- Tempirai di Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir] merupakan salah satu sentra penghasil ikan air tawar di Sumatera Selatan, yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
- Banyaknya populasi ikan, membuat masyarakat Tempirai memiliki berbagai pengetahuan dalam menangkap ikan yang lestari.
- Setiap musim kemarau dikenal tradisi melebung, yakni menangkap ikan bersama di lebung yang airnya menyusut.
- Luas lahan basah di Sumatera Selatan sekitar tiga juta hektar. Sekitar 1,1 juta hektar berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri [HTI], permukiman, dan kegiatan infrastruktur.
Kamis malam di awal Januari 2025, sekitar pukul 22.00, Ibrahim [55] menggunakan sebuah perahu ketek [perahu bermesin] melaju ke sudut rawa Danau Burung yang dipenuhi rerumputan. Hanya diterangi headlamp, dia mengecek tiga buah sengkirai [alat tangkap ikan tradisional dari bambu seperti bubu] yang dipasangnya sejak sore.
“Alhamdulillah dapat puluhan ikan sapil,” katanya. Ikan sapil penyebutan untuk anak ikan tembakang [Helostoma temminckii].
Ibrahim adalah warga Desa Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumatera Selatan, yang sejak kecil mencari ikan di Danau Burung. Danau Burung adalah kawasan rawa gambut di Tempirai yang luasnya mencapai 1.250 hektar.
“Sepanjang tahun, masyarakat Tempirai mencari ikan di sini. Baik di musim penghujan seperti sekarang ini, maupun saat kemarau,” jelasnya.
Meskipun Danau Burung adalah objek lelang lebak lebung, tapi setiap warga Tempirai dibebaskan atau diperbolehkan mencari ikan oleh pengemin atau pemenang lelang. Namun, jika ada warga mencari ikan sebagai sumber pendapatan, wajib berbagi hasil dengan pengemin.
Hal ini juga berlaku untuk puluhan objek lelang lebak lebung lain di Tempirai.
“Masyarakat percaya, jika pemenang lelang melarang warga mencari ikan untuk kebutuhan makan, maka ikannya sedikit. Mereka merugi. Pandangan ini sudah berlangsung ratusan tahun,” jelas Ibrahim, yang saat ini menjabat Kepala Dusun VII Desa Tempirai Selatan.
Baca: “Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi
Banyaknya lelang lebak lebung membuktikan Tempirai merupakan habitat ikan air tawar di Sumatera Selatan. Ikan-ikan dari Tempirai tidak hanya dikirim ke Palembang, tetapi juga ke daerah sekitar Kabupaten PALI, terutama ke Kota Muaraenim dan Kota Pendopo.
Lelang lebak lebung di Sumatera Selatan sudah ada sejak abad ke-17 atau di masa Kerajaan Palembang. Lelang lebak lebung diatur dalam kitab “Simbur Cahaya”, yang dijadikan pranata hukum adat masyarakat Sumatera Selatan. Kitab ini ditulis Ratu Sinuhun, isteri Pangeran Sido Ing Kenayan, yang berkuasa di Palembang pada 1636-1642 Masehi.
Pendapatan dari lelang lebak lebung menjadi pemasukan pemerintahan marga [kelompok masyarakat], yang kemudian digunakan untuk kepentingan marga. Aturan ini berlaku di masa pemerintahan Hindia Belanda.
Setelah Pemerintahan Orde Baru melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang diganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang membubarkan pemerintahan marga [adat], lelang lebak lebung tetap dijalankan.
Tapi pendapatan dari lelang lebung tersebut dibagi tiga; yakni untuk kas pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan, dan pemerintahan kabupaten.
Dijelaskan Ibrahim, selama ratusan tahun masyarakat Tempirai yang sekarang tersebar di empat desa; Desa Tempirai, Desa Tempirai Timur, Desa Tempirai Utara, dan Desa Tempirai Selatan, hidup dari hasil rawa gambut, sungai, kebun dan hutan.
“Tradisi ini tetap berlaku. Mungkin yang mulai berkurang aktivitas ke hutan, seperti mencari rotan dan damar. Penyebabnya, hutan mulai habis,” jelasnya.
Baca: Perempuan-perempuan yang Kehilangan Ikan dan Pengetahuannya
Beragam Cara Menangkap Ikan
Ada berbagai cara menangkap ikan air tawar tradisional yang dilakukan masyarakat Tempirai, dengan mengutamakan kelestarian ekosistem lingkungan.
Misalnya “bumbun”, yaitu menangkap ikan dengan cara menenggelamkan perahu yang diselimuti ranting pohon atau tanaman belukar. Perahu dibiarkan terendam semalam, kemudian diangkat. Saat diangkat, akan didapat banyak ikan di dalamnya.
Ada juga menangkap ikan dengan cara membuat jalur jebakan di arus sungai deras menggunakan dinding belahan bambu. Ikan yang terbawa arus, diarahkan pada sebuah tempat penampungan. Cara ini disebut lansatan.
Setiap musim kemarau, warga Tempirai melakukan tradisi melebung. Melebung adalah menangkap ikan secara bersama di sebuah lebung yang airnya menyusut. Alat yang digunakan antara lain sangi, serkap, dan tangkul.
Foto: Ikan Putak, Jenis Dilindungi yang Masih Dijadikan Kuliner
Melebung adalah tradisi masyarakat lahan basah Sungai Musi. Di Tempirai, tradisi ini masih bertahan, termasuk juga di wilayah PALI, seperti di sejumlah desa di Penukal dan Abab.
“Cara menangkap ikan di sungai, rawa, gambut, dan lubuk, itu berbeda. Termasuk pula penggunaan umpan untuk mancing, tajur, dan bubu. Di sini jarang menggunakan jaring, sebab semua ikan bisa terjerat. Padahal, kami hanya menginginkan jenis tertentu yang saat dijual harus dalam keadaan hidup atau segar,” kata Edi Suryanto [43], warga Desa Tempirai Selatan.
Misalnya, umpan tajur/pancing untuk ikan toman [Channa micropeltes] menggunakan anak ikan keli [Clarias sp] atau ikan seluang [Rasbora Bankanensis]. Sementara umpan untuk ikan gabus [Channa striata] menggunakan katak rawa [Pelophylax ridibundus] atau lipas kayu [Cryptocercus].
“Tajur bisa dilakukan di gambut, tidak hanya di rawa dan sungai. Caranya, gambut dilubangi dan tajur dipasang siang hari. Nama memasang tajur di gambut ini ngampan,” katanya.
Di masa lalu, berbagai pengetahuan tradisional menangkap ikan air tawar merupakan pengetahuan umum bagi masyarakat lahan basah Sungai Musi.
Namun, berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di sejumlah wilayah lahan basah Sungai Musi, seperti di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Ogan Ilir [OI], Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], pengetahuan tradisional menangkap ikan ini sebagian besar sudah hilang. Bahkan, masyarakat sudah terbiasa menangkap ikan yang tidak lestari, seperti nyetrum dan mutas [menggunakan racun].
“Cara ini dilarang, sebab menghabisi anak-anak ikan dan membunuh ikan yang tidak menjadi sasaran tangkap,” kata Ibrahim.
Baca: Lahan Basah Sungai Musi Berubah, Peneliti: Harus Dikembalikan Fungsinya
Ikan Air Tawar yang Bertahan
Dibandingkan dengan wilayah lahan basah lainnya di Sumatera Selatan, jumlah jenis ikan air tawar di Tempirai lebih beragam. Kecuali ikan tangkelese atau arwana asia [Scleropage formasus] yang sudah sulit didapatkan. Hilangnya ikan ini sejak akhir 1990-an.
Sementara ikan air tawar yang dilindungi yakni belida sumatera [Chitala hypselonotus] dan ikan putak/belida jawa [Notopterus notopterus] populasinya mulai berkurang.
Berdasarkan wawancara Mongabay Indonesia dengan sejumlah warga Tempirai yang tengah mencari ikan, tercatat sekitar 80-an jenis ikan dengan nama lokal yang masih dikenal atau keberadaannya masih ditemukan. Ikan-ikan ini umumnya dapat dikonsumsi atau dijual di pasaran.
Beragam jenis Channa masih didapatkan, dan bahkan populasinya masih banyak, seperti kiong atau bujuk [Channa Lucius], ikan toman [Channa micropeltes], ikan gabus [Channa striata], pongkot [channa gachua], dan serandang [Channa pleuropthalma].
Ikan buntal [Pao palembangensis] masih ditemukan warga di Sungai Penukal. Sementara ikan yang dilarang dimakan adalah ikan langli [Syncrossus hymenophysa] karena dianggap beracun.
Channa merupakan ikan favorit masyarakat Tempirai. Jenis ikan ini menjadi bahan baku Sagarurung yaitu pengasapan ikan yang dilumuri bumbu tumis. Bahannya asam jawa, garam, bawang merah, dan cabai.
“Sementara ikan sepat mata abang adalah ikan favorit di sini untuk dijadikan pekasem [fermentasi ikan],” kata Hormawati [70], warga Desa Tempirai.
Baca juga: Hebatnya Perempuan Tempirai, Bangga Jadi Petani dan Penyedia Pangan Masyarakat
Beberapa jenis ikan seperti baung dan lais sering dijadikan ikan asap, serta sebagian besar ikan sering dijadikan ikan asin.
Ditemukannya puluhan jenis ikan air tawar di Tempirai dikarenakan sebagian besar kondisi rawa gambutnya masih terjaga. Berbeda dengan kawasan rawa gambut lainnya di Sumatera Selatan.
“Memang ada sebagian hutan di rawa gambut yang terbuka untuk perkebunan sawit, seperti di hulu Danau Burung. Pengaruhnya ada, tapi tidak menghilangkan jenis ikannya, hanya mengurangi populasi, seperti ikan serandang,” lanjut Ibrahim.
Selain itu, tidak ditemukan kanal-kanal Tempirai, baik yang dibuat di masa lalu maupun saat ini, membuktikan lahan kering yang digunakan masyarakat sebagai persawahan maupun perkebunan tanpa rekayasa manusia.
“Semua aliran sungai itu alami. Banjir dan mengering sebuah kawasan rawa karena kondisi hujan dan pasang surut. Sungai Penukal ini bermuara ke Sungai Musi,” jelasnya.
Yulion Zalpa, pengajar dari FISIP UIN Raden Fatah, berharap masyarakat dan pemerintah desa di Tempirai terus menjaga lahan basahnya. Dengan begitu, keragaman dan populasi ikan air tawar terus terjaga.
Hilangnya jenis-jenis ikan air tawar, bukan hanya menghilangkan kekayaan hayati, tetapi juga menjauhkan beragam tradisi di masyarakat. “Lahan basah Tempirai harus tetap terjaga, agar terus menjadi rumah beragam jenis ikan,” paparnya.
Sebagai informasi, luas lahan basah di Sumatera Selatan sekitar tiga juta hektar. Sekitar 1,1 juta hektar berubah fungsi menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri [HTI], permukiman, dan kegiatan infrastruktur.
Berdasarkan laporan Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu, kerusakan lahan basah di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Ogan Ilir [OI], menyebabkan hilang dan menurunnya populasi sejumlah jenis ikan air tawar. Bahkan sebagian daerah yang dulunya dikenal sebagai sentra ikan air tawar, kini yang tersisa hanya ikan-ikan sampah.