- Sumatera Selatan [Sumsel] merupakan salah satu penghasil energi kotor di Indonesia. Tercatat, sekitar 16 pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, serta setiap tahun seratusan juta ton batubara digali di Sumsel.
- Adanya pemanfaatan energi terbarukan di Sumsel, sudah seharusnya pemerintah memensiunkan PLTU di Sumsel.
- Guna menghindari ancaman pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius, pemerintah Indonesia harus merancang pendekatan yang terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak.
- Proses transisi energi, juga membutuhkan strategi dalam penataan sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat yang terdampak langsung dari aktivitas energi fosil atau transisi energi tersebut.
Sumatera Selatan [Sumsel] merupakan salah satu daerah penghasil energi kotor di Indonesia. Tercatat, sekitar 16 pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, serta setiap tahun seratusan juta ton batubara digali di Sumsel. Tahun 2023 sebanyak 105,8 juta ton batubara diambil dan 2024 ini ditargetkan 131,2 juta ton.
Bagaimana Sumsel merealisasikan target pemerintahan Prabowo Subianto yang satu dekade kedepan akan menerapkan 100 persen energi terbarukan serta mengakhiri operasional PLTU batubara pada 2040?
“Dengan kondisi saat ini, tampaknya sulit, kecuali ada keinginan kuat dari pemerintah di Sumsel untuk mendukung target tersebut, melalui sebuah strategi komprehensif,” kata Boni Bangun, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, awal Desember 2025.
Disebut sulit, sebab saat ini di Sumsel terdapat pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, bahkan beberapa di antaranya baru beroperasi. Sebut saja, Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] MT Sumsel-8 atau PLTU Tanjung Lalang milik PT Huadian Bukit Asam Power [HBAP], skema kerja sama PT Bukit Asam Tbk dengan China Huadian Hongkong Company Ltd [CHDHK], yang beroperasi tahun 2023.
“Padahal, salah satu upaya menerapkan energi bersih terbarukan yakni memensiunkan pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil, seperti PLTU,” katanya.
Baca: IESR: Target Energi Bersih Indonesia di COP29 Harus Selaras Perjanjian Paris
Masih dimanfaatkannya batubara, lanjut Boni, dikarenakan Sumsel menyimpan cadangan sebesar 9,3 miliar ton, terbesar kedua di Indonesia. “Yang diperkirakan baru akan habis digali selama 40 tahun,” katanya.
Selama empat tahun terakhir [2021-2024] produksi batubara dari Sumsel terus meningkat. Tahun 2021 sebesar 50 juta ton, 2022 [90 juta ton], 2023 [105,85 juta ton], serta 2024 ditargetkan 131,2 juta ton.
Sementara pemanfaatan potensi energi terbarukan di Sumsel sebesar 21.032 MW [Megawatt], baru termanfaatkan sebesar 973,95 MW atau 4,63 persen. Potensi ini berasal dari sumber hydro, solar, angin, bioenergi dan geothermal. Potensi terbesarnya dari solar sebesar 17.233 MWp [Megawatt peak].
Bioenergi dan geothermal menjadi tertinggi dari bauran energi di Sumsel. Geothermal sebesar 146 MW dan bioenergy sebesar 813,41 MW.
Pemanfaatan bioenergy terbesar berasal dari biomassa limbah perkebunan sawit, yang tersebar di 78 HGU perkebuan sawit dengan Captive Power Biomassa [off-grid] sebesar 792.486 KW [Kilowatt], serta geothermal dari PT PGE Lumut Balai dan PT Supreme Energy Rantau Dedap yang beroperasi di Kabupaten Muara Enim.
“Jika berdasarkan PP 79/2014 Tentang KEN, Perpres 22/2017 Tentang RUEN, dan Peraturan Daerah Provinsi Sumsel Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Rencana Umum Energi Daerah Sumatera Selatan 2020-2050, maka bauran energi di Sumsel pada 2023 sebesar 24,18 persen. Ini sudah melampaui atau melebihi target bauran energi nasional sebesar 22 persen pada 2025,” jelas Boni.
Baca: Energi Bersih, Upaya Serius Melawan Perubahan Iklim
PLTU Segera Dipensiunkan
Berdasarkan perkembangan pemanfaatan energi terbarukan tersebut, kata Boni, sudah seharusnya pemerintah Sumsel menghentikan semua pemanfataan energi bauran fosil, seperti PLTU, dan terus meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. “Sehingga, target 2045 kita bebas PLTU dapat tercapai,” katanya.
Sebab, pemanfaatan energi terbarukan harus seimbang dengan pengurangan penggunaan energi fosil.
“Kita ini memanfaatkan energi sesuai kebutuhan, dan energi yang ditargetkan pada masa depan adalah energi bersih.”
Guna mendorong percepatan pensiun dini PLTU di Sumsel, yang hanya diberi waktu selama 20 tahun, pemerintah di Sumatera Selatan harus mengurangi atau tidak lagi mengakomodasi sepenuhnya kepentingan ekonomi dan politik industri fosil.
“Segeralah beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon, sehingga dapat menyelamatkan umat manusia saat ini dan mendatang dari dampak kepunahan akibat perubahaan iklim.”
Baca: Panas Bumi di Sumatera Selatan, Antara Energi Bersih dan Habitat Harimau
Menurut IESR dalam peluncuran IETO [Indonesia Energy Transition Outlook] 2025, bauran energi fosil terus naik, bahkan pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Selain itu, intensitas energi juga masih dibawah target yang ditetapkan KEN [Kebijakan Energi Nasional].
UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional [RPJPN] 2025-2045 dengan transisi energi sebagai salah satu tujuan utamanya, seakan dimentahkan oleh KEN baru yang justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan target 2045.
Selain itu, sejak diluncurkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2021-2030 yang diklaim sebagai RUPTL hijau, tidak membawa perubahan berarti. Sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan yang harus dieksekusi 2021-2025 belum dilelang, dikonstruksi dan dioperasikan. Hingga 2024, capaian target bauran energi terbarukan hanya berkisar 13,1 persen, padahal target semula adalah 23 persen pada 2025.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR IETO 2025, mengungkapkan semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi batubara, liquefied petroleum gas [LPG], dan bahan bakar minyak [BBM]. Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada 2023.
Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN [captive] kapasitasnya berkembang menjadi 21 GW di 2023 sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama. Ditambah lagi sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG subsidi, dengan total subsidi mencapai Rp83 triliun pada kuartal keempat 2024.
“Sementara, energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan,” jelasnya, Kamis [5/12/2024].
Baca juga: Konsorsium Energi Bersih Laporkan Tiga PLTU di Sumatera ke PBB, Mengapa?
Strategi
Anindita Hapsari, Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR [Institute for Essential Services Reform], saat peluncuran IETO [Indonesia Energy Transition Outlook] 2025, menyatakan guna menghindari ancaman pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius, pemerintah Indonesia harus merancang pendekatan terencana dan bertahap, dengan melibatkan seluruh pihak. Termasuk pemerintah daerah, untuk mendukung transisi energi Indonesia.
Strateginya terbagi dua; jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek atau mendesak, pertama, pemerintah menegakkan kepatuhan dalam memastikan implementasi kebijakan yang ada, seperti pengetatan standar emisi bahan bakar dan penerapan bangunan hijau.
Kedua, memberikan insentif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi, seperti elektrifikasi kendaraan darat, dan implementasi mekanisme perdagangan karbon. Ketiga, mendukung sektor seperti pengolahan mineral agar lebih ramah lingkungan dan memprioritaskan akselerasi pengadaan energi terbarukan.
Sedangkan strategi jangka panjang, pertama, pemerintah perlu membangun infrastruktur energi terbarukan. Contohnya, mengembangkan kapasitas produksi hidrogen hijau dan amonia sebagai bahan bakar masa depan dan memperkuat infrastruktur jaringan listrik untuk mendukung integrasi energi terbarukan.
Kedua, menyusun mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi. Ketiga, fleksibilitas sistem listrik dengan layanan tambahan dan inovasi seperti ESCO [Energy Service Companies].
“Terakhir, memperkuat peran daerah dalam implementasi kebijakan transisi energi, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan perencanaan energi regional,” jelasnya.
Rabin Ibnu Zainal dari PINUS [Pilar Nusantara] Indonesia mengatakan, satu hal paling penting dari proses transisi energi, adalah strategi dalam penataan sosial, ekonomi, dan budaya pada masyarakat yang terdampak langsung dari aktifitas energi fosil atau transisi energi tersebut.
“Misalnya, “pentingnya meningkatkan kesadaran publik terkait transisi energi bersih. Sehingga masyarakat dapat bersikap, mendukung, dan terlibat dalam prosesnya.”
Selain itu, reskilling untuk tenaga kerja lokal yang saat ini sudah tergantung dengan aktivitas penambangan batubara. Misalnya, dengan melakukan pelatihan untuk diversifikasi ekonomi. “Tentu saja, harus diiringi dengan anggaran yang cukup untuk melakukan transformasi ekonomi.”
Secara budaya, perlu didorong atau dilestarikan berbagai kearifan lokal yang menghormati alam dan sumber daya lokal, yang sejalan dengan upaya transisi energi bersih.
“Komunikasi budaya juga bisa dilakukan untuk menyampaikan pesan transisi energi bersih guna meningkatkan kesadaran masyarakat,” paparnya.