- Rencana pemerintah untuk memberi prioritas izin tambang kepada perguruan tinggi terus memantik kritik berbagai pihak. Purnawan D. Negara, pakar hukum lingkungan Universitas Widyagama, Malang, menyebut upaya itu sebagai “sesat pikir” yang bersumber dari kekuatan politik dan oligarki.
- Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai, pemberian prioritas tambang pada kampus justru akan menghadirkan ancaman bagi kebebasan akademik, sekaligus perubahan institusi yang memproduksi pengetahuan menjadi lebih pragmatis pada bisnis.
- Zulfatun Mahmudah, praktisi juga pakar pertambangan mengatakan, tambang merupakan bisnis yang berisiko, terutama dari aspek lingkungan dan sosial. Narasi mengelola tambang dapat menekan SPP dan biaya lain sebagai sikap gegabah. Sebagai kumpulan ilmuwan, Forum Rektor membahas wacana ini secara ilmiah.
- Rina Mardiana, dari IPB mengatakan, pemberian prioritas tambang akan menjadikan kampus lebih ramah dan tak lagi mampu memberikan ketenangan kritis. Keseimbangan peran antara pemerintah, pebisnis dan perguruan tinggi juga terancam.
Berbagai kritik terus mengalir menyusul rencana pemerintah memberi prioritas tambang ke gunung dunia lewat revisi UU Pertambangan MIneral dan Batubara . Kebijakan itu sebagai kesesatan berpikir, dan kian menjauhkan kampus dari tradisi ilmiah dengan lebih berorientasi pada bisnis.
Purnawan D. Negara, pakar hukum lingkungan Universitas Widyagama Malang mengatakan, pemberian hak pengelolaan tambang di kampus itu sebagai kesesatan berpikir yang bersumber dari kekuatan politik dan oligarki. Rencana itu bisa memunculkan ‘risiko moral’ dan mendirikan perguruan tinggi (PT) di luar kompetensinya.
“Tidak menjadi pas ketika kampus garang menolak konsesi tambang untuk ormas, justru mendukung konsesi untuk PT. Secara tidak langsung, ini seperti memahami dunia kampus,” kata akademisi yang karib disapa Pupung ini.
Pengelola tambang, katanya, ormas atau PT, pemenang sebenarnya adalah para oligarki. karena industri ekstraktif hasil tambang memerlukan jaringan bisnis yang kuat untuk masuk ke pasar dan mengais keuntungan. “Siapa yang punya akses, ya mereka, para oligarki.”
Dia khawatir, pengelolaan tambang PT akan menjadi preseden buruk dan legitimasi bagi pihak lain untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan. Oleh karena itu, Pupung melihat, langkah pemerintah akan memberikan konsesi penambangan kepada PT sebagai upaya penaklukan atas kekritisan kampus. Sekaligus, siasat pemerintah lepas tanggung jawab terhadap sektor pendidikan.
Menurut dia, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang tidak bisa dicampuradukkan dengan di luar kompetensi mereka, yaitu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Universitas, katanya, seharusnya fokus bagaimana tri dharma PT itu dipertanggungjawabkan kepada publik, di tengah keterpurukan derajat pendidikan. Dia merujuk sejumlah skandal di lingkungan pendidikan yang sempat menyebutkan di belakangan ini, seperti, kasus komersialisasi guru besar, penjualan beli ijazah, jurnal predator, dan lain-lain.
“Kondisi ini, seharusnya menjadikan pemerintah dan universitas fokus pada maksud utama pembentukannya, yaitu, meningkatkan kualitas penelitian, dan tidak mengalihkan sumber daya bagi pengelolaan unit bisnis yang tidak terkait langsung dengan pengembangan ilmu pengetahuan, seperti pertambangan.”
Bisnis pertambangan dapat mendukung perbaikan kualitas pendidikan tinggi, bila penghasilan dari sumber daya ini negara gunakan untuk membiayai kebutuhan peningkatan kualitas PT. Dia bilang, sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan dana yang memadai bagi pendidikan, termasuk PT.
Seharusnya, tanggung jawab ini tidak keluar dalam memberikan konsesi tambang, biarlah kelompok profesional dan kompeten yang mengelola tambang. Kampus, kata Pupung, berperan sebagai pengawas dan pemberi masukan kepada pemerintah dan profesional.
“Dengan demikian, perguruan tinggi tetap menjalankan fungsi yang kritis terhadap kebijakan publik.”
Dia mengambil urgensi dan transparansi atas rencana ini. Terutama karena munculnya rencana pemberian konsesi tambang di gunung -sebagaimana rencana revisi RUU Minerba- itu baru diketahui publik setelah ramai di media sosial. Pupung menyebut, pola pembahasan yang tergesa-gesa dan diam-diam ini terkesan mencurigakan.
“Atas berbagai analisi ini, kami mendesak DPR membatalkan usulan Pasal 51A RUU Minerba dan seluruh pasal yang berpotensi memberikan PT WIUP maupun rezim perizinan lainnya.”

Jalan Sesat
Senada dengan Pupung, penilaian serupa juga datang dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) . KIKA menilai, pemberian prioritas tambang di kampus justru akan menghadirkan ancaman bagi kebebasan akademik, sekaligus mengubah institusi yang memproduksi pengetahuan menjadi lebih pragmatis pada bisnis.
Masduki, wakil Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menilai, rencana pemerintah sebagai kesesatan berpikir. “Ini akan membuat perguruan tinggi terjebak, tak lagi bisa berpikir kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, karena itu harus ditolak,” katanya dalam diskusi bertajuk “Kampus dan Izin Tambang: Pintu Masuk Represi Elit” khir Januari lalu.
Selain Masduki, perwakilan dari berbagai kampus lain juga turut hadir. Ada Rina Mardiana dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Satria Unggul dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM SBY), dan Syukron Salam dari Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Rencana pemberian prioritas tambang untuk kampus ini sempat tercetus dari Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI), Budi Djatmiko pada masa pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2016. Belakangan, wacana itu kembali muncul melalui revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Minerba) oleh DPR.
Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pembahasan RUU mengenai perubahan ketiga atas UU 4/2009 tentang Minerba, di Jakarta, 20 Januari lalu, salah satu isu dalam RUU itu adalah mengutamakan pemberian izin pertambangan (WIUP) untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi.
Usulan pemberian prioritas WIUP kepada perguruan tinggi itu tersemat dalam Pasal 51A. Pada Ayat (1) misal, tertulis, WIUP mineral logam bisa diberikan pada perguruan tinggi secara prioritas . Ayat berikutnya, Pertimbangan pemberian WIUP itu adalah akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B .
Masduki bilang, ada lima poin sesat pikir perguruan tinggi bila menerima konsesi itu. Pertama , keputusan itu akan menjadikan tambang sebagai bisnis yang biasa di kalangan perguruan tinggi. Kedua , mengingkari bisnis inti perguruan tinggi seperti penelitian, publikasi dan pengabdian.
Ketiga , perubahan kampus menjadi institusi sosial ke institusi ekonomi. Keempat , agenda neoliberalisasi, dan k elima , menjadikan hubungan kampus dan industri semakin kabur. “Pola pikir kampus yang selama ini sebagai produsen pengetahuan akan beralih ke korporatisasi, dari institusi sosial ke institusi ekonomi. Padahal kalau ada perusakan lingkungan harusnya (kampus) jadi advokat dari korban.”
Rina Mardiana, perwakilan IPB mengatakan, pemberian prioritas tambang akan menjadikan kampus lebih ramah dan tak lagi mampu memberikan ketenangan kritis. Keseimbangan peran antara pemerintah, pebisnis dan perguruan tinggi juga terancam.
Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa kampus harus menolak pemberian WIUP. Pertama , dampak lingkungan. Tambang, katanya, tidak bisa dianggap sebagai kebutuhan dalam dunia pendidikan.
“Belum ada jejak jejak tambang memproteksi lingkungan atau melindungi manusia, hingga kepercayaan terhadap industri ekstraktif ini merupakan upaya mundur dari semangat memajukan ilmu pengetahuan, inovasi, dan penemuan/invention.”
Kedua , pemberian tambang kepada kampus dengan alasan untuk mengembangkan pendidikan tidak hanya merusak integritas dunia pendidikan, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa. “Ditambah lagi ini bertentangan dengan pencerdasan bangsa. Karena tujuan yang dikemukakan adalah keuntungan, tanpa menghitung biaya sosial maupun biaya lingkungan hidup yang timbul.”
Ketiga , memberikan konsesi tambang itu sebagai bentuk neoliberalisme kampus, fenomena yang jamak terjadi belakangan ini. Indikasinya, kampus lebih berorientasi mencari keuntungan melalui korporatisasi dan kapitalisme kampus dan mengabaikan hal-hal yang lebih substansial dalam pemajuan ilmu pengetahuan.
Keempat , rawan konflik kepentingan. Kampus, kata Rina, tidak akan berhenti kritis tatkala bagian dari civitas akademika yang mengelola tambang. Kelima , membuka peluang penipuan dan korupsi.
Rina mengingatkan, sejak awal, kampus tidak mengelola tambang. Bisnis inti kampus adalah pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang jauh dari tujuan pengelolaan tambang. Mengelola tambang, pada akhirnya akan menjadikan kampus terjebak dan membuat jauh semangat kampus.
Atas berbagai pertimbangan itu, KIKA menuntut kepada pihak terkait untuk:
- Membatalkan pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi karena dampak negatifnya lebih besar daripada dampak positif bagi kampus dan juga lingkungan.
- Mendorong pimpinan perguruan tinggi untuk memikirkan dampak sosial dan lingkungan akibat tambang, termasuk potensi konflik kepentingan dan internal yang akan terjadi.
- Mendorong pemerintah melalui Kemendiktisaintek serta DPR untuk membatalkan pemberian WIUPK kepada kampus dan mengkaji secara mendalam dampak yang akan timbul.
- Masyarakat agar menyaksikan dan menyuarakan agar kampus tetap konsisten menolak segala bentuk konsesi pertambangan yang diberikan.

Masalah Sarat
Zulfatun Mahmudah, praktisi pertambangan menyampaikan wacana memberikan konsesi pertambangan untuk kampus. Dia bilang, tambang adalah bisnis sarat risiko, terutama dari aspek lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, dia mengkritik sikap Wakil Ketua Forum Rektor, Didin Muhafidin yang mendukung wacana memberikan konsesi tambang untuk kampus.
Narasi pemberian konsesi tambang akan dapat menekan SPP dan biaya lain dia nilai sebagai sikap gegabah. “Pernyataannya sekaligus menunjukkan cara berpikir yang hanya didasarkan pada sudut pandang bisnis dan keuntungan semata, tanpa memperhatikan berbagai risiko,” kata Zulfa. Faktanya, tambang adalah bisnis sarat risiko, terutama dari aspek sosial dan lingkungan.
Menurut dia, sebagai kumpulan para ilmuwan, rektor forum seharusnya mengkaji terlebih dahulu setiap permasalahan secara ilmiah. “Pertanyaannya, apakah pemberian konsesi tambang untuk kampus itu sudah dikaji secara ilmiah?”
Dia bilang, pertambangan bukan bisnis yang menghasilkan keuntungan cepat. Alih-alih mengembalikan modal awal saja butuh waktu bertahun-tahun. Ada banyak tahapan yang harus mereka lalui, seperti eksplorasi, konstruksi, produksi dan pemasaran. Untuk penelitian awal dan eksplorasi saja, misal, perlu 5-10 tahun.
Selain itu, bisnis tambang juga memerlukan modal besar. Dia contohkan PT Kaltim Prima Coal (KCP) , harus merogoh hingga US$570 juta untuk memulai konstruksinya. Belum lagi biaya-biaya lain, seperti jaminan reklamasi (jamrek), pajak, royalti, dan bagi hasil, sebagaimana dalam UU Minerba Nomor 4/2009.
Melihat proses yang lama dan biaya besar, Zulfa pun sangsi PT bisa meraih keuntungan dengan cepat. “Pertanyaan dasarnya, darimana PT akan meraih modal awal? Jika kampus menggandeng mitra bisnis dalam menjalankan hak konsesinya, maka PT tak lebih dari sekadar broker yang menjual hak konsesinya kepada pemodal.”
Tambang, menurut Zulfa, merupakan bisnis yang lekat dengan isu sosial dan lingkungan. Sebelum eksplorasi dan produksi, perusahaan tambang akan menghadapi ancaman perlindungan lahan. Pasal 135 UU 4/2009 menyatakan, pemegang eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah . Belum lagi dari sisi lingkungan, yang kerap kali menghadirkan dampak buruk.
Dia bilang, kalau akhirnya kampus menerima pemberian konsesi itu, akan terjadi pembukaan tambang besar-besaran. Itu berarti perusakan dan eksploitasi sumber daya besar-besaran sedang terjadi. “Padahal, sumber daya alam bukan milik generasi saat ini.”
Melihat begitu banyaknya peliknya sektor pertambangan, mulai dari besarnya biaya dan dampak yang akan muncul, Zulfa pun mendorong kalangan untuk berpikir ulang di kampus. “Forum Rektor harus mengkaji, apakah keuntungan yang didapat sebanding dengan risiko yang ada? Jangan sampai kampus kehilangan reputasinya sebagai institusi yang selama ini kritis terhadap upaya pelestarian lingkungan.”
*********
Foto utama: Hutan dan lingkungan rusak akibat penambangan emas ilegal di Aceh Barat. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Akademisi Was-was Wacana Izin Tambang untuk Perguruan Tinggi