- Pemilihan kepala daerah (pilkada) akan berlangsung 27 November ini secara serentak di 37 provinsi, 97 kota, dan 415 kabupaten di Indonesia. Massa dari berbagai latar belakang baik individu maupun organisasi masyarakat sipil aksi karena banyak calon kepala daerah terafiliasi dengan industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat. Alih-alih membawa kepentingan rakyat, para calon hanya akan menimbulkan petaka.
- Jatam mencatat, setidaknya 70,8% atau 34 dari 48 menteri di pemerintahan Prabowo-Gibran terafiliasi dengan bisnis industri merusak lingkungan ini. Belum lagi dengan sejumlah wakil menteri dan pejabat lain. Dengan proporsi itu, tak mengherankan kebijakan akan menguntungkan segelintir pihak daripada kepentingan masyarakat.
- Alfarhat Kasman, Juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, menilai, pilkada hanya jadi ajang mendapatkan kekuasaan dengan cara memanfaatkan warga kampung dan beri janji manis. Pilkada ini, tak akan membawa kesejahteraan namun bencana dengan legitimasi terhadap operasi produksi industri ekstraktif.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam. Dia mengatakan, pilkada tak lagi ajang memperkuat pemerintahan di daerah. Pengaruh pusat, sangat kentara, apalagi dalam memastikan perizinan tambang dan peraturan yang menguntungkan pemerintah pusat.
“Golput (golongan putih) lebih baik daripada memilih setan diantara setan. Pilkada membawa petaka, inaugurasi oligarki baru. Boikot pilkada serentak 2024.”
Begitu isi poster yang massa bentangkan saat aksi jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta Pusat, Senin (25/9/11). Pilkada akan berlangsung di 37 provinsi, 97 kota, dan 415 kabupaten di Indonesia pada Rabu (27/9/24) ini.
Massa dari berbagai latar belakang baik individu maupun organisasi masyarakat sipil aksi karena banyak calon kepala daerah terafiliasi dengan industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat. Alih-alih membawa kepentingan rakyat, para calon hanya akan menimbulkan petaka.
Veronica, mahasiswi asal Maluku mengatakan, pilkada 2024 layaknya parade pencitraan dan mengumbar janji palsu. Dalam kampanye, para calon menyampaikan keprihatinan kepada rakyat, padahal mereka adalah aktor penghancur kehidupan masyarakat.
Para calon, katanya, banyak terafiliasi, mengelola bahkan pimpinan perusahaan industri ekstraktif, seperti pertambangan.
“Di balik tambang itu, ada orang-orang yang menjaga tambang. Mereka merenggut ruang hidup masyarakat,” katanya dalam orasi.
Para calon, kata Veronica hanya akan mementingkan investor, rakyat selalu jadi korban.
“Keadilan yang sekarang, keadilan bagi orang-orang berjas, orang-orang yang punya kedudukan. Kita masyarakat kecil selalu ditinggalkan. Untuk apa kita memilih mereka?”
Alfarhat Kasman, Juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, lewat aksi bertema “Pilkada Membawa Petaka,” hendak menyampaikan pesan krusial bahwa mereka tak percaya pilkada. Mereka menilai, pilkada hanya jadi ajang mendapatkan kekuasaan dengan cara memanfaatkan warga kampung dan beri janji manis.
Pilkada serentak 2024, katanya, justru akan melahirkan operator-operator proyek strategis nasional rezim ini.
Jatam mencatat, setidaknya 70,8% atau 34 dari 48 menteri di pemerintahan Prabowo-Gibran terafiliasi dengan bisnis industri merusak lingkungan ini. Belum lagi dengan sejumlah wakil menteri dan pejabat lain.
Para politikus ini berasal dari partai-partai yang melakukan pengesahan Undang-undang untuk menggarong sumber daya alam, mengakibatkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Dengan proporsi itu, tak mengherankan kebijakan akan menguntungkan segelintir pihak daripada kepentingan masyarakat.
Pilkada ini, katanya, tak akan membawa kesejahteraan namun bencana dengan legitimasi terhadap operasi produksi industri ekstraktif.
“Sejak awal pilkada ini dirancang hanya untuk melayani kepentingan para pebisnis para penguasa. Ini hanya akan jadi ancaman besar bagi warga di tapak krisis itu sendiri,” kata Alfarhat.
Sarat kepentingan oligarki
Senada dengan Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam. Dia mengatakan, pilkada tak lagi ajang memperkuat pemerintahan di daerah. Pengaruh pusat, katanya, sangat kentara, apalagi dalam memastikan perizinan tambang dan peraturan yang menguntungkan pemerintah pusat.
“Dalam pilkada ini, pemerintah daerah hanya boneka. Mereka dikendalikan politikus di Jakarta dan oligarki,” katanya.
Demokrasi di daerah kaya sumber daya mineral ini bertukar dengan perizinan dan dana kampanye. Keadaan ini, katanya, membuat uang rakyat Rp41 triliun dalam pilkada terkesan tak berarti.
Apalagi, katanya, selalu ada tren kenaikan perizinan tambang sebelum dan sesudah pilkada untuk mengamankan aliansi politik dan dana kampanye.
Kali ini, kata Jamil, pilkada lebih kental oligarki dan pengaruh politikus nasional. Kebijakan seperti Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan revisi Undang-undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi biang keroknya.
UUCK, misal, akan menyandera daerah-daerah kaya sumber daya alam. Perizinan ada di tangan pusat, hingga kepala daerah tak memiliki kuasa atas perizinan di wilayah mereka.
“Kandidat pilkada tahun ini tidak punya wewenang membuat keputusan yang berarti di wilayah mereka… Jadinya, mereka menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang mindset-nya industri ekstraktif.”
Belum lagi dengan daerah yang tersusupi kandidat yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Di Kalimantan dan Sulawesi, misal, sebut Jamil, banyak kandidat pebisnis yang memiliki relasi dengan tambang dan berkelindan dengan bisnis pemerintah pusat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam keterangan resmi mereka menyebut, ongkos politik mahal membuat para kepala daerah tersandera kepentingan pusat dan pebisnis. Dengan memberikan sumbangan ke calon kepala daerah, pebisnis bisa mendapatkan tujuan mereka: mendapatkan konsesi dan proyek-proyek negara.
ICW menelusuri dana kampanye calon kepala daerah pada 18-21 November dan menemukan hanya 13 dari 103 kontestan yang sumbangan dana kampanye dominan individu. Lebih parah, identitas individu penyumbang tidak diketahui.
Info resmi KPU terkait dana sumbangan ini di laman resmi mereka pun tidak detail. Hanya menampilkan tanggal dan nominal penerimaan dan pengeluaran. Inilah pintu masuk pendanaan gelap dari para cukong.
KPU juga tidak serius merespon ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye. Temuan ICW menunjukkan setidaknya 14 pasangan calon (paslon) yang mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) sebesar Rp0. Serta terdapat 33 paslon yang total pengeluaran masih Rp0.
Dengan hari pemungutan suara yang sudah dekat, mustahil para pasangan calon belum mengeluarkan dana sepeserpun untuk membiayai kampanyenya. KPU tidak melakukan langkah yang patut terhadap hal tersebut.
Dugaan atas pelaporan dana kampanye yang tidak dilakukan secara serius ini juga diperkuat dengan rerata penerimaan sumbangan para kandidat yang hanya berkisar pada Rp3,8 Miliar. Sedangkan taksiran biaya yang perlu dikeluarkan oleh kandidat dalam pemilihan skala gubernur menurut KPK pada tahun 2020 saja berkisar antara Rp20 Miliar sampai dengan Rp100 miliar. Adanya perbedaan nominal yang sangat jauh ini mengindikasikan bahwa apa yang dilaporkan para kandidat tidak mencerminkan ongkos politik yang riil.
*******
Pilkada Indragiri Hilir, Para Kandidat Tak Peka Masalah Pesisir dan Masyarakat?