- Sejak dulu, potensi panas bumi telah memikat hati para peneliti Hindia Belanda, termasuk eksplorasi pertama kali di Kawah Kamojang, Garut, Jawa Barat pada Februari 1926.
- Pada awal tahun 1982, satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang beroperasi dengan kapasitas 30 MW, menandai pemanfaatan panas bumi pertama di Indonesia.
- Jumlah PLTP yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2023 adalah 18 unit, dengan kontribusi energi 3% dari total kapasitas listrik nasional dan 18,5% dari total listrik sumber energi baru terbarukan (EBT) nasional.
- Meski geotermal merupakan energi terbarukan, tetapi pengembangannya terkendala oleh beberapa isu seperti kerusakan lingkungan, biaya investasi tinggi, resiko sumber daya, perizinan yang kompleks, dan kurangnya kesadaran masyarakat.
Sejak dulu, potensi panas bumi telah memikat hati para peneliti Hindia Belanda. Mereka tercatat memulai eksplorasi pertama kali di Kawah Kamojang, Garut, Jawa Barat pada Februari 1926.
Lewat Netherland East Indies Volcanological Survey, mesin-mesin bor bekerja menembus tanah vulkanik yang subur. Mereka barambisi mengubah masa depan energi dengan memanen energi uap dari perut bumi.
Namun, lubang pertama yang dibor memaksa tim mundur dan menyerah. Penyebabnya, sumur lumpur meletus dan alat terbatas.
Eksplorasi kedua membuka harapan karena mereka menemukan alat blower yang lebih kuat. Hasilnya bor mampu menembus kedalaman 18,60 meter, namun uap tiba-tiba menghilang.
Tak berhenti di situ, mereka putar otak. Pengeboran sumur ketiga di dekat Kawah Panggilingan berhasil menembus kedalaman 60 meter. Uap panas pun menyembur cukup kuat menggerakkan mesin dan menyalakan lampu-lampu rumah Hindia Belanda.
Energi listrik yang dihasilkan sebesar 900 kilowatt. Dengan tenaga kira-kira mencapai 8000 kilogram/jam cukup menggerakan turbin.
Kemudian teknologi terus dikembangkan sehingga sumur bor keempat mampu digali hingga kedalaman 105 meter. Suhu uap yang keluar sebesar 140°C, akan tetapi tekanannya sangat rendah sehingga uap tersebut tidak berguna.
Pada September 1926, mereka membuka sumur eksplorasi kelima. Di kedalaman 128 meter, gas panas menyembur dengan suhu 123°C. Dua tahun selanjutnya meningkat hingga 140°C pada Desember 1928.
Seorang ahli vulkanologi Belanda kelahiran Padang, Sumatera Selatan, M. Neumann van Padang dalam jurnal berjudul History of the volcanology in the former Netherlands East Indies (1983) mencatat sumur eksplorasi tiga dan lima terus dipantau selama lebih dari satu dekade. Meski beberapa kali tekanan menurun, panas bumi tetap stabil–menunjukkan kekuatan di dalam perut bumi ini lebih konsisten daripada yang pernah dibayangkan.
Baca : Was-was, Masyarakat Berbagai Wilayah Protes Pembangkit Panas Bumi
Ide awal pemanfaatan energi dari gunung berapi di Indonesia berawal dari pengajar di Hoogere Burgerschool (HBS) de Bandoeng bernama JB van Dijk pada 1918. Ia menuangkan gagasan itu ke dalam tulisan berjudul “Krachtbronnen in Italie” yang terbit di majalah Koloniale Studien.
Van Dijk berkaca pada keberhasilan Italia memanfaatkan panas bumi sebagai energi listrik di Larderello. Dia kemudian mendorong Hindia Belanda melakukan hal yang sama.
Butuh waktu delapan tahun, hingga pada 1926, pemerintah menggelontorkan anggaran untuk pengeboran sumur eksplorasi di Kamojang.
Awal energi Bumi
Pada tahun 1971 baru dilakukan studi kelayakan oleh pemerintah. Itu pun karena adanya kerja sama antara Geothermal Survey of Indonesia (GSI) dengan New Zealand Geothermal Project. Studi itu kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan geologi dan geofisika sampai tahun 1974.
Tempat pertama ditancapkan tonggak pemanfaatan panas bumi di Indonesia itu diketahui punya luas daerah prospek sekitar 21 kilometer persegi dengan cadangan potensial 300 megawatt (MW). Daerah prospek itu diperoleh dari perkiraan luas reservoir panas bumi di sana.
Selama 5 tahun pengeboran, pemerintah Selandia Baru tidak hanya memberikan bantuan teknis, tetapi juga finansial dan alih teknologi. Hingga 1979, mereka berhasil mengeksplorasi 10 sumur.
Pada awal tahun 1982, satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang beroperasi dengan kapasitas 30 MW. Dari sana menandai pemanfaatan panas bumi secara resmi di Kamojang menjadi PLTP pertama di Indonesia.
Pembangkit II dan III dengan kapasitas produksi masing-masing 55 MW menyusul beroperasi pada 1987. Tiga pembangkit yang dikelola PT Indonesia Power Kamojang POMU (Power Generation and O&M Services Unit) total berkapasitas 140 MW, setidaknya daya listrik yang dimanfaatkan dari panas bumi Kamojang disuplai dari sekitar 100 terdiri dari sumur produksi uap, sumur reinjeksi, dan sisanya sumur monitoring.
PLTP Kamojang saat ini terintegrasi dengan PLTP Darajat 55 MW dan PLTP Gunung Salak 180 MW memasok listrik ke jaringan interkoneksi Jawa, Bali, Madura.
PT PLN (Persero) selaku induk perusahaan PT Indonesia Power Kamojang POMU memastikan kinerja PLTP Kamojang tetap terjaga meski sudah beroperasi puluhan tahun. Pemeliharaan rutin untuk memastikan semua unit pembangkit tetap andal setiap tiga tahun sekali. Pemeliharaan ini mencakup pengecekan dan pembersihan turbin serta mesin pembangkit.
PLN juga mengklaim kelestarian hutan di sekitar sumber panas bumi ikut dijaga. Utamanya menjaga sumber air yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan panas bumi.
Baca juga : Kala Proyek Panas Bumi Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat di Pulau Buru
Harta Karun Energi
Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI) 2023, jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2023 adalah 18 unit. Dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia pada tahun 2023 hanya sekitar 2.597,51 megawatt (MW).
Jumlah itu nyaris stagnan. Dalam 10 tahun terakhir, jumlahnya kenaikan PLTP hanya naik sekitar 50 persen.
Adapun kontribusi PLTP di Indonesia masih kecil yaitu sebesar 3% dari total kapasitas listrik nasional. PLTP juga menyumbang 18,5% dari total listrik sumber energi baru terbarukan (EBT) nasional.
Menurut dosen Teknik Geotermal, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, Heru Berian Pratama, lambatnya pengembangan PLTP lantaran terkendala di biaya investasi tinggi, resiko sumber daya, perizinan yang kompleks, dan kurangnya kesadaran masyarakat.
Selain itu PLTP juga membutuhkan investasi awal yang sangat besar. Mulai dari eksplorasi, pengeboran sumur, hingga pembangunan infrastruktur pendukung, katanya.
Jawa Barat, lanjut Heru, salah satu wilayah yang berpotensi pengembangan energi geotermal. Sejauh ini baru ada 4 PLTP yang sudah beroperasi dan menghasilkan 940 MW.
Padahal, berdasarkan data Badan Geologi, provinsi terbanyak penduduknya ini memiliki potensi panas bumi mencapai 6.096 MW. Angka tersebut setara 20% dari potensi panas bumi di Indonesia yakni 23.965 MW.
“Energi geotermal memiliki keunggulan yang menonjol dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya, seperti kestabilan pasokan, emisi rendah, dan potensi untuk multi-manfaat,” katanya dalam wawancara tertulis dengan Mongabay Indonesia, belum lama ini.
Meski begitu, Heru mengungkapkan, presepsi soal PLTP ini masih menjadi kendala. Salah satunya mengenai dampak geotermal terhadap area konservasi dan wilayah hijau merupakan isu yang kompleks dan seringkali menjadi perdebatan.
Masyarakat khawatir proyek geotermal bakal merusak ekosistem, seperti hutan, sungai, dan lahan pertanian. Ada juga kekhawatiran mengenai potensi pencemaran air tanah dan udara akibat limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi geotermal.
“Kekhawatiran akan dampak negatif geothermal terhadap lingkungan, terutama di area konservasi, memang perlu diperhatikan. Namun, teknologi geotermal saat ini cukup aman dan bisa diintegrasikan dengan lingkungan sekitar tanpa merusak area hijau,” ungkap Heru.
Baca juga : Kucuran Dana Internasional dan Dampak Sosial-Ekologis Pembangkit Listrik Panas Bumi
Tantangan Pemanfaatan Panas Bumi
Sementara itu, Senior Strategist Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini menilai PLTP berada diposisi dilematis karena potensi panas bumi kerap berada di kawasan lindung dan konservasi. Akhirnya mesti menempuh perizinan yang rumit dari lintas instansi kementerian, lembaga, hingga instansi di daerah.
Girta bilang perlu diakui bahwa pengembangan PLTP itu tidaklah mudah. Usaha ini merupakan penggabungan antara pertambangan dan juga sektor produksi energi sehingga memiliki tingkat risiko yang besar.
Yang paling besar adalah resiko lingkungan. Mulai dari resiko gas beracun hingga kebutuhan air yang cukup besar. Belum lagi mitigasi bencana karena ada dijalur gunung api.
Fenomena tersebut membuat pengembangan PLTP di Indonesia relatif kurang menggembirakan. Sejumlah parameter yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tidak tercapai secara maksimal.
“Saya rasa jika pemerintah serius melirik PLTP untuk mempercepat energi mesti dimulai dengan melakukan kajian atau mendorong riset dulu,” katanya saat dihubungi, Kamis (21/11/2024). “Karena jangan sampai pengembangan panas bumi membawa tekanan yang lebih besar terhadap keberlangsungan ekosistem dan biodiversitas.”
Barangkali dari Kawah Kamojang yang jadi saksi bagaimana pencarian energi baru terbarukan untuk pembangkit listrik dilakukan Hindia Belanda selama 20 tahun, pemerintah perlu belajar. Mengingat mereka serius menggarap dengan modal riset hingga pendanaan.
Kini pemerintah kembali menargetkan PLTP mencapai 10,5 GW pada 2035 mendatang. Sedangkan pemanfaatannya baru menyentuh angka sekitar 10% dari potensi panas bumi yang dimiliki, yaitu sebesar 2,4 Giga Watt (GW) dari total potensi 24 GW.
Kondisi ini tidak beda jauh dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2017, dimana pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTP dapat mencapai 7.239 MW pada 2025. Tentang potensi besar yang banyak memikat hati, akankah geotermal ini hanya akan tetap cerita harta karun semata? (***)