- Wilayah Indonesia akan mengalami bencana hidrometeorologi. Ini ditandai dengan hujan intensitas tinggi, angin kencang, puting beliung, banjir, tanah longsor, kekeringan, ombak tinggi, dan abrasi.
- Sejak tahun 1.800 hingga sekarang, hidrometeorologi merupakan bencana yang banyak terjadi di Indonesia, disusul aktivitas geologi seperti gempa bumi dan gunung meletus.
- Pengaruh La Nina Moderat dari Samudra Pasifik yang menambah sekitar 20 persen curah hujan yang turun.
- Adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan masyarakat, agar mengetahui potensi bencana yang dapat terjadi di daerahnya.
Wilayah Indonesia akan mengalami bencana hidrometeorologi. Ini ditandai dengan hujan intensitas tinggi, angin kencang, puting beliung, banjir, tanah longsor, kekeringan, ombak tinggi, dan abrasi.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, menuturkan bencana hidrometeorologi disebabkan oleh perubahan iklim. Saat ini, memasuki hidrometeorologi basah karena musim penghujan.
Sejak tahun 1.800 hingga sekarang, hidrometeorologi merupakan bencana yang banyak terjadi di Indonesia, disusul aktivitas geologi seperti gempa bumi dan gunung meletus.
“Hampir 90-95 persen itu bencana hidrometeorologi. Sisanya sekitar 5-10 persen itu gempa dan erupsi gunung berapi,” kata Amien, Selasa (7/1/2025).
Cuaca ekstrem ini meningkatkan dampak yang ditimbulkan, sehingga memiliki daya rusak. Misal, angin kencang yang sering terjadi tidak hanya merobohkan pohon tetapi juga menghancurkan bangunan.
“Pengaruh La Nina Moderat dari Samudra Pasifik yang menambah sekitar 20 persen curah hujan yang turun.”
Adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan masyarakat, agar mengetahui potensi bencana yang dapat terjadi di daerahnya.
Amien menyontohkan kasus banjir di Surabaya, Jawa Timur, akhir tahun 2024. Faktor pemicu banjir seperti tumpukan sampah di saluran air, alih fungsi sempadan sungai, serta sistem pengendali air hujan, harus diperbaiki.
“Sampah harus dibersihkan dan sungai dinormalisasi sebagaimana mestinya,” paparnya.
Baca: Banjir dan Longsor di Sukabumi, BNPB: Pemda dan Masyarakat Harus Sadari Daerah Rawan
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda, di Sidoarjo, Taufiq Hermawan, memperingatkan masyarakat dan pemerintah di Jawa Timur, akan terjadinya bencana tersebut.
“Tidak hanya hujan, bahkan petir, angin kencang dan puting beliung, hingga hujan es dimungkinkan terjadi. Puncak hujan diperkirakan akhir Januari hingga Februari dan turun pada akhir Februari,” terangnya, Jumat (3/1/20205).
BMKG Juanda selaku koordinator BMKG se-Jawa Timur, telah melakukan operasi modifikasi cuaca atas permintaan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, untuk mengurangi intensitas hujan. Operasi dilakukan pada 18 hingga 29 Desember 2024 lalu.
“Prioritasnya beberapa daerah yang sudah mengalami banjir, seperti Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, juga di Bojonegoro utara, dan beberapa daerah di selatan seperti Trenggalek.”
Baca juga: Memaknai Bencana Alam dengan Perspektif Baru
Antisipasi Bencana di Surabaya
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Surabaya, Samsul Hariadi, mengatakan telah menyiapkan sarana prasarana mengantisipasi dampak cuaca ekstrem di Kota Surabaya hingga Februari 2025.
Satu yang digiatkan adalah pengerukan saluran air tersumbat. Sebanyak 315 pompa air di 77 rumah pompa yang tersebar di seluruh wilayah Surabaya disiapkan.
Sementara, Dinas Pemadam Kebakaran menyiagakan 34 armada untuk menyedot genangan air yang lama waktu surutnya.
“Terdapat 3 titik yang perlu diwaspadai tekait ancaman banjir rob, yaitu Kalianak, Kali Krembangan, dan Kali Sememi, karena belum memiliki rumah pompa.”
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro, Jumat (3/1/2025) mengatakan, perlu rekayasa teknis untuk menangani masalah genangan di Surabaya.
“Kondisi geografis Surabaya yang berada di hilir, menjadi tempat bertemunya air dari berbagai daerah di hulu. Khusus banjir rob, terdapat 12 titik yang akan terus dipantau,” paparnya.