- Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari (AAL) menerbitkan laporan kemajuan mengenai rencana aksi tiga tahun yang ditetapkan sepihak untuk mengatasi konflik dan keluhan masyarakat yang berlangsung di Sulawesi, September lalu. Friends of The Earth Amerika Serikat pun merespon laporan itu. Walhi membeberkan temuan saat turun lapangan.
- Laporan perusahaan dinilai tidak mencakup masalah utama masyarakat, terutama terkait pengembalian tanah yang diambil tanpa izin. Kesenjangan ini sangat terlihat dalam pendekatan perusahaan yang tak mencakup kegagalan AAL memperoleh persetujuan awal tanpa paksaan (FPIC) dalam operasi di Sulawesi Tengah dan Barat.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, dalam kunjungan lapangan Walhi, masyarakat melaporkan mereka tidak ikut serta dalam pertemuan desa yang disorot dalam laporan kemajuan perusahaan. Beberapa jalan bahkan diblokir untuk menghalangi partisipasi masyarakat.
- Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations and Public Affairs AAL memilih sikap tidak melakukan perdebatan di ruang publik. DIA berharap, Friends of the Earth dan Walhi bisa cermat memverifikasi soal pernyataan yang dibuat, terutama komunitas yang disinggung. Perusahaan sudah menunjuk lembaga independen untuk investigasi independen, hasilnya juga sudah terbit.
Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari (AAL) menerbitkan laporan kemajuan mengenai rencana aksi tiga tahun untuk mengatasi konflik dan keluhan masyarakat yang berlangsung di Sulawesi, September lalu.
Pada 2022, perusahaan-perusahaan pembeli AAL menyetop pasokan sawit dari perusahaan ini yang dinilai lakukan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Perusahaan pun komitmen lakukan perbaikan dengan ada rencana aksi.
Dalam laporan kemajuan, AAL menyatakan, telah mengambil langkah-langkah mengatasi berbagai isu kepada perusahaan, terutama terkait pengelolaan perkebunan sawit.
AAL juga mengklaim, mereka menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Desa Towiora untuk pembangunan pemakaman umum, dan pertemuan untuk distribusi bantuan pangan kepada masyarakat Kabuyu. Juga, membuat pertemuan dengan pemerintah terkait klaim lahan yang tumpang tindih di Desa Bunta.
Namun, Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat menyoroti, ada kesenjangan besar dalam investigasi AAL, yang menjadi dasar dari rencana aksi itu. Pasalnya, masalah-masalah yang disebutkan dalam laporan AAL hanya mewakili sebagian kecil dari keluhan yang masyarakat sampaikan.
Laporan itu tidak mencakup masalah utama masyarakat, terutama terkait pengembalian tanah yang diambil tanpa izin.
Kesenjangan ini sangat terlihat dalam pendekatan perusahaan yang tak mencakup kegagalan AAL memperoleh persetujuan awal tanpa paksaan (FPIC) dalam operasi di Sulawesi Tengah dan Barat.
Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat menilai, laporan AAL yang telah dikurasi untuk konsumsi publik menggambarkan kemajuan yang jauh dari kenyataan lapangan. Hal itu pun terkonfirmasi ketika Walhi kunjungan lapangan di Sulawesi Oktober 2024.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, dalam kunjungan lapangan itu, masyarakat melaporkan mereka tidak ikut serta dalam pertemuan desa yang disorot dalam laporan kemajuan perusahaan. Beberapa jalan bahkan diblokir untuk menghalangi partisipasi masyarakat.
Di Desa Towiora, misal, warga mengklaim, kepala desa langsung memilih peserta yang dapat hadir dalam pertemuan untuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan AAL. Pertemuan itu tidak diumumkan kepada publik, hingga warga yang masih memiliki klaim atas tanah tak dapat hadir.
Bahkan, beberapa warga melaporkan, jalan di Towiora dan Rio Mukti kena blokir oleh PT Lestari Tani Teladan (LTT) dan PT Mamuang untuk mencegah partisipasi masyarakat dalam pertemuan itu.
Akibatnya, praktik itu juga membatasi mobilitas harian masyarakat, yang selanjutnya menghambat aktivitas mata pencaharian mereka.
Pertemuan yang digelar AAL hanya dihadiri sekelompok kecil orang yang mendukung perusahaan. Lebih lanjut, beberapa pertemuan secara tertutup, tanpa memberikan ruang bagi masyarakat terdampak untuk menyampaikan pendapat mereka.
AAL berusaha menggambarkan, bahwa mereka sudah mencapai kemajuan dalam menyelesaikan keluhan masyarakat. Padahal, katanya, di lapangan, demonstrasi serikat petani dan masyarakat terdampak di Sulawesi terus berlangsung pada September dan Oktober 2024 menentang operasi perusahaan.
Pada 4 September, Serikat Petani Petasia Timur di Morowali Utara menggelar unjuk rasa di luar kantor kejaksaan untuk menentang operasi PT Agro Nusa Abadi (ANA), anak perusahaan AAL, dengan alasan perusahaan tak memiliki izin usaha perkebunan (HGU) sah. Mereka juga menuntut, penyelidikan terhadap dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan perkebunan.
Pada 2 Oktober 2024, Walhi bersama Kelompok Tani Sinar Rio Jaya menggelar protes di Rio Mukti terhadap operasi Mamuang, anak perusahaan AAL, yang dinilai merugikan masyarakat. Mereka menuntut, pengembalian tanah yang diambil oleh perusahaan.
Pada 30 Oktober 2024, petani di Morowali Utara kembali berdemonstrasi di depan kantor polisi dan kejaksaan di Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, menyerukan penarikan pasukan keamanan dari wilayah operasi ANA.
Dengan berbagai rangkaian demonstrasi serikat petani dan masyarakat, perusahaan tak berhenti melakukan intimidasi.
Uli bilang, dalam beberapa minggu terakhir, perusahaan sawit ini meningkatkan tindakan represifnya terhadap masyarakat yang berusaha mencari nafkah dari tanah mereka.
Misal, pada Oktober 2024, ANA melanjutkan praktik pemanenan sawit paksa dengan pengamanan dari Korps Brimob.
Di beberapa titik, masyarakat yang menentang operasi perusahaan dilaporkan mengalami intimidasi. Salah satunya, terjadi pada 8 Oktober 2024, ketika petugas Brimob melepaskan tembakan untuk meredam protes terhadap tindakan ANA yang memanen sawit dari lahan sengketa.
Selain intimidasi, pada 22 Oktober 2024, Brimob mengancam akan menyita buah sawit yang petani panen di Desa Bungintimbe. Sedang ANA terus memanen di lahan yang masih sengketa.
Bahkan pada 29 Oktober 2024, polisi menetapkan enam warga dari Morowali Utara sebagai tersangka pencurian buah sawit dan mengeluarkan surat panggilan.
Pada 23 September 2024, ANA bertemu dengan kepala desa dan pengurus koperasi di asrama perusahaan di Desa Molino, Morowali Utara, namun mengesampingkan anggota masyarakat yang menentang operasi perusahaan.
Pertemuan itu menghasilkan enam poin kesepakatan yang justru membatasi akses masyarakat terhadap tanah mereka, kemudian dijaga ketat Brimob. Ketika masyarakat mencoba melawan pemanenan, mereka mengalami ancaman dan intimidasi langsung.
“Situasi di Sulawesi makin memburuk akibat tindakan kekerasan AAL di lahan yang menjadi hak sah masyarakat dan petani,” kata Uli melalui siaran pers yang diterima Mongabay 13 November lalu.
Menurut dia, tindakan intimidasi dan kekerasan terbaru AAL harus menjadi peringatan bagi perusahaan global yang terus memasukkan minyak sawit berkonflik dalam rantai pasokan mereka.
“Tindakan represif ini terjadi di bawah pengawasan perusahaan global yang terus memasukkan minyak sawit AAL.”
Senada, Gaurav Madan, Juru Kampanye Hak Hutan dan Tanah Senior di Friends of the Earth AS mengatakan, laporan ini menggambarkan bagaimana AAL terus melakukan marginalisasi masyarakat terdampak dan mengecualikan mereka dari proses yang seharusnya transparan.
Walaupun AAL menggunakan istilah FPIC dalam beberapa kesempatan laporan mereka, kenyataan perusahaan belum lakukan proses FPIC sah untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat terdampak.
Madan bilang, itu menjadi sumber utama konflik yang belum terselesaikan hingga kini.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), FPIC harus sepanjang perusahaan beroperasi di wilayah itu. Jadi, seharusnya AAL mengimplementasikan FPIC setelah konflik muncul, dan tidak terus beroperasi tanpa persetujuan masyarakat.
Secara keseluruhan, klaim kemajuan AAL merupakan ilusi yang tidak mencerminkan kenyataan. Menurut dia, upaya perusahaan menutupi pelanggaran dan ketidakadilan di lapangan jelas terlihat.
AAL, kata Madan, harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan memastikan hak-hak masyarakat terdampak dilindungi dan dipulihkan secara adil, sesuai hukum berlaku.
Ketidakpuasan masyarakat yang terus berlanjut, katanya, menunjukkan perusahaan harus melakukan reformasi menyeluruh dalam pendekatan mereka terhadap masyarakat, terutama dalam pengembalian tanah yang terrampas ilegal.
Tanpa perubahan ini, katanya, klaim kemajuan AAL hanya menjadi kata-kata kosong yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat terdampak.
Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations and Public Affairs AAL memilih sikap tidak melakukan perdebatan di ruang publik. DIA berharap, Friends of the Earth dan Walhi bisa cermat memverifikasi soal pernyataan yang dibuat, terutama komunitas yang disinggung.
Menurut Fenny, perusahaan sudah menunjuk lembaga independen untuk investigasi independen, hasilnya juga sudah terbit.
Apa yang mereka lakukan itu, katanya, sebagai tanggung jawab untuk memberitahu kepada para pemangku kepentingan tentang kemajuan dan langkah-langkah perusahaan.
Dia mengaku, menawarkan bertemu dengan Friends of the Earth dan Walhi untuk menjelaskan kekhawatiran, tetapi tidak ada respon sama sekali. Perusahaan, katanya, sangat terbuka untuk berdialog dengan siapa saja, termasuk Friends of the Earth dan Walhi.
“Yang jelas, pintu kami untuk berdialog dengan mereka selalu dan tetap terbuka.”
Terjerat kasus
Selain terlibat dalam kasus perampasan tanah, pelanggaran HAM dan merusak lingkungan, AAL juga disinyalir terlibat dalam kasus pelanggaran kehutanan, diduga membangun kebun sawit di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi.
Dugaan itu berdasarkan laporan Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie dengan judul “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia,” yang terbit Juni 2024.
Laporan itu mengungkapkan, 17 konsesi anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih 17.000 hektar kawasan hutan. Ada sekitar 1.100 hektar perkebunan AAL di kawasan hutan tampak ilegal, dan beberapa anak perusahaan AAL di Sulawesi beroperasi tanpa izin usaha perkebunan (HGU) yang disyaratkan.
Laporan ini membawa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati) melakukan pemeriksaan kepada Direktur Operasional (OP) AAL Arief Catur Irawan pada 12 November 2024, terkait anak usaha yang terindikasi tak memiliki HGU maupun yang mengelola sawit di atas HGU badan usaha milik negara (BUMN).
Dikutip dari emitennews, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator pasar modal mengeluarkan surat resmi kepada AAL untuk klarifikasi sejumlah masalah perusahaan. Surat ini bertujuan memastikan bahwa AAL, yang mengumpulkan dana melalui initial public offering (IPO), menjalankan kewajiban dengan baik kepada seluruh pemegang saham.
Tingning Sukowignjo, Direktur sekaligus Corporate Secretary AAL, menjelaskan, perusahaan menerima panggilan BEI untuk memberikan klarifikasi terkait masalah hukum yang melibatkan anak perusahaan, PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS). Kasus ini berfokus pada tumpang tindih lahan antara RAS dan PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV), yang sedang proses hukum oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
“Sebagaimana kami sebutkan, perkara ini terkait tumpang tindih lahan antara RAS dengan PTPN XIV seluas 1.329 hektar. Detail dari perkara ini belum dapat kami sampaikan mengingat ini masih dalam proses hukum oleh pihak berwenang. Kami harus menghormati proses hukum yang sedang berlangsung,” katanya seperti dikutip dari emitennews.
AAL juga terjerat gugatan wanprestasi yang diajukan PT Mas Lestari Perkasa (MLP), yang meminta ganti rugi Rp56 miliar. Putusan ini terkait hubungan bisnis antara AAL dan MLP, sebagai pemasok minyak goreng (CPO), sebagaimana tercatat dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur 15 Oktober 2024.
Pada Juli 2024, emiten di bawah naungan Astra Group ini mengajukan permohonan menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Pada September 2024, 36 warga Rio Mukti mengirim surat ke RSPO untuk menyerukan penolakan terhadap permohonan keanggotaan AAL.
Surat menegaskan, jika RSPO menerima AAL, maka lembaga ini tidak lagi dapat mengklaim sebagai badan sertifikasi keberlanjutan yang kredibel di industri sawit. Mereka juga meminta RSPO menunda keputusan keanggotaan AAL hingga perusahaan mengembalikan tanah yang diambil paksa dari masyarakat.
Mereka juga mendesak, AAL memberikan kompensasi atas kerusakan yang timbul, memulihkan nama baik anggota masyarakat yang dikriminalisasi, dan memastikan tidak ada lagi intimidasi, kekerasan, atau kriminalitas terhadap masyarakat terdampak.
Danielle van Oijen, Koordinator Program Kehutanan Milieudefensie, mengatakan, yang dilakukan AAL tidak menunjukkan untuk mengubah praktik represifnya.
“Pemerintah Indonesia dan Komnas HAM harus memastikan perlindungan bagi warga negara yang terancam.”
*******