- Kebijakan strategi Pemerintah untuk meningkatkan produksi energi terbarukan dapat mengakibatkan masyarakat adat kehilangan sebagian besar hutan untuk kebun biomassa.
- Di Malinau, Kalimantan Utara, di lokasi yang direncanakan jadi kebun biomassa energi, tiga desa telah menyerahkan sedikitnya 5.000 hektar tanah mereka kepada perusahaan biomassa. Menurut penduduk setempat, area itu masih ditutupi hutan yang mungkin akan ditebang untuk proyek tersebut.
- Meskipun diklaim berkelanjutan, penelitian menunjukkan pembakaran biomassa kayu menghasilkan lebih banyak CO2 daripada batu bara per unit listrik yang dihasilkan.
- Penduduk desa yang kami wawancarai mengeluhkan perlakuan yang tidak adil dari perusahaan, mulai dari kompensasi pembebasan lahan yang tidak memadai hingga perampasan tanah tanpa pembayaran atau persetujuan.
Ipu Angit punya kedekatan dengan hutan. Ia mampu mengindentifikasikan berbagai spesies tumbuhan dan pohon. Meski cuaca panas dan lembab, dia tetap menjelajah hutan di sekitar desanya di usianya yang tidak lagi muda.
Dengan cekatan ia dapat membuat payung darurat dari daun palem. Pada saat berikutnya ia dapat memilih beberapa batang rotan muda untuk dimakan. Untuk mengurangi rasa pahit, ia merebus rotan muda bersama dengan kunyit atau memakannya mentah-mentah.
Namun, akhir-akhir ini, Ipu sedang cemas. Hutan tempat ia bernaung, akan ditebang untuk produksi pelet kayu oleh perusahaan batu bara yang ingin beralih ke energi “hijau”.
“Jika hutan ini hilang, kemana kita cari makan?” tanya Ipu. “Hutan ini yang membuat orang Punan tetap hidup.”
Indonesia adalah negara dengan populasi terpadat keempat di dunia dan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Hampir setengah energinya berasal dari batu bara.
Seiring upaya negara ini memenuhi janjinya dalam mengurangi bahan bakar fosil, di era Presiden Joko Widodo, Indonesia mempromosikan biomassa, sebagai energi alternatif berkelanjutan. Caranya dengan metode co-firing yang mencampurkan biomassa bersama batu bara di pembangkit listrik. Metode ini sudah digunakan luas di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.
Di desa Ipu, Laban Nyarit, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, PT Malinau Hijau Lestari (MHL), adalah perusahaan yang sudah siap untuk membangun perkebunan pelet biomassa. Pelet yang berasal dari spesies cepat tumbuh ini ditarget untuk penggunaan dalam negeri dan diekspor ke negara lain.
Namun, muncul kekhawatiran karena di awal, dalam pengembangan kebun biomassanya, perusahaan bakal ‘membersihkan’ area hutan yang masih ada.
Sebuah analisis tahun 2022 oleh Trend Asia menyimpulkan bahwa untuk memenuhi target pemerintah meningkatkan porsi biomassa yang dibakar di PLTU hingga 10%, diperlukan pembukaan lahan setidaknya 1 juta hektar hutan alam, atau dua kali ukuran Pulau Bali, guna membebaskan lahan untuk perkebunan baru.
Meski perusahaan listrik negara Indonesia, PLN, mengatakan bahwa ada banyak lahan tak berhutan yang tersedia untuk perkebunan biomassa, nyatanya, penggundulan hutan untuk biomassa telah terjadi, contohnya di Papua. Perusahaan Medco telah meratakan hutan tropis untuk perkebunan kayu yang memasok pembangkit listrik yang sedang dibangunnya.
Juga di Sulawesi, dimana dua perusahaan sawit yang baru-baru ini izin usahanya dicabut, kemudian mulai menebangi hutan hujan untuk memanen pelet kayu untuk diekspor.
Saat menerima informasi tentang aktivitas MHL di Desa Ipu Angit dan tiga desa lainnya untuk memperoleh lahan kebun energi biomassanya, Mongabay mengunjungi area itu untuk melakukan penelusuran lapangan.
Keempat desa itu berada di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Jumlah penduduk Kabupaten ini 85.000 orang, sebagian besarnya Suku Dayak.
Tiga desa — Laban Nyarit, Nunuk Tanah Kibang, dan Sengayan — sebut keterangan warga dan pejabat desa telah menyerahkan total lahan setidaknya 5.000 hektar kepada MHL. Sedangkan satu desa lagi, Long Loreh, pemimpin warga setempat mengatakan sejauh ini warga telah menolak keinginan perusahaan.
Meskipun izin MHL tidak tersedia untuk umum, Mongabay memperoleh peta konsesi lahan dari warga yang menerimanya langsung dari pejabat perusahaan. Analisis peta dari Forest Watch Indonesia menemukan bahwa konsesi tersebut mencakup 19.045 hektar termasuk sekitar 15.000 hektar hutan hujan utuh yang masih berdiri.
Namun, hingga saat ini masih belum jelas sejauh mana proses perizinan yang dilakukan oleh MHL dan apakah peta tersebut sudah bersifat final.
Perusahaan induk MHL, adalah perusahaan batu bara yang terdaftar di bursa, yaitu PT Mitrabara Adiperdana, yang di bulan Mei lalu pernah mempublikasikan area izin dari MHL adalah seluas 16.317 hektar. Angka yang sama dikutip dalam posting LinkedIn Prodesa, sebuah perusahaan Spanyol yang membantu MHL dalam pembangunan pabrik pengolahan pelet kayunya di Malinau.
Meski sebagian lahan ini ada di wilayah non kawasan hutan, atau yang disebut Area Penggunaan Lain (APL), tetapi nyatanya banyak lahan APL di Indonesia yang di lapangan masih ditutupi oleh hutan. Hal ini berarti, meski proyek berada di lahan APL, sebenarnya aktivitasnya dapat mengakibatkan penggundulan area hutan yang luas.
Atas potensi deforestasi ini, Mitrabara lewat keterangan CEO-nya, Khoirudin, saat menanggapi pertanyaan dari reporter Mongabay pada rapat pemegang saham tahunan pada bulan Mei menyebut perkebunan MHL akan memanfaatkan lahan yang terdegradasi. (Catatan: Perusahaan tidak menanggapi permintaan wawancara atau mengomentari daftar temuan terperinci yang akan dipublikasikan sebagai bagian dari cerita ini).
Namun, sebaliknya warga desa menyebut jika di lapangan sebagian besar lahan yang diperoleh MHL dari komunitas untuk proyek biomassa, adalah area yang masih tertutup hutan yang lebat.
Di Laban Nyarit, Mongabay menemukan plang-plang milik MHL yang menunjukkan bahwa area tersebut, -yang sebagian besar masih berupa hutan lebat, telah ditetapkan sebagai area konsesi.
Narasumber yang kami wawancarai di tiga desa, yang menyetujui kesepakatan dengan MHL memberi tahu kami, bahwa lahan yang dilepaskan adalah area berhutan yang dimiliki masyarakat.
“Perusahaan bilang, ‘Kami akan tebang hutan, lalu akan tanam [pohon untuk produksi pelet kayu] untuk ganti batu bara. Karena batu bara sudah mau habis,’” kata Ipu Angit, saat mengenang pertemuan di tahun 2020 ketika perwakilan MHL berbicara kepada penduduk setempat.
“Kami lalu mulai bisik-bisik [satu sama lain], ‘Terus, kalau hutan ditebang, kita mau makan apa?’”
Hutan Kalimantan Utara yang akan Berubah
Keberadaan perkebunan MHL merupakan salah satu dari sejumlah megaproyek baru yang bakal mengubah lanskap Pulau Kalimantan.
Delapan jam perjalanan ke selatan dari Laban Nyarit, sebuah kawasan industri besar sedang dipersiapkan dan digadang-gadang sebagai kawasan industri hijau. Pesisir wilayah ini dikenal sebagai habitat penyu terancam punah dan tempat nelayan setempat mencari nafkah.
Bendungan senilai $2,6 miliar pun sedang dibangun di Sungai Mentarang di Malinau, yang sebagian besarnya terdiri dari hutan perawan yang menaungi kehidupan masyarakat adat.
Rangkaian lima bendungan ini, nantinya disebut-sebut bakal menjadi proyek pembangkit listrik tenaga air terbesar di Asia Tenggara, lokasinya bakal berada di Sungai Kayan yang merupakan kabupaten tetangga Bulungan. Bendungan ini dikebut untuk mendukung pertumbuhan ibu kota baru Indonesia, Nusantara, yang sedang dipersiapkan pemerintah pusat.
Berbeda dengan wilayah Kalimantan lainnya yang didominasi oleh perkebunan dan pertambangan, Kalimantan Utara masih jarang tersentuh oleh industri berat. Sekitar empat perlima wilayah provinsi tersebut masih berupa hutan, mengacu pada data platform pemantauan hutan Nusantara Atlas.
Malinau tidak terkecuali. Survei tahun 2002 mengungkap kekayaan hayati yang sangat besar, yang sebagian besarnya belum diketahui oleh ilmu pengetahuan.
Di wilayah proyek MHL ini, perusahaan dan warga membuat kesepakatan yang berbeda-beda.
Di dua desa, Laban Nyarit dan Nunuk Tanah Kibang, warga menerima kompensasi biaya pelepasan lahan satu kali sebesar Rp 1 juta/hektar untuk total lahan seluas 2.500 dan 300 hektar, jelas keterangan warga setempat.
Desa ketiga, Sengayan, mendapat kesepakatan yang lebih menguntungkan, dengan memasukkan syarat pengaturan pembagian keuntungan sebesar 20% sebagai tambahan kompensasi atas tanah dan pohon yang ditebang.
Arifin Liah, kepala suku di Desa Sengayan, mengatakan ia mendahulukan potensi pendapatan yang berkelanjutan dalam negosiasinya dengan MHL. Perusahaan katanya, meminta lahan seluas 6.000 hektar, tetapi ia hanya menyetujui 2.200 hektar.
Ayah Arifin, Liah Lungung, mengatakan bahwa ia menerima persyaratan tersebut.
“[Yang bakal terjadi] warga Laban Nyarit dan Nunuk Tanah Kibang suatu saat pasti bakal marah kalau uangnya sudah habis,” sebutnya.
“Di Nunuk Tanah Kibang, beberapa warga awalnya menolak rencana tersebut, tetapi pejabat desa dan kecamatan akhirnya terus meyakinkan kita,” jelas Malik, seorang warga pengurus Bumdes di komunitas tersebut.
Ketika perusahaan tersebut mempresentasikan rencananya, Malik sebut, “Kami hanya fokus pada biaya kompensasi [yang bakal kami terima], jadi kami iyakan saja … [Jujur] kami tidak tahu banyak, kami tidak banyak pendidikan di sini. Kami juga tidak paham apa dampaknya di masa datang. Jadi saat itu kami merasa baik-baik saja dengan rencana tersebut, jadi kami sambut MHL di desa kami.”
Di Laban Nyarit, menurut Ipu Angit dan keluarganya, tidak seorang pun yang menjelaskan dampak negatif lingkungan dari proyek tersebut.
“Kepala desa saat itu bilang kami semua bakal jadi kaya. Semua warga akan punya mobil di depan rumah,” kata putra Ipu, Alang, kepada Mongabay. Di desa ini, perusahaan membayar kompensasi senilai Rp 1 juta/hektar, tanpa kompensasi untuk pohon yang ditebang, lanjut Ipu.
Istri Ipu, Uray Alang, menyebut angka tersebut, kalau ditotal berjumlah sekitar Rp 2,5 milyar untuk 2.500 hektar lahan yang sebagian besar berupa hutan adalah bentuk penghinaan.
“Apa yang bisa kami dapat dari Rp 1 juta/hektar?” katanya. “Tanah macam apa yang harganya seperti itu?”
Pemberian kompensasi pembebasan tanah yang sangat kecil sering terjadi di Indonesia, di mana masyarakat adat dan masyarakat lokal sering kali tidak kuasa menolak atau bernegosiasi dengan pengembang yang memiliki jaringan yang lebih baik.
Pada tahun 2017, misalnya, sebuah perusahaan sawit diketahui telah merugikan masyarakat di Papua hingga sekitar Rp 4,8 trilyun (USD 300 juta) karena tidak membayar harga komersial untuk kayu yang dipanen dari tanah mereka.
Ipu dan Uray mengatakan MHL dalam negosiasinya coba terus menekan agar menyetujui tawarannya, dan saat tidak berhasil, bisa saja mereka menyita lahan mereka.
Sejak 2022, mereka setidaknya enam kali dipanggil untuk bertemu dengan perwakilan MHL di ibukota Malinau. Mereka menceritakan, salah seorang atau pasangan itu, akan dijemput di pondok mereka, terkadang tengah malam, dan diantar selama dua jam ke sebuah restoran di kota, tempat pejabat perusahaan, kepala desa, dan petugas polisi sedang menunggu. Uray mengatakan kejadian itu membuatnya tertekan.
“Jika kami menjual, lalu kemana kami pergi? Kemana anak-cucu kami akan pergi? Apa yang akan mereka makan? Ke mana mereka akan mencari nafkah?,” ungkapnya.
Meskipun ada keberatan di dalam hati, MHL tetap memetakan lahan mereka sebagai bagian dari area yang diperuntukkan bagi proyek biomassa.
Tahun lalu, sebuah papan petunjuk lahan yang telah dibebaskan MHL muncul di dekat gubuk Ipu dan Uray. Jaraknya dengan desa, sekitar 5 menit berjalan kaki.
Ipu mengatakan kepada Mongabay bahwa ia tidak pernah menyetujui pengalihan hak atas tanah dan menyebut hingga sekarang ia tidak menerima sepeser pun dari MHL.
Meskipun selama ini tidak pernah mendapat ancaman fisik, namun kehadiran aparat untuk mengawal pengembang adalah cara-cara umum untuk intimidasi penduduk desa, jelas Amalya Reza Oktaviani, manajer program biomassa di Trend Asia.
“Ini adalah kasus perampasan tanah, karena tidak ada cukup informasi [yang diberikan kepada penduduk desa], jadi tidak ada partisipasi dalam dialog,” katanya. “Bahkan jika ada tanda tangan [dari penduduk desa atau kepala desa], itu tidak berarti mereka telah setuju sepenuhnya.”
Long Loreh, Desa yang Tolak Tawaran MHL
Di desa ini terdapat sejumlah usaha pariwisata, dan tetap kuat dalam memegang tradisi adat. Ada sejumlah bisnis yang dimiliki warga lokal. Lokasi desa ini berdekatan dengan tambang batu bara yang dikelola oleh Mitrabara, perusahaan induk MHL.
Penduduk setempat ingat bagaimana Mitrabara gagal menepati janji untuk pendidikan gratis anak sekolah, setelah mendirikan usaha di desa ini pada tahun 1992, jelas Firi, mantan Sekdes Long Loreh.
Mereka juga menyalahkan perusahaan karena mencemari sungai dan telah melakukan beberapa protes tentang hal itu, katanya. Saat beberapa penduduk desa tergoda tawaran MHL, Firi dan yang lainnya menentang keras.
Firi mengatakan dia dan sebagian warga punya ide yang lebih jelas ketimbang warga lain yang lugu. Mereka tahu bahwa perusahaan menawarkan kompensasi yang sangat kecil kepada mereka.
MHL menawarkan warga Long Loreh Rp 1,5 juta rupiah/hektar untuk sewa 2.100 hektar selama 35 tahun, kata Firi. Ia berpendapat jumlah ini terlalu sedikit.
Hasil hitungannya, masyarakat hanya akan terima Rp 3,15 miliar yang berarti kalau dibagi rata yaitu per orang hanya akan terima Rp 1,75 juta. Ini hanya sedikit di atas biaya hidup rata-rata di Malinau untuk satu bulan, menurut Badan Pusat Statistik.
Pada suatu kesempatan, Firi menyebut pernah dikunjungi enam orang perwakilan MHL di rumahnya. Mereka bertanya mengapa ia bersikeras menolak tawaran perusahaan. Ia meminta para tamu perwakilan untuk menempatkan diri mereka pada posisi penduduk desa.
“Bapak semua kan orang cerdas,” kenang Firi kepada para pengunjung. “Bayangkan bapak-bapak semua tinggal di sini, dan sebuah perusahaan bernama MHL datang dan membuat tawaran seperti itu.
“Menurut bapak-bapak, bagaimana nasib generasi mendatang kita? Pikirkan baik-baik sebelum kalian datang dan memberi tahu saya apa pun.”
Menyerahkan hutan yang diperkirakan Firi bernilai asset alam hingga triliunan rupiah “Jelas tidak sepadan,” katanya.
Perkebunan MHL dapat menjadi pertanda bakal ada serangkaian proyek energi biomassa lanjutan di Kalimantan Utara.
Dinas Kehutanan Provinsi mengatakan di bulan Juni bahwa mereka telah mengidentifikasi ada 689.635 hektar lahan di mana investor energi terbarukan berpotensi mendirikan perkebunan biomassa. Sekitar sepertiganya berada di kabupaten Malinau.
Semua lahan tersebut saat ini masuk dalam kategori APL, sementara aturan mengamanatkan perkebunan pelet kayu hanya dapat didirikan di wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan hutan.
Untuk itu, Dinas sedang meminta izin Pemerintah Pusat di Jakarta untuk membuat kerangka perizinan untuk perkebunan kayu di lahan APL, sehingga proyek seperti MHL dapat dilanjutkan secara legal.
Meski sudah ada penetapan zonasi kawasan hutan, sebagian besar lahan APL di Kalimantan Utara adalah tutupan hutan lebat, menurut analisis Auriga Nusantara.
Hutan hujan tropis itu seharusnya dilindungi, bukan ditebang atas nama energi hijau, kata juru kampanye Forest Watch Indonesia, Agung Ady Setyawan, kepada Mongabay.
MHL tampaknya masih berkutat pada proses perizinan. Meski Khoirudin, CEO Mitrabara, mengatakan pada rapat pemegang saham di bulan Mei bahwa MHL telah memperoleh tiga izin: yaitu izin persetujuan pemanfaatan ruang (PKKPR), yang menegaskan bahwa rencana tata ruang proyek selaras dengan rencana daerah.
Berikutnya, izin lokasi, yang diperoleh pada tahun 2018, yang memungkinkan perusahaan untuk bernegosiasi dengan penduduk desa untuk mendapatkan hak penggunaan tanah mereka; dan izin lingkungan, yang seharusnya dikeluarkan setelah perusahaan melaksanakan dan memperoleh persetujuan untuk melakukan penilaian dampak lingkungan.
Perusahaan tersebut kini telah membangun lahan percontohan seluas 16 hektar di lahan yang disewa dari penduduk desa, kata penduduk setempat.
Lebih Banyak Hasilkan Emisi
Laporan tahunan Mitrabara tahun 2023 menyebutkan bahwa MHL mulai membangun pabrik pengolahan pelet kayu di Malinau pada November lalu. Toyo Engineering dari Jepang sedang membangun pabrik tersebut, sementara Prodesa dari Spanyol menyediakan dukungan teknis. Dukungan finansial berasal dari Bank OCBC Singapura yang telah meminjamkan 51,24 juta dolar AS untuk membiayai pembangunan pabrik.
MHL masih belum jelas akan menjual pelet kayunya ke mana. Khoirudin mengatakan dalam rapat pemegang saham bahwa pelet kayu tersebut akan diekspor ke luar negeri, tetapi perusahaan tersebut belum mendapat pembeli.
Salah satu kemungkinan pembeli adalah dari Korea Selatan, tempat Mitrabara telah mengirimkan sebagian besar batu baranya. Korea Selatan merupakan importir pelet kayu terbesar di Asia, dengan 95% pasokannya berasal dari Indonesia, Vietnam, dan Malaysia. Dengan meningkatnya kebutuhan pembangkit listrik biomassa di Korea Selatan, permintaan pelet kayu diproyeksikan akan meningkat hingga 6 juta metrik ton pada tahun 2025.
Pembangkit listrik biomassa baru juga terus beroperasi di Jepang, pasca kehancuran PLTN Fukushima akibat tsunami dan gempa bumi. Berapa banyak kayu asal Indonesia yang dapat diekspor ke Jepang tidak diketahui, tetapi bisa jadi negara ini adalah pasar yang telah siap.
Namun, ada pemahaman yang berkembang di antara para aktivis Jepang dan beberapa pembuat kebijakan bahwa biomassa memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan iklim.
Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa membakar kayu untuk menyediakan energi dalam skala industri bakal tidak berkelanjutan, dan bahkan lebih kotor daripada batu bara.
Membakar kayu bahkan menghasilkan lebih banyak CO2 penyebab perubahan iklim daripada batu bara per unit listrik yang dihasilkan. Dengan demikian, pelet kayu yang dihasilkan dari kerusakan hutan hujan tidak dapat digambarkan sebagai energi hijau, menurut Amalya dari Trend Asia.
“Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain, harusnya paham kalau kayu yang mereka bakar untuk listrik berasal dari hilangnya hutan alam, satwa liar dan habitatnya, sumber air dan makanan, serta tanah masyarakat adat di Indonesia,” sebutnya.
Di masa depan, lahan-lahan ini mungkin akan mencakup hutan tempat Ipu mencari makan. “Ke mana pun kami berjalan di hutan, kami tidak akan kelaparan. Karena semua yang kami harapkan ada di hutan ini,” kata Ipu sambil berlinang air mata.
“Saya masih butuh hutan. ‘Tu’an telang otah inan kai,’ yang artinya ‘hutan adalah air susu ibu kami.’”
Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 27 Oktober 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.