- Banjir menggenangi beberapa daerah di Jakarta, Tangerang, Bekasi, maupun Bogor (Jabodetabek), sejak akhir Januari sampai saat ini. Dari pemukiman di pesisir sampai tengah kota bahkan Bandara Cengkareng, Tangerang, Banten, pun tergenang. Pemerintah menyebut, banjir terjadi karena intensitas hujan tinggi. Berbagai kalangan seperti pegiat lingkungan menilai, banjir parah terjadi karena tata ruang buruk hingga pembangunan amburadul, dan dampak krisis iklim.
- Rumah-rumah warga relokasi proyek PIK 2 pun kebanjiran di Kampung Alar Tengah, Desa Kohod, Kabupaten Tangerang Banten.
- Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, sebagian besar banjir di Jabodetabek imbas dari tata ruang buruk. Proyek pembangunan serampangan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan juga jadi penyebab.
- Jeanny Sirait, Juru Kampanye Urban Justice dari Greenpeace Indonesia mengatakan, data Badan Pusat Statistik (BPS), banjir di Jabodetabek meningkat 1-2% dalam 20 tahun.
Banjir menggenangi beberapa daerah di Jakarta, Tangerang, Bekasi, maupun Bogor (Jabodetabek), sejak akhir Januari hingga saat ini. Dari pemukiman di pesisir sampai tengah kota bahkan Bandara Cengkareng, Tangerang, Banten, pun sempat tergenang. Pemerintah menyebut, banjir terjadi karena intensitas hujan tinggi. Berbagai kalangan seperti pegiat lingkungan menilai, banjir parah terjadi karena tata ruang buruk hingga pembangunan amburadul, dan dampak krisis iklim.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 29 Januari 2025, di Jakarta ada 35 RT dan 19 ruas jalan di Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur, alami banjir dengan ketinggian 30-100 sentimeter.
Untuk menanggulangi dampak banjir atau bencana hidrometeorologi basah, pemerintah melakukan upaya modifikasi cuaca.
Michael Sitanggang, Ketua Subkelompok Logistik dan Peralatan BPBD Jakarta mengklaim upaya ini berhasil. Modifikasi cuaca di Jakarta, katanya, mengurangi curah hujan sampai 60%.
Di Tangerang, Banten, banjir sampai mengenangi jalanan bahkan Bandara Cengkareng. Kawasan pesisir Banten pun tak luput dari banjir hujan maupun rob.
Di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, misal. Kawasan pesisir itu ini banjir dengan ketinggian sekitar 100 sentimeter.
Pantauan Mongabay, banjir itu melanda pemukiman dan akses jalan kendaraan. Jalan yang banjir itu masih bisa terakses dengan kendaraan, namun harus berhati-hati. Sejumlah warga terlihat memanfaatkan perahu untuk berlalu-lintas.
Lewat pemantauan pakai drone, terlihat sebagian Desa Kohod terendam air berwarna cokelat. Ada pula yang tak banjir. Aktivitas pembangunan pun terlihat jelas, sebagian Desa Kohod rata dengan tanah dan lalu lalang truk besar karena ada pembangunan.

Ada juga jalan raya beraspal dan papan besar bertuliskan Kota Bagan. Kota Bagan ini merupakan proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
Dalam situs resmi, Kota Bagan atau Kampoeng Bagan PIK 2 bertemakan suasana di kawasan bagan Sumatera Utara. Di lokasi ini, akan ada perumahan dengan nuansa tematik kota bagan modern beserta fasilitasnya. Harga pengembang tawarkan untuk rumah dan ruko di Kampoeng Bagan Rp2,2 miliar-Rp 3,3 miliar.
Berdasarkan denah lokasi, Kampoeng Bagan berada di Desa Kohod. Kota Bagan tidak terkena banjir.
Warga menyebut, selama ada pembangunan itu, desa terkena banjir bisa berhari-hari. Hilir sungai daerah ini di Desa Alar Tengah sudah teruruk, ketika hutan pun mudah banjir,
“Hilir sungai ini dikeruk karena lahan sudah dibeli (pengembang) di Alar Tengah (desa),” kata Deden, nama samaran, Januari lalu.
Deden bilang, banjir kian parah ketika aliran sungai terurug tanah. “Itu sekarang udah jadi jalan (dulu tanah warga),” katanya.
Puluhan warga juga unjuk rasa di Kota Bagan, ketika banjir melanda desa. Mereka mendatangi pekerja dan meminta pengembang membuka kembali akses aliran sungai menuju laut.

Relokasi kebanjiran
Rumah-rumah warga relokasi proyek PIK 2 pun kebanjiran di Kampung Alar Tengah, Desa Kohod.
Ina, bukan nama sebenarnya, alami banjir sampai satu meter. Sebelumnya, dia tinggal di Kampung Tanjung Burung, masih Desa Kohod, tetapi tak pernah kebanjiran.
Rumah Ina beserta keluarga masuk area perluasan PIK 2 jadi Kota Bagan. Dia pun kena relokasi. Di tempat relokasi baru di Kampung Alar Tengah, dia malah kebanjiran.
Rumah-rumah relokasi itu masih tahap pembangunan, belum 100% rampung.
“Ini sebelumnya (tempat relokasi) sawah yang diurug, terus jadi tempat relokasi,” katanya.
Dia bilang, baru saja ingin memindahkan perabotan rumah ke tempat baru, namun sudah kena banjir.
Ina sempat protes ke aparatur Desa Kohod tetapi tak mendapat respon. Nasi sudah menjadi bubur, dia sudah menyerahkan sertifikat rumah dan mendapat ganti rugi bangunan serta menerima relokasi lahan. Dia hanya bisa pasrah.
“Ini banjirnya parah banget. Kami gak papa direlokasi, tapi tolong kasih fasilitas bagus, yang sesuai, yang aman dan tidak banjir.”
Dalam upaya pembebasan lahan, pengembang menerapkan metode relokasi atau tukar guling lahan. Pengembang hanya membeli bangunan warga, lahan tukar dengan yang telah disediakan, tak jauh dari lokasi warga sebelumnya.
“Tapi kita belum dapat sertifikatnya. Jadi lahan yang kita tempatkan sekarang belum ada sertifikatnya, janjinya akan diberikan,” katanya.
Dia pun berharap, pemerintah melihat penderitaan warga ini.“Semoga pemerintah ngeliat nih. Tempat relokasi kami banjir.”
Tak jauh dari lokasi banjir, ada pagar laut yang tengah jadi sorotan publik, berjarak sekitar satu kilometer menuju laut.
Mongabay menghubungi Arsin, Kepala Desa Kohod, namun tak ada respon. Mongabay juga mendatangi rumah Arsin di Kampung Tanjung Burung, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, namun dia tak ada.
Budi Muhdini, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tangerang bilang, banjir karena curah hujan tinggi.
“Karena alur air sungai yang terlalu besar dengan curah hujan tinggi ditambah juga air kiriman air itu bisa keluar,” katanya kepada Mongabay.
Bersamaan dengan itu, sejumlah wilayah di Kabupaten Tangerang juga banjir, seperti pada enam kampung di Kecamatan Pakuhaji, tiga desa di Kecamatan Sepatan, satu desa di Kecamatan Gunung Kaler.
“Mitigasi kita di lapangan kita melatih diri dan anggota keluarga dari masyarakat apabila terjadi banjir dan memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar seperti itu, memberikan edukasi,” katanya.
Begitu pula di Kampung Dadap, Kecamatan Kosambi. Banjir membuat kawasan itu kumuh dan banyak bangunan kosong yang sudah penghuni tinggalkan. Banjir terjadi karena rob dan hujan. Tanggul untuk menghalangi rob tak mampu menahan air laut memasuki pemukiman.

Banjir Jabodetabek
Selain di kawasan pesisir, sejumlah daerah di Kota Tangerang juga banjir. Setidaknya, ada 26 kawasan di 13 kecamatan Kota Tangerang jadi titik rawan banjir.
Untuk mengatasi itu, pemerintah melakukan upaya normalisasi guna memastikan kelancaran aliran air di sejumlah drainase selama hujan deras melanda Kota Tangerang dalam beberapa hari terakhir.
“Kami menemukan banyak saluran air tersumbat sampah. Upaya normalisasi drainase di sejumlah wilayah rawan banjir di Kota Tangerang,” kata Taufik Syahzaeni, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Tangerang dalam keterangan, akhir Januari lalu.
Saat ini, katanya, Pemerintah Kota Tangerang fokus upaya normalisasi drainase di sejumlah titik lokasi yang terindikasi tersumbat volume sampah dalam jumlah besar.
Sedangkan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), terdapat 16 titik rawan banjir. Jumlah ini diklaim menurun bila dibandingkan pada 2024 48 titik rawan banjir. Dalam penanganan banjir, Pemerintah Kota Tangsel bakal lakukan perbaikan drainase, pemasangan long storage dan tandon.
Banjir juga melanda perbatasan Jalan Benda Barat 3 dan Gang Alief di Cipayung, Kota Depok, 1 Februari 2025, dengan ketinggian air sekitar 90 sentimeter.
Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, angin kencang menerjang dua desa di dua kecamatan, Megamendung dan Caringin pada 28 Januari lalu. Sedangkan di Kabupaten Bekasi, 52 wilayah terdampak banjir periode 28 Januari-2 Februari 2025.

Tata ruang buruk dan krisis iklim
Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, sebagian besar banjir di Jabodetabek imbas dari tata ruang buruk. Proyek pembangunan serampangan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan juga jadi penyebab.
Dia contohkan, proyek PIK 2 seperti di Desa Kohod dan Tanjung Burung. Banjir makin parah karena pengurukan tanah hingga lahan pengembang lebih tinggi. Daerah resapan air juga hilang.
Belum lagi, pengembang membuat saluran irigasi bermuara ke irigasi pemukiman warga dan merusak ekosistem mangrove sebagai benteng penghalang abrasi.
“Dulu, sebagian daerah resapan air gitu, tiba-tiba ditimbun, ditinggiin. Ya udah jadi banjir gitu.”
Seharusnya, pemerintah mengambil sikap karena warga menderita. Pengembang, kata Sawung, seharusnya menjamin hak warga lokal untuk hidup nyaman meskipun ada proyek pembangunan. Keadaan yang terjadi malah sebaliknya.
“Pemerintah justru membela pengembang, Membiarkan lahan mangrove dibabat, padahal itu kan seharusnya dilindungi,” katanya.
Ketidaksesuaian tata ruang, kata Sawung, terjadi hampir di seluruh Jabodetabek, apalagi Jakarta. Misal, irigasi berubah jadi pemukiman namun tidak ada kolam retensi sebagai pengganti.
“Perbaikan tata ruang dan tata kolam air di Jabodetabek harus dilakukan.”
Jeanny Sirait, Juru Kampanye Urban Justice dari Greenpeace Indonesia mengatakan, data Badan Pusat Statistik (BPS), banjir di Jabodetabek meningkat 1-2% dalam 20 tahun.
Dia sepakat, klaim pemerintah yang menyebut banjir karena curah hujan ekstrem. Dalam 20 tahun terakhir intensitas hujan juga alami peningkatan. Namun, katanya, perlu ingat bahwa tata ruang dan sistem penyerapan air di Jabodetabek juga buruk.
Dia bilang, sekitar 51,2% banjir di Jakarta karena wilayah serapan minim. “Selama 20 tahun terakhir wilayah serapan di Jabodetabek buruk,” katanya.
Jeanny bilang, intensitas hujan mengalami peningkatan karena krisis iklim yang menyebabkan pemanasan global. Pemanasan global ini terjadi karena aktivitas industri ekstraktif yang berdampak pada kerusakan ekosistem dan lapisan ozon.
Krisis iklim, katanya, berdampak pula pada meningkatnya muka air laut. Tak heran, pesisir di Jabodetabek mengalami abrasi dan banjir rob.
“Jadi, istilahnya, double kill, banjir karena hujan dan banjir karena muka air laut yang naik,” katanya.
Jeanny bilang, upaya modifikasi cuaca pemerintah tak efektif mengurangi intensitas hujan. Modifikasi cuaca, katanya, hanya solusi sementara.
Solusi terbaik mengatasi banjir adalah dengan memperbaiki tata ruang dan melaksanakan pembangunan yang adil. Kemudian, mengatasi krisis iklim dengan transisi energi.

*******
Banjir Bandang Morowali Utara, Lemahnya Pengawasan Tambang Nikel?