- Indonesia bersiap meratifikasi Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional atau Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ). Saat ini, prosesnya hampir tuntas dengan menyisakan satu tahapan.
- Prioritas perjanjian BBNJ adalah melaksanakan konservasi kekayaan aneka ragam hayati laut di seluruh dunia. Kekayaan itu ada di dasar laut dan permukaan air laut melalui sumber daya alam yang bervariasi
- Gita Sabharwal, Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia mengatakan, perjanjian BBNJ sangat penting di dunia, karena kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) hingga 25% dari seluruh emisi karbon dunia.
- Ekosistem lautan lepas memainkan peran penting dalam menyerap karbon dengan cara menangkap dan menyimpan dalam biomassa tanaman dan sedimen. Karena itu, Indonesia menjadi negara penting dalam perjanjian BBNJ, karena menjadi pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan 8.500 biodiversitas biota laut di dalamnya.
Indonesia bersiap meratifikasi Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional atau biodiversity beyond National Jurisdiction (BBNJ). Saat ini, prosesnya hampir tuntas dengan menyisakan satu tahapan.
Satu tahapan itu adalah untuk menentukan apakah ratifikasi akan diatur melalui Undang-undang (UU) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Keduanya diatur UU Nomor 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 13/PUU-XVI/2018.
Sebelumnya, Indonesia menggelar konsultasi nasional pada 21 Juni 2024. Proses itu sebagai tindak lanjut pasca penandatanganan perjanjian itu oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 20 September 2023.
Ruliyana Susanti, Anggota Dewan Pakar Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BKIKH BRIN) menjelaskan, perjanjian BBNJ mengatur tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati di luar wilayah yurisdiksi nasional. Ia meliputi sumber daya genetik kelautan, termasuk distribusi manfaat moneter dan nonmoneter; alat manajemen berbasis area, penilaian dampak lingkungan, serta peningkatan kapasitas dan transfer teknologi kelautan.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi itu katakan, pengaturan sumber daya genetik sangat penting karena produknya sangat bermanfaat bagi manusia. Sebut saja, chitosan dari kulit kepiting, udang untuk obat anti kolesterol, makroalga dan timun laut untuk obat anti kanker.
Ruliyana menyebut, hal penting yang perlu dorongan kalau ratifikasi dilakukan adalah penyediaan anggaran, pelibatan generasi muda, partisipasi masyarakat sipil, serta peningkatan kapasitas.
Laura Adibunga Nindya, Program Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) katakan, pelibatan generasi muda itu sejalan dengan prinsip perjanjian yang menempatkan BBNJ seperti warisan bersama untuk manusia. Sebab itu, keuntungan pemanfaatan harus dibagi secara adil, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Hal itu sejalan dengan Pasal 32 ayat (1) dan (3) perjanjian BBN yang mendorong pelibatan multi pihak. Serta kerja sama dalam peningkatan kapasitas dengan melibatkan seluruh pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (2) perjanjian BBNJ.
Peran masyarakat sipil, katanya, tak hanya nanti pada saat perjanjian BBNJ telah berlaku tetapi selama proses perundingan, beberapa kelompok masyarakat sudah terlibat. Seperti Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang memberikan perspektif tentang hukum, draf teks proposal, dan lokakarya berkaitan dengan analisis dampak lingkungan (EIA), dan kawasan perlindungan laut (MPA).
Selain itu, ada juga High Seas Alliance (HSA) yang menyelenggarakan lokakarya tentang isu hukum internasional dan kerangka hukum domestik. Keterlibatan mereka juga penting dalam mengawasi dan mengingatkan pemerintah dalam implementasi perjanjian BBNJ.

Ahmad Almaududy Amri, Penasihat Hukum Kementerian Luar Negeri juga menyampaikan, ratifikasi adalah elemen penting dalam konteks peningkatan negara pada perjanjian internasional.
“Tapi elemen yang lebih penting lainnya adalah negara dan seluruh elemennya siap untuk melaksanakan (BBNJ),” kata pria yang menjadi Penasihat Hukum Presiden Majelis Umum PBB Sesi Ke-75 itu.
Pemerintah pun perlu segera mempersiapkan diri bersamaan dengan proses ratifikasi yang sedang berjalan itu. Terutama berkaitan dengan anggaran, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia (SDM).
Arfan Faiz Muhlizi, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkum HAM menyebut, proses ratifikasi akan melalui berbagai tahapan dalam peta jalan meliputi, perencanaan, penetapan, dan pengesahan menjadi perundang-undangan. Pada prosesnya, penggunaan regulasi bisa berbentuk UU atau peraturan presiden.
Dua pilihan itu, akan menjadi payung hukum yang sama-sama kuat bagi pelaksanaan ratifikasi perjanjian BBNJ di Indonesia. Kalau UU, perlu naskah akademis, atau naskah urgensi yang komprehensif untuk perpres.
Selain penentuan pilihan UU atau perpres, Arfan juga mengingatkan beberapa hal penting sebelum meratifikasi Perjanjian BBNJ itu, seperti naskah akademik yang memastikan ratifikasi tidak akan bertentangan dengan kepentingan nasional. Harus juga dilakukan partisipasi publik bermakna (meaningful participation).
Kemudian, perlu pendekatan cost and benefit analysis (CBA), regulatory impact analysis (RIA), serta rule, opportunity, capacity, communication, interest, process dan idiology (ROCCIPI).
“Perlu telaahan mendalam untuk mengetahui kesesuaian antara materi muatan dan jenis peraturan perundang-undangan yang tepat.”

Sumber pangan
Gita Sabharwal, Kepala Perwakilan PBB untuk Indonesia mengatakan, perjanjian BBNJ sangat penting di dunia, karena kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) hingga 25% dari seluruh emisi karbon dunia.
“Ini perjanjian baru yang paling signifikan dalam tata kelola laut dalam beberapa dekade terakhir, yang mencakup dua pertiga lautan dunia,” katanya.
Ekosistem lautan lepas memainkan peran penting dalam menyerap karbon dengan cara menangkap dan menyimpan dalam biomassa tanaman dan sedimen. Karena itu, Indonesia menjadi negara penting dalam perjanjian BBNJ, karena menjadi pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan 8.500 biodiversitas biota laut di dalamnya.
“Apapun yang terjadi di laut lepas akan memengaruhi Indonesia, karena laut merupakan ekosistem yang saling berhubungan. Karena itu, ratifikasi yang cepat menjadi penting.”
Gita menjelaskan, PBB meyakini kalau BBNJ akan berkontribusi dalam memajukan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), target keanekaragaman hayati Kunming-Montreal untuk melindungi 30% laut, dan menggandakan ekonomi biru selama dua dekade ke depan.
Perjanjian BBNJ menggarisbawahi pentingnya saling ketergantungan antara negara maju dan berkembang dalam mengelola sumber daya laut lepas. Inilah pentingnya paya kolaboratif internasional untuk pemanfaatan dan konservasi sumber daya laut yang berkelanjutan.
Bagi Gita, kepemimpinan Indonesia sangat penting mendukung pemanfaatan laut secara inklusif, komprehensif, dengan berpijak pada prinsip kesetaraan agar semua negara mendapatkan manfaat sama.
Menurut dia, banyak stok ikan di laut lepas yang dimiliki bersama oleh beberapa negara. Jadi, pengelolaan berkelanjutan sangat penting untuk memastikan populasi ikan beregenerasi.
“Hingga menjamin mata pencaharian dan sumber pangan bagi generasi mendatang.”

Rumah bagi spesies
Rizza Sacra Dejucos, Asia Regional Coordinator High Seas Alliance menyampaikan, saat ini sudah ada 105 negara menandatangani perjanjian BBNJ, 15 telah melakukan ratifikasi. Khusus di Asia, sudah ada 12 negara menandatangani, dengan empat telah meratifikasi. Keempatnya adalah Bangladesh, Singapura, Timor-Leste, dan Maladewa.
Dia bilang, bagi Asia, perjanjian BBNJ sangat penting karena ada klausul yang spesifik menyebut kawasan ini “rumah bagi spesies yang terancam punah, spesies migrasi, yang memerlukan perlindungan.”
Rizza mengatakan, laut menjadi sumber pangan signifikan di seluruh dunia dan mendukung perekonomian bagi setengah miliar penduduk bumi. Kelestariannya pun harus terjaga.
Brigitta Maria Andrea Gunawan, Pendiri 30×30 Indonesia juga High Seas Alliance Youth Ambassador mengatakan, perjanjian BBNJ bisa berlaku global dengan sedikitnya 60 negara yang meratifikasi.
Karena itu, peran Indonesia sangat dibutuhkan agar perjanjian bisa berjalan secara global. Salah satu caranya, dengan meratifikasi perjanjian BBNJ yang berperan penting untuk mewujudkan 30% wilayah konservasi laut pada 2030.
Inisiatif 30×30 muncul berdasarkan pada penelitian saintifik panel Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menyoroti perlunya perlindungan 30-50% bumi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan mempertahankan fungsi ekosistem.

********
Ratifikasi BBNJ: Langkah Maju Indonesia untuk Lindungi Keanekaragaman Hayati Laut