dan mengorbankan petani plasma Buol.
Model kemitraan antara HIP dan Koptan Amanah juga tak berkontribusi signifikan terhadap pendapatan petani karena “banyak pemotongan” perusahaan terhadap pendapatan. Biaya tidak langsung (overhead) 5%, dan surplus dari penjualan TBS akan dipotong 50%. Hal itu juga terungkap dalam persidangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) awal Juli lalu.
Dalam sidang putusan, HIP ternyata pernah mengajukan tambahan biaya sekitar Rp8 miliar untuk bikin kebun plasma Koptan Amanah, tanpa sepengetahuan petani pemilik lahan.
Masih dari dokumen KPPU, menyebutkan, HIP juga kembali mengajukan tambahan Rp16 miliar untuk kebun plasma 123,7 hektar. Namun, HIP tak dapat menjelaskan dan menunjukkan bukti serta rincian biaya hingga Koptan Amanah menolak mengakui tambahan utang itu.
Anehnya, HIP justru menyatakan Koptan Amanah memiliki utang Rp364, 013 miliar sejak 2008 sampai Agustus 2020. Utang itu terdiri dari pengeluaran Rp183, 891 miliar, ditambah bunga pinjaman perusahaan Rp180, 122 miliar.
Per November 2020, HIP pun kembali menyatakan Koptan Amanah punya utang Rp142, 187 miliar. Utang itu terdiri dari pengeluaran Untuk Investasi, Pengelolaan & Pemeliharaan dikurangi penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dan ditambah pinjaman perusahaan.
Pada Agustus 2022, HIP menyebut lagi, Koptan Amanah memiliki utang Rp151, 677 miliar. Utang ini terdiri dari pengeluaran untuk land clearing, tebang jalur, pembangunan jalan, parit-parit, cover pembangunan, penanaman, sampai menjadi menghasilkan.
HIP mengklaim, pembiayaan pengeluaran ditanggung sepenuhnya oleh mereka tanpa mendapat dukungan dari mana pun. HIP merekrut tenaga kerja dari luar untuk melaksanakan tugas lapangan yang seharusnya dilakukan anggota Koptan Amanah. Juga, membiayai berbagai gangguan, termasuk tuntutan kesejahteraan kepada HIP saat tanaman belum panen.
Biaya itu termasuk bunga 4% dan lain-lain ditambah pengalihan utang Koptan Amanah dari Bank Mandiri kepada Inti dan bunga 13,4% serta utang ditunda (moratorium). Artinya, setiap orang petani anggota Koptan Amanah punya utang Rp151 juta untuk lahan satu hektar.
KPPU menemukan, utang anggota Koptan Amanah Rp151, 677 miliar itu sangat tidak jelas asal usulnya. HIP tak punya bukti seperti dokumen rincian biaya, termasuk pembangunan kebun plasma Koptan Amanah. HIP juga disebut tak transparan dalam penyusunan rincian biaya.
Berdasarkan penelusuran KPPU, klaim besaran utang itu juga bertentangan dengan data pendapatan atas penjualan TBS kebun plasma Koptan Amanah periode 2011-2022 yang menghasilkan TBS 124.608.382 kg. Produktivitas kebun sawit Koptan Amanah 80-100 ton per hari usia 11-14 tahun.
Dari produksi itu, Koptan Amanah tercatat membayar angsuran pokok dan bunga KI Efektif dan KI IDC bertahap ke Bank Mandiri dengan total Rp49, 915 miliar sejak 2013-2020. Ini berdasarkan dokumen data realisasi pencairan dan angsuran kredit Bank Mandiri Koperasi Tani Plasma Amanah yang Mongabay dapatkan.
Jadi, dari hasil produksi TBT dan pembayaran semua kewajiban Koperasi menunjukkan utang Koptan Amanah tak sebesar klaim HIP pada Agustus 2022. Meskipun pembayaran semua kewajiban sudah dipotong, anggota Koptan Amanah seharusnya sudah mendapatkan SHU dari produksi sejak 2013.
Alih-alih memperoleh keuntungan plasma dari perusahaan, anggota Koptan Amanah belum pernah memperoleh SHU dari penjualan TBS, sejak kebun memasuki masa tanaman menghasilkan (TM) hingga masa puncak produksi. Mereka hanya beberapa kali memperoleh dana jatah hidup (jadup) dari HIP yang belakangan diklaim sebagai utang.
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, yang HIP lakukan menjebak para petani pemilik lahan dalam siklus utang yang sulit terputus. Besaran utang yang diklaim perusahaan juga, tak ada bukti dan catatan rinci yang bisa dipertanggungjawabkan.
Para petani, katanya, sampai hari ini tidak dapat akses informasi soal hasil produksi dan penjualan TBS. Fenomena ini, tidak hanya menurunkan kesejahteraan mereka, juga mengancam kelangsungan hidup keluarga petani.
“Utang yang diklaim perusahaan dengan jumlah yang begitu besar ini sebagai upaya agar petani tidak mampu membayar. Dengan begitu, tanah milik petani ini akan terus dikuasai perusahaan,” kata Fatrisia.
Siti Hartati Murdaya, Presiden Direktur PT Central Cipta Murdaya (CCM Group), perusahaan induk HIP mengklaim, telah mengeluarkan uang begitu besar untuk pembangunan kebun sawit petani.
Pernyataan itu Hartati Murdaya sampaikan kepada petani pemilik lahan melalui telepon, ketika HIP panen paksa 19 Agustus 2024.
Saat itu, mantan bendahara Partai Demokrat itu mengatakan, sampai sekarang HIP masih membayar bunga atas utang petani di bank.
Dia juga mengklaim, perusahaan tak merugikan petani dan memiliki catatan lengkap terkait pemberian bagi hasil kepada petani. Hanya saja, katanya, karena anggota Koptan Amanah terus aksi penghentian operasi kebun, perusahaan alami krisis keuangan.
Sejak Mei 2024, biaya operasional kebun sawit sudah dibiayai UKMI, bukan lagi HIP. Perusahaan, katanya, sudah mengalami kerugian begitu besar karena penghentian operasi kebun para petani pemilik lahan. Bahkan, HIP terancam bubar.
HIP, membiayai biaya operasional kebun sawit terakhir pada April 2024, sisanya UKMI yang membiayai sampai sekarang. Meski begitu, kata Hartati, petani pemilik lahan masih memiliki utang kepada HIP, dan otomatis pemilik lahan juga sudah ada utang ke UKMI. Utang petani pemilik lahan di HIP harus dibayar.
“Akibat aksi penghentian sementara pemilik lahan, utang petani juga makin besar karena tidak ada pemasukan yang diterima HIP. Hingga yang membiayai operasional kebun sekarang ini adalah UKMI,” katanya.
Apa yang disampaikan Hartati sangat bertolak belakang dengan temuan KPPU yang menyatakan, HIP telah melakukan pelanggaran kemitraan. HIP tidak transparan dalam perhitungan biaya pembangunan kebun sawit Koptan Amanah, hingga tidak transparan dalam pengelolaan dan pembelian hasil TBS.
KPPU juga menemukan, HIP tak memberikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan kebun plasma kepada mitra plasma, dalam hal ini Koptan Amanah, selama masa kerja sama kemitraan.
KPPU memutuskan, HIP terbukti melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20/2008 dalam pelaksanaan kemitraan dengan Koptan Amanah. Gopprera Panggabean, Ketua Majelis dalam sidang 9 Juli 2024 juga memutuskan HIP kena denda Rp1 miliar.
Strategi perampasan tanah?
Jeratan utang kepada petani ini juga diduga satu cara perusahaan merampas tanah (land grabbing). Para petani pemilik lahan terpinggirkan dengan menghilangkan hak tanah mereka.
Ali mengatakan, konflik kemitraan antara Koptan Amanah dan HIP sedikit memberikan gambaran jelas bagaimana perusahaan berusaha membelenggu para petani plasma dalam utang begitu besar dengan tujuan merampas lahan. Padahal, katanya, produksi TBS dari kebun Koptan Amanah terbukti produktif.
Ucapan Ali selaras dengan temuan KPPU yang menyebutkan, produksi TBS di kebun Koptan Amanah mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, bisa melunasi pinjaman di Bank Mandiri, sekaligus dengan bunga sesuai jadwal angsuran jatuh tempo pada September 2021. Anggota koperasi pun bisa mendapatkan SHU.
Namun, katanya, temuan KPPU menyebut HIP justru diam-diam mengalihkan utang Koptan Amanah di Bank Mandiri ke perusahaan Rp8,800 miliar pada 16 April 2021. Pengalihan utang itu disertai penyerahan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) dan 877 SHM anggota Koptan Amanah dari Bank Mandiri ke HIP.
Menurut dia, tindakan sepihak mengalihkan utang Koptan Amanah dari Bank Mandiri kepada HIP menunjukkan posisi tawar dominan perusahaan memutuskan sepihak mekanisme penyelesaian pembayaran utang Koptan Amanah dan lama waktu pembayarannya.
“Ini jelas-jelas praktik culas perusahaan menguasai lahan anggota Koptan Amanah. Para petani pemilik lahan akan dijerat dengan utang yang entah sampai kapan akan dilunasi.”
Ironisnya lagi, HIP justru mengalihkan pengelolaan kebun anggota Koptan Amanah ke PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI).
Berdasarkan penelusuran, UKMI ini perusahaan baru terbentuk 27 Februari 2023, belum memiliki pengalaman mengelola kebun sawit.
Dari penelusuran profil perusahaan lewat data resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) yang diunduh pada 7 September 2024, hampir semua pemilik saham UKMI adalah penerima kuasa dari Kantor Law Firm MR & Partner Law Office yang mewakili HIP dalam perkara kemitraan dengan anggota Koptan Amanah di KPPU.
“Ini satu bagian dari skema perampasan lahan agar petani terus terjerat dalam utang. Apalagi, SHM tanah petani berada di tangan perusahaan dan akan ditahan terus menerus,” katanya.
Ara Simanjuntak, peneliti dari Northwestern University berpikir hal serupa. Menurut dia, yang HIP lakukan merupakan strategi akumulasi kapital yang didesain sedemikian rupa agar petani terus terjebak siklus utang.
Utang, katanya, merupakan teror finansial yang akan menghantui setiap hari dengan bunga cukup besar. Dalam perkebunan-perkebunan skala besar seperti sawit, utang jadi bisnis tersendiri untuk ambil lahan petani.
Sisi lain, kata Ara, utang kepada petani ini kerap jadi strategi perusahaan mengalihkan beban dan risiko, serta ingin mendapatkan subsidi kredit dari pemerintah.
Meski begitu, katanya, perkebunan sawit bukanlah investasi bebas risiko. Kebakaran lahan, fluktuasi harga minyak sawit, dan panas atau hujan yang berlebihan dapat memengaruhi pendapatan perusahaan hingga petani plasma. Kondisi itu, katanya, bisa ikut memperpanjang jangka waktu melunasi utang.
Apalagi, katanya, sawit merupakan tanaman monokultur yang sangat rapuh kalau terjadi guncangan harga minyak sawit. Tanaman monokultur juga justru membuat petani sangat ketergantungan dengan utang, karena tak memiliki tanaman lain yang bisa jadi sumber penghidupan lain.
“Karena monokultur, petani kerap terus terjebak dalam utang. Padahal utang ini salah satu sumber perampasan properti, seperti perampasan tanah,” kata Ara dalam diskusi yang digelar Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS).
Eep Saepulloh dari Sawit Watch memberikan sedikit gambaran lebih jelas mengapa utang petani plasma di perusahaan terus mengalami peningkatan. Perusahaan, katanya, kerap mengalokasikan dana talangan kepada petani plasma dengan cara-cara tidak transparan.
Fenomena itu, kata Cepot sapaan akrabnya, sering ditemukan pada masalah kemitraan di perkebunan sawit, salah satunya, konflik kemitraan petani plasma Buol dan HIP.
Alokasi dana talangan tidak transparan jadi sumber masalah utama membuat utang petani jadi besar dan berkepanjangan.
Meskipun utang di bank bisa terbayarkan, katanya, utang dari alokasi dana talangan akan jadi “dalil” perusahaan terus menahan SHM petani.
“Utang akan membawa petani plasma dalam ketidakpastian hidup, dan menghilangkan hak tanah mereka.”
*********
Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan