- Beruk merupakan satwa yang hidup liar di habitatnya, yaitu hutan Sumatera dan Kalimantan. Menjadikan beruk sebagai peliharaan bukan tindakan bijaksana, karena ada risiko yang harus diterima sang pemilik, warga sekitar, serta satwa itu sendiri.
- Berbeda dengan kucing atau anjing yang mengalami domestikasi selama ribuan tahun, primata bernama latin Macaca nemestrina ini tidak mempunyai sejarah evolusi yang membuatnya cocok sebagai hewan peliharaan. Beruk memiliki kebutuhan sosial dan lingkungan kompleks yang sulit dipenuhi jika bukan di habitat alaminya, hutan.
- Penyakit zoonosis yang bisa menular antara manusia dan hewan, merupakan isu kesehatan yang sering diabaikan masyarakat. Konsep penularan penyakit manusia dan satwa liar, seperti beruk dan monyet ekor panjang, adalah fenomena dua arah. Artinya, dapat berpindah dari manusia ke satwa, dan sebaliknya. Beberapa penyakit yang biasa terdeteksi pada satwa liar, terutama primata, sangat berpotensi menyebar ke manusia, seperti tuberkulosis (TBC).
- Banyak beruk dan monyet ekor panjang yang diselamatkan adalah bayi yang diperjualbelikan di pasar-pasar ilegal di Indonesia.
Anda masih ingat kasus beruk yang berkeliaran di Citra Maja City, Kabupaten Lebak, Banten, akhir Januari 2025 lalu?
Satwa yang bukan endemik Pulau Jawa ini telah dievakuasi pihak BBKSDA Jabar-Banten.
Tuwuh Rahardianto Laban, Kepala Resort Konservasi Wilayah III Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar-Banten mengatakan, dua individu tersebut dirawat di kandang sementara. Ini dilakukan, untuk memudahkan pengobatan terhadap cedera parah yang dialami satu individu di bagian pantatnya.
“Tujuannya, perawatan maksimal dapat dilakukan,” ujarnya, Jum’at (7/2/2025).
Setelah kondisi membaik, keduanya akan dipindahkan ke kandang rehabilitasi lebih besar. Di sini, akan diberikan vaksin rabies, tuberkulosis, dan hepatitis yang dilakukan bertahap.
“Setelah beruk mendapat perawatan cukup, langkah selanjutnya adalah dikembalikan ke alam liar,” jelasnya.
Baca: Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita

Beruk bukan hewan peliharaan
Beruk merupakan satwa yang hidup liar di habitatnya, hutan Sumatera dan Kalimantan. Menjadikan beruk sebagai peliharaan bukan tindakan bijaksana, karena ada risiko yang harus diterima sang pemilik, warga sekitar, satwa itu sendiri, dan lingkungan.
Puji Rianti, peneliti dan dosen dari Departemen Biologi, IPB University, serta anggota Pusat Studi Satwa Primata menjelaskan gamblang persoalan ini. Berbeda dengan kucing atau anjing yang mengalami domestikasi selama ribuan tahun, primata bernama latin Macaca nemestrina ini tidak mempunyai sejarah evolusi yang membuatnya cocok sebagai hewan peliharaan.
“Mereka memiliki kebutuhan sosial dan lingkungan kompleks yang sulit dipenuhi, jika hidupnya tidak di hutan,” jelasnya, Selasa (4/2/2025).
Memelihara beruk tanpa memahami perilaku dan kebutuhannya, dapat menyebabkan setres. Saat terancam, beruk akan menggigit atau mencakar sang pemilik atau orang di sekitar yang berpotensi menyebabkan rabies.
Selain itu, memelihara beruk juga dapat membahayakan kesehatan manusia. Beruk bisa membawa penyakit zoonosis, yang menular ke manusia, seperti herpes B dan tuberkulosis.
“Ini alasan utama mengapa memelihara primata tidak direkomendasikan.”
Baca: Jangan Konsumsi Satwa Liar, Ini Dampaknya Bagi Kesehatan dan Lingkungan

Beruk itu primata sosial
Puji menyoroti praktik yang sering terjadi ketika pemiliknya tidak lagi mampu merawat beruk yaitu melepasnya ke alam. Namun, ini menimbulkan masalah baru.
“Beruk peliharaan cenderung kehilangan kemampuan mencari makan dan menghindar predator. Bila dilepaskan tanpa persiapan, kemungkinan bertahan di alam sangat kecil. Kekhawatiran lain adalah beruk itu kembali ke pemukiman mencari makan, karena tidak takut manusia.”
Puji melanjutkan, memelihara beruk dan satwa liar memiliki implikasi hukum. Di Indonesia, undang-undang perlindungan satwa liar melarang penangkaran dan perdagangan tanpa izin.
“Jika seseorang sudah memelihara, harus bertanggung jawab penuh dan memastikan kesehatannya, sesuai standar kesejahteraan hewan,” tuturnya.
Meski demikian, Puji meminta masyarakat tidak memelihara beruk. Berdasarkan karateristiknya, beruk merupakan primata sosial yang hidup berkelompok dengan jumlah anggota 10-20 individu. Dalam ekosistem alami, mereka berperan menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk menebar biji tumbuhan di hutan tropis.
“Menghilangkan satu individu dari habitatnya, berarti mempengaruhi dinamika sosial kelompok beruk, serta mengurangi evektifitas menjalankan fungsi ekologis,” paparnya.
Baca: Rabies hingga Cacar Monyet, Penyakit yang Mewabah di Planet Bumi

Kesehatan yang diabaikan masyarakat
Wendi Prameswari, Senior Programme Office Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), menjelaskan bahwa penyakit zoonosis yang bisa menular antara manusia dan hewan, merupakan isu kesehatan yang sering diabaikan masyarakat.
Konsep penularan penyakit manusia dan satwa liar, seperti beruk dan monyet ekor panjang, adalah fenomena dua arah. Artinya, dapat berpindah dari manusia ke satwa, dan sebaliknya.
“Beberapa penyakit yang biasa terdeteksi pada satwa liar, terutama primata, sangat berpotensi menyebar ke manusia, seperti tuberkulosis (TBC),” jelasnya, Sabtu (8/2/2025).
TBC pada primata, seperti pada monyet maupun beruk dapat menyebar melalui batuk atau ludah, yang kemudian menyebar ke kelompok mereka. Sifat berkelompok satwa, menjadi faktor risiko tinggi penularan penyakit.
Penyakit lain adalah infeksi herpes.
“Ini virus yang mudah menyebar melalui kontak dekat manusia dengan primata.”
Infestasi cacing, menurut Wendi, juga menjadi ancaman. Dalam banyak kasus, beruk maupun monyet ekor panjang yang ditangkap di alam sering membawa parasit, seperti cacing yang dapat berpindah ke manusia jika mereka memeliharanya.
Penyakit lain adalah malaria, khususnya Plasmodium knowlesi. Jenis ini ada di berbagai negara, sedangkan di Indonesia ditemukan di Aceh, pada monyet ekor panjang.
“Sejauh ini belum ada obatnya. Penyebarannya diperparah akibat rusaknya habitat satwa yang menyebabkan mereka berinteraksi lebih dekat dengan manusia dan nyamuk pembawa penyakit.”
Terkait rabies, sebut Wendi, di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Utara dan Kalimantan Barat, belum terbebas, sehingga interaksi dengan beruk sangat berisiko.
“Sebaiknya, beruk dan monyet tetap di alam. Jangan dipelihara.”
Baca juga: Cacar Monyet dan Darurat Kesehatan Global

Perdagangan beruk masih terjadi
Femke Den Has, pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mengungkapkan pihaknya telah mengembalikan 10 individu beruk korban perdagangan ilegal ke asalnya. Penyelamatan juga dilakukan pada monyet ekor panjang.
Dari catatannya, sejak 2018 jumlah satwa yang diselamatkan hampir setiap bulan. Pelepasliaran ke alam liar, menjadi kendala karena sebagian besar berasal dari luar Pulau Jawa.
“Banyak beruk dan monyet ekor panjang yang diselamatkan adalah bayi yang diperjualbelikan di pasar-pasar ilegal,” jelasnya, Jum’at (7/2/2025).
Sebagai upaya menghentikan perdagangan beruk dan monyet ekor panjang, JAAN telah memasang papan peringatan di berbagai pasar hewan di Bali.
“Kami berencana memperluasnya ke wilayah lain,” tandasnya.
Bukan Satwa Endemik Pulau Jawa, Beruk Berkeliaran di Perumahan Warga Banten