- Sawah padi bagi masyarakat Suku Semende, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan [Sumsel], bersifat sakral. Ibarat manusia, sawah butuh istirahat atau tidak digunakan sementara waktu.
- Memberikan waktu istirahat bagi sawah, membuat masyarakat Semende tidak pernah mengalami krisis pangan.
- Jenis padi yang ditanam adalah padi lokal, yakni “jamba tewas” dan “urik”. Sejumlah jenis padi hibrida pernah dicoba dikembangkan di Semende, tapi hasilnya tidak baik.
- Padi yang dihasilkan di Semende dijadikan ketahanan pangan. Mereka tidak menjualnya, hanya diperuntukan bagi keluarga besar dan kerabat.
Sawah padi bagi masyarakat Suku Semende, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan [Sumsel], bersifat sakral. Sawah dirawat seperti anggota keluarga. Sawah tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh ditelantarkan. Bahkan, ibarat manusia, sawah butuh istirahat atau tidak dikelola sementara waktu.
“Sawah di sini ditanam satu kali setahun. Ini sengaja dilakukan, sebab menurut adat kami, sawah juga butuh istirahat sehingga padi yang dihasilkan berkualitas baik,” kata Malai Ibrahim, tokoh adat Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Rabu [16/10/2024].
Dengan perlakuan seperti itu, hampir setiap tahun persawahan Suku Semende yang berada di dataran tinggi Bukit Barisan Selatan [900-1.200 meter dari permukaan laut], tidak pernah mengalami kegagalan atau diserang penyakit.
“Setahu saya, belum pernah terjadi krisis pangan di Semende. Termasuk di masa pendudukan Jepang, musim kemarau di awal 1960-an dan 1970-an, yang saat itu banyak peristiwa kelaparan atau krisis pangan di Sumatera Selatan,” kata Malai.
Baca: Tahun Ini, Sebagian Persawahan di Rawa Gambut Sumsel Terancam Gagal Panen
Dengan fakta-fakta tersebut, hampir semua masyarakat Semende tidak pernah melakukan penanaman sawah dua kali setahun.
“Pernah ada yang mencoba, tapi gagal,” kata Syarifudin, warga Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Rabu [16/10/2024].
Jenis padi yang ditanam adalah padi lokal, yakni “jamba tewas” dan “urik”. Namun, yang banyak digunakan adalah jamba tewas karena dikonsumsi setiap hari. Sementara padi urik hanya dibutuhkan untuk membuat makanan khas Semende.
“Padi jamba tewas ditanam selama tujuh bulan hingga dipanen.”
Pembibitan dilakukan dari Oktober-Desember, penanaman Januari dan panen di Juli atau Agustus.
Baca: Di Sumatera Selatan, Padi Sudah Ditanam Sejak Masa Kedatuan Sriwijaya
Bukti bahwa padi merupakan tanaman pangan yang penting bagi masyarakat Semende, dapat dilihat dari kehadiran kuliner berbahan beras. Misalnya “kue gunjing”. Kue ini terbuat dari tepung beras dicampur santan, parutan kelapa, dan gula [gula aren atau gula pasir] atau garam. Kue ini memiliki dua rasa; manis dan asin.
Kemudian “Daun lumay bawak gulai”. Makanan ini terbuat dari tepung beras, daun lumai [Solanum nigrum L.], tomat [Solanum lycopersicum], bawang putih [Allium sativum], garam, dan air.
Masyarakat Semende juga membuat lemang. Sebuah penganan khas melayu di Pulau Sumatera yang menggunakan beras ketan.
Dilihat dari penganan atau makanan tersebut, pada dasarnya Suku Semende merupakan suku yang terbuka, dengan menerima sejumlah tanaman [bahan masakan] yang bukan endemik Sumatera seperti daun lumai dan tomat [Amerika Latin] dan bawang putih [Asia Tengah].
Dengan kata lain, hadirnya tanaman tersebut di tanah Semende menunjukkan masyarakat yang hidup di dataran tinggi ini dapat berinteraksi dengan orang luar, yang membawa tanaman tersebut sebagai bahan makanan.
Baca: Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim
Bukti arkeologi
Buyung, warga Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu, menjelaskan pernah ada upaya dari sejumlah pihak untuk mengembangkan padi hibrida di desanya.
“Tapi gagal. Padinya tumbuh subur, buahnya juga lebat, tapi tidak berisi atau bulirnya kecil.”
Dengan fakta tersebut, masyarakat tetap menanam sawah dengan jenis padi lokal. “Dan satu kali setahun,” ujarnya.
Seperti pernah diberitakan Mongabay Indonesia, berdasarkan bukti arkeologi, beras sudah dikonsumsi masyarakat yang menetap di sekitar pusat Kedatuan Sriwijaya, abad ke-9 hingga 12 M.
Bukti tersebut berupa temuan sekam padi pada batu bata yang digunakan untuk Percandian Bumiayu [Hindu-Buddha], yang berada di Tanah Abang, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan.
Retno Purwanti, arkeolog yang melakukan penelitian di kompleks Percandian Bumiayu pada 1993, 1996 dan 2000-an, menjelaskan percandian seluas 187 hektar tersebut memiliki 13 gundukan tanah yang diduga berisi struktur batu bata sisa bangunan kuno [candi].
Gundukan tanah yang sudah dibuka itu merupakan lima candi, yakni Candi 1, Candi 2, Candi 3, Candi 5 dan Candi 8.
“Percandian Bumiayu diperkirakan dibangun dari abad ke-9 hingga 14 M,” kata Retno, awal Juli 2024.
Saat ini, sejumlah kelompok masyarakat yang menetap di Sumatera Selatan, tetap menanam padi lokal.
Dikutip dari buku “Morfologi dan Molekuler Padi Lokal Sumatera Selatan” yang ditulis Laila Hanum dan kawan-kawan [2018], tercatat sekitar 27 varietas padi lokal di sejumlah wilayah Sumatera Selatan [Hanum et al, 2015].
Varietas tersebut tersebar di Kabupaten Ogan Ilir [OI], Ogan Komering Ilir [OKI], Banyuasin, Musi Rawas, dan Muara Enim.
Baca: Ketika Rawa dan Sungai di Sumatera Selatan Mulai Mengering
Ketahanan pangan
Padi yang dihasilkan setiap keluarga di Semende, diperuntukkan bagi kebutuhan keluarga dan adat [seperti perkawinan, hajatan, dan musibah]. Padi tidak diperjualbelikan, untuk ketahanan pangan.
Padi yang dihasilkan disimpan sepanjang tahun di tengkiang [lumbung padi]. Tengkiang berbentuk rumah tanpa jendela yang berdiri di tengah sawah.
Dinding tengkiang terbuat dari bambu yang dipipihkan [pelupuh], atapnya terbuat dari kulit kayu yang dikeringkan dan dianyam. Lantainya dari susunan bambu.
Agar sawah tetap terjaga di dalam sebuah keluarga, maka diatur dalam hukum adat Tunggu Tubang, yaitu perempuan tertua di keluarga memiliki hak kelola, tapi tidak boleh diperjualbelikan dan ditelantarkan.
“Kenapa perempuan? Adat kami menilai perempuan secara naluri memiliki kemampuan merawat. Sebab dia melahirkan, sehingga dia ibarat Bumi yang mampu merawat semua makhluk hidup,” jelas Malai.
Selain itu, setiap akan panen dilakukan sedekah adat, yang disebut “zekat”. Sedekah adat ini berupa doa bersama, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Sedekah dilakukan keluarga besar pemilik sawah. Setelah panen, setiap anggota keluarga menerima jatah padi.
“Kalau kami bersawah sepanjang tahun [dua atau tiga kali menanam], itu juga tidak baik. Sebab, sehari-hari kami juga berkebun kopi. Kalau semua orang sibuk bertani, jelas silaturahmi dan ibadah akan terganggu,” jelas Malai.
Baca: Menjadikan Sumsel Lumbung Pangan, Haruskah Banyak Sawah di Rawa Gambut?
Bukan hanya di Semende
Sikap memberikan waktu bagi alam untuk beristirahat, bukan hanya dilakukan masyarakat yang hidup di wilayah pegunungan atau dataran tinggi di Sumsel.
Pada masyarakat yang hidup di dataran rendah atau lahan basah juga memahami hal tersebut. Mereka umumnya menanam padi satu kali dalam setahun, dan tidak menanam sayuran yang dapat diambil sepanjang tahun.
Tapi sejalan dengan perkembangan kebutuhan pangan, yang mana petani diposisikan sebagai penyedia pangan, banyak sawah di dataran rendah dan lahan basah di Sumsel, dipaksa menghasilkan pangan sepanjang tahun.
Sawah dipaksa ditanam minimal dua kali dalam setahun. Bahkan sudah banyak dikembangkan sawah ditanam sebanyak tiga kali dalam setahun. Pupuk [kimia maupun organik] menjadi kebutuhan utama sawah, sementara jenis padi yang ditanam adalah padi hibrida, bukan lagi padi lokal.
Baca juga: Masyarakat Semende Penuhi Energi dan Berdaulat Pangan dari Jaga Hutan
Dr. Yulian Junaidi, pengamat pertanian dari Universitas Sriwijaya [Unsri], menyatakan persawahan yang sudah sukses melakukan IP200 [Indeks Pertanaman 200 Persen] atau dua kali dalam setahun di Sumsel berada di wilayah Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur; Tugu Mulyo, Kabupaten Musi Rawas; dan Tanjung Lago, Kecamatan Banyuasin.
“Sementara di tempat lain, didorong kalau ada program,” terangnya, Rabu [23/10/2024].
Berdasarkan pemantauan, wilayah lahan basah yang menanam padi dua kali setahun adalah Desa Gelabak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin.
“Sudah lama dilakukan dan kini diupayakan tiga kali dalam setahun,” kata Hendri Sani, warga Desa Gelebak Dalam, Rabu [23/10/2024].
Sementara persawahan yang belum berhasil ditanam dua kali setahun, berada di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].
“Belum berhasil dan sudah dicoba beberapa kali. Selalu gagal,” kata Muhammad Husin, warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan.
“Pernah juga dicoba di Pulau Layang [Pampangan] yang persawahannya cukup luas, tapi belum juga berhasil,” ujarnya.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan, berdasarkan hasil Survei Kerangka Sampel Area [KSA] 2023, total luas panen padi di Sumsel sebesar 504,14 ribu hektar dengan produksi sebesar 2,83 juta ton gabah kering giling [GKG]. Tapi, tidak ada data mengenai persawahan yang ditanam satu atau dua kali setahun.