- Pasijah (55) dan Rokani (60) suaminya, adalah pasangan suami istri terakhir yang masih bertahan di Rejosari Senik, Desa Bendono di Kabupaten Demak, meski dusunnya telah tenggelam karena rob dan subsidensi tanah.
- Sejak tahun 2000, Pasijah telah menanam mangrove, meski saat ini yang tersisa hanya yang berada di seputaran tempat tinggalnya.
- Meski demikian Pasijah tidak merasa menyesal menanam mangrove, dia dan suaminya juga akan tetap bertahan di lahan rumahnya yang terkurung lautan.
- Desa Bedono di Kecamatan Sayung, adalah satu dari desa-desa lain di Kabupaten Demak yang terancam tenggelam. Ratusan kepala keluarga (KK) telah direlokasi ke tempat lain yang dianggap aman.
Tenggelamnya sebagian daratan pesisir pantai utara Kabupaten Demak Jawa Tengah akibat rob air laut, telah membuat sebagian penduduknya pindah atau direlokasi ke daratan yang lebih aman.
Dari empat kecamatan yang terkena banjir rob, yaitu Kecamatan Sayung, Karang Tengah, Bonang, dan Wedung. Maka, Kecamatan Sayung adalah yang terkena dampak paling parah. Di Desa Bedono yang masuk Kecamatan Sayung, rob telah menenggelamkan dua dusun yaitu Rejosari Senik dan Tambaksari.
Akibatnya, pada tahun 1999, sebanyak 65 KK asal Dusun Tambaksari telah direlokasi ke Desa Purwosari, lalu di tahun 2006 sejumlah 201 KK asal Dusun Rejosari Senik direlokasi ke Dukuh Badong, Desa Sidogemah dan Dukuh Daleman, Desa Gemulak.
Pada akhir November 2024, Mongabay Indonesia berkesempatan untuk menjumpai pasangan Pasijah (55) atau yang sering dipanggil ‘Mak Jah’ bersama suaminya Rokani (60). Keluarga terakhir yang masih tetap bertahan di Dusun Rejosari Senik, meski kampung ini terus tenggelam.
Untuk menuju ke rumahnya pun, hanya dapat dijangkau dengan perahu, dengan durasi sekitar 10 menit dari daratan Desa Bedono.
Meski di rumahnya yang seluas 15m x 7m saat ini hanya tersisa sepetak lahan yang dikelilingi oleh bekas rumah para tetangganya tengelam. Mak Jah dan Rokani mempertahankan ‘lahan’ mereka dengan cara tetap menanam mangrove dan sebisa-bisanya meninggikan fondasi bangunan rumahnya yang tersisa.
Apa yang membuat Paijah dan Rokani bertahan di tempat ini? Mengapa mereka masih tetap menanam mangrove meski ada ancaman abrasi dan tenggelam?
Berikut petikan wawancara kami dengan pasangan Pasijah dan Rokani. Wawancara ini dilakukan dalam bahasa Jawa yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
***
Mongabay: Dari tahun berapa Mak Jah dan bapak mulai menamam mangrove di sini?
Mak Jah: Sejak sekitar tahun 2000. Saya dibantu oleh bapak [suami saya]. Saya kumpukan bibit, bapak yang cari tanah untuk isi polibag. Kadang kalau ada mahasiswa dan pelajar yang datang, mereka juga suka bantu kami nandur [tanam] mangrove.
Mongabay: Apa alasan yang membuat Mak Jah dan bapak menanam mangrove?
Mak Jah: Saya menanam mangrove karena lihat ada manfaatnya, untuk mempertahankan pantai dari ombak yang kencang, juga melawan abrasi.
Meski sekarang banyak mangrove yang saya tanam telah hilang [diterjang ombak]. Dulu saya tanam mangrove dari Tambak Sari sampai ke dusun sini. Kalau banyak tanaman mangrove, kan jadi banyak burung yang datang, banyak ikan-ikan, kepiting, rajungan yang bisa kita ambil. Sekarang sudah susah cari mereka.
Mongabay: Waktu itu gagasan untuk tanam mangrove datangnya darimana?
Mak Jah: Tentang ingin tanam mangrove, itu awalnya saya pernah lihat orang di Kampung Muara Demak menancap bibit mangrove. Saya perhatikan. Lalu, saya coba tanam mangrove di sekitar tempat tinggal saya, ternyata mangrovenya hidup. Kalau jenis mangrove yang ditanam itu dari jenis bakau (Rhizophora sp.) dan api-api (Avicennia spp).
Mongabay: Kalau dihitung sejak awal Mak Jah tanam, sudah berapa banyak mangrove yang ditanam sampai sekarang?
Mak Jah: Sudah tidak kehitung lagi, banyak, puluhan ribu atau ratusan ribu mungkin lebih. Tapi sekarang sudah banyak yang hilang karena abrasi. Sisanya yang ada di sekitar rumah ini saja.
Saya tanam mangrove tidak ditarget, sudah puluhan tahun. Seberapa pun adanya saya tanam. Kalau ada 500 bibit ya saya tanam, 2.000, 4.000 sampai 5.000 bibit ya pokoknya tandur. Saya membibit mangrove di bekas rumah tetangga saya [yang sudah kosong itu].
Mongabay: Jadi kemana tetangganya Mak Jah?
Mak Jah: Semua tetangga saya di sini sudah pindah, hanya tinggal kami saja [red: saat ini Mak Jah tinggal bersama suami dan seorang anaknya yang menemani]. Tidak ada lagi tetangga. Satu persatu tetangga pindah, karena desa ini tenggelam, orang pindah karena sudah tidak bisa lagi leluasa kalau mau bepergian. Mata pencarian juga sudah sulit.
Mongabay: Bisa diceritakan sebelum desa ini tenggelam, dulunya seperti apa?
Mak Jah: Dulu sebelum tahun 2000, sengingat saya di dusun ini ada sekitar 200-an KK lebih. Dulu ada tiga gang di sini. Juga ada lahan sawah dan darat. Batas garis pantai masih ada sekitar 1 km dari sini.
Kemudian mulai kena abrasi sedikit demi sedikit, daratan habis. Lalu dijadikan tambak, setelah itu semuanya jadi segara [laut]. Yang jelas, selama 20 tahun ini daratannya berkurang terus.
Mongabay: Apa yang membuat kampung ini tenggelam?
Mak Jah: Jadi bukan hanya karena ombak dan abrasi saja, tapi karena tanah di sini amblas [red: subsidensi]. Rumah saya ini sudah dinaikkan 1,5 meter, tadinya tingginya sekitar 3,5 meter, sisa dua meteran. Sekarang juga masih terus tenggelam.
Kalau benar-benar mulai amblas itu, kira-kira sejak tahun 2015. Saya tidak pernah ukur berapa amblas tiap tahun. Tapi perkiraan mungkin sekitar 15-20 cm per tahun.
Mongabay: Bagaimana perasaan Mak Jah dan pak Rokani ketika tetangga satu persatu mulai pergi?
Mak Jah: Biasa saja, tidak ada perasaan apa-apa. Saya tinggal di sini, karena ada tanah ini, tanah saya, ada sertifikatnya, meski rumah saya ini tidak magrong-magrong, tapi ini milik saya. Saya dan bapak sudah niat tinggal di sini, sudah menyatu dengan kehidupan di sini.
Mongabay: Apa pernah ditawarkan pemerintah untuk pindah?
Mak Jah: Iya pernah, tapi bagaimana ya (sambil berpikir), ini rumah saya, tempat tinggal saya, kehidupan saya. Suami saya asli orang sini. Saya sendiri asli dari Karang Tengah, Demak. Kalau di darat [Pulau Jawa], saya tidak punya tanah. Nanti mau tinggal di mana, mau makan apa di sana. Lebih baik di sini.
Rokani: Kita bertahan di sini, karena kita punya usaha di sini. Kami mengumpulkan kerang hijau untuk dijual, kami juga membibitkan mangrove.
Mongabay: Apa beda situasi zaman sekarang dengan zaman dulu?
Mak Jah: Sekarang yang namanya rob itu tidak bisa diprediksi lagi. Cuaca juga begitu, kadang ombak besar. Kadang datang hujan besar. Tidak tentu. Kalau rob tiap hari itu sudah biasa, juga kalau ada rob besar juga sudah pernah alami.
Mongabay: Pernah ada pengalaman dengan cuaca yang tidak bersahabat, saat tinggal di sini?
Mak Jah: Iya pernah. Kalau sekarang cuaca sedang teduh, tidak ada rob (ombak besar), tidak ada angin besar. Dulu pernah, sekitar bulan Januari 2022, pernah saya dan bapaknya ndak bisa tidur tiga hari tiga malam, dari hari Kamis sampai hari Minggu kalau tidak salah waktu itu.
Ombaknya besar sekali, sampai lewat di atap rumah. Suaranya, byar byur byar byur, begitu lho. Air masuk ke rumah dari genteng yang bocor-bocor ini.
Mongabay: Kalau Mak Jah dan bapak sekarang aktivitas sehari-harinya apa?
Mak Jah: Kalau saya sehari-harinya tanam mangrove, cari kerang hijau, juga masih suka pergi ke darat [Pulau Jawa] untuk belanja kebutuhan. Beli beras, beli air, kebutuhan harian, juga jualan.
Kalau bapaknya jarang keluar rumah, di sini saja. Saya punya perahu, jadi kalau ke darat, saya pakai perahu itu, diantar anak. Saat musim hujan, kami diam saja di sini. Kami tampung air hujan untuk kebutuhan air tawar. Kalau harus beli air tawar, harganya Rp15 ribu untuk seminggu kebutuhan.
Dulu, sebelum daratannya tenggelam, saya bertani. Saya dan bapaknya sewa lahan untuk ditanami padi. Kalau sekarang lebih banyak cari kerang hijau untuk kehidupan sehari-hari.
Mongabay: Kalau Mak Jah dan bapak, putera-puterinya ada berapa? Sekarang mereka tinggal di sini juga?
Mak Jah: Kami ada anak, empat orang, yang tiga tinggal di darat. Kalau anak yang satu, sampai sekarang temani kami di sini.
Satu anak saya sedang kuliah di Universitas Muhammadiyah Semarang, ambil jurusan pendidikan, semester lima. Alhamdulilah bisa menyekolahkan sampai ada yang kuliah. Kalau kakak-kakaknya sudah kerja.
Dulu, waktu anak-anak sekolah masa SD sampai SMA mereka saya antar naik perahu dari rumah ini sampai ke Bedono. Di darat lalu lanjut diantar pakai sepeda.
Mongabay: Katanya ada banyak orang yang datang ke sini, untuk ketemu Mak Jah dan bapak?
Mak Jah: Ada saja yang datang. Ada yang mau penelitian, ada dosen dengan mahasiswanya datang ke sini. Katanya mau penelitian tentang mangrove, penelitian tentang tanah yang amblas, penelitian tentang laut, penelitian tentang masyarakat, macam-macam poko’e.
Ada juga perwakilan dari perusahaan yang datang. Ada yang dari Bank, ada yang dari perusahaan. Bentuknya ada yang beri sumbangan dana, ada yang beri bantuan polibag, bantu beli bibit. Ada juga yang datang bertamu saja, ingin tahu kehidupan kami di sini.
Mongabay: Mak Jah dan bapak kan tahu di sini abrasi terus-menerus. Pohon mangrovenya juga sudah banyak yang hilang. Apa tidak merasa pekerjaan menanam mangrove itu sia-sia?
Mak Jah: Sama sekali tidak pernah, yang penting mikirnya nandur (tanam). Tidak pernah merasa ini pekerjaan sia-sia. Saya percaya semua pasti berguna, tidak ada yang tidak berguna.
Bapaknya yang cari tanah, kumpul dari lumpur-lumpur lalu dimasukkan ke polibag, saya yang cari bibitnya.
Mongabay: Mak Jah pernah dapat penghargaan dari Pemerintah?
Mak Jah: Pernah dapat penghargaan dari pak Ganjar (Mantan Gubernur Jawa Tengah) tahun 2021 penghargaan Kalpataru Jawa Tengah. Juga pernah dapat dari Ibu Iriana Jokowi tahun 2023 waktu Hari Kartini. Saat itu kalau ndak salah kami dapat uang Rp4 juta.
Mongabay: Sampai kapan Mak Jah dan bapak akan tinggal di sini?
Mak Jah: Iya sampai kapan pun, selama saya dan bapak masih sehat, kami minta kepada Tuhan untuk tetap sehat, dan dapat terus berusaha.
Adaptasi Warga Pesisir Timbulsloko Setelah Kampung Terendam Air Laut