- Suasana di Rempang terus bergejolak di tengah upaya pemerintah pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto melambangkan program mengenang Jokowi tersebut. Baru -baru ini, tiga warga Rempang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi atas dugaan perampasan kemerdekaan.
- Berbagai pihak mengecam langkah polisi itu. Tim Solidaritas Nasiona untuk Rempang menilai penetapan itu sebagai upaya untuk membungkam suara warga yang menolak PSN Rempang Eco City.
- Polresta Barelang, Batam menggelar silaturrahim dengan sejumlah organisasi untuk mencari dukungan terkait PSN Rempang Eco City. Kegiatan ini menuai protes karena diduga mencatat nama sejumlah organisasi adat Melayu.
- Tim Solidaritas mendesak pemerintah membatalkan PSN Rempang dan meminta perusahaan angkat kaki dari Rempang. Alasannya, sejak hadirnya proyek ini, ketenangan hidup warga Rempang menjadi terusik.
Konflik warga Rempang dengan pengembang Rempang Eco City, di Batam, Kepulauan Riau, kian meruncing. Polresta Barelang, Kota Batam, menetapkan tiga warga penolak proyek strategis nasional (PSN) sebagai tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 333 KUHP karena merampas kemerdekaan orang lain, 18 Januari lalu. Siti Hawa atau Nenek Awe, 67 tahun, salah satu tersangka selain Sani Rio (37) dan Abu Bakar alias Pak Aceh (54).
“Nenek dianggap merampas kemerdekaan, nenek sebenarnya tidak menerimanya. Kami bingung juge, apa yang kami rampas, ape salah nenek, nenek tak ngapa-ngapain ,” katanya, usai peringatan Isra Mi’raj dan orasi penerimaan Eco Rempang City di Kampung Sembulang Pasir Merah, 30 Januari 2025.
Penetapan tersangka itu berawal dari perusakan spanduk protes PSN Rempang Eco City oleh petugas PT Makmur Elok Graha (MEG), anak usaha Artha Graha, selaku pengembang proyek seluas 17.000 hektar itu. Warga kemudian mengamankan pekerja perusahaan untuk bawa ke polisi.
Pada waktu hampir bersamaan, sekelompok orang– belakangan ternyata– petugas MEG menyerang warga . Buntutnya, delapan warga Rempang terluka, tiga posko perjuangan penolakan PSN hancur, dan belasan kendaraan warga rusak. Dua petugas MEGjadi tersangka, yaitu RH (28) dan AS (24).
Perusahaan pun tak tinggal diam. Mereka melaporkan balik warga atas tuduhan merampas kemerdekaan karena menahan petugas yang diduga merusak spanduk perjuangan warga. Pelaporan inilah berujung penentuan tersangka Nenek Awe dan dua warga lainnya.

Tuai kecaman
Nenek Awe Cs jadi tersangka menuai kecaman berbagai pihak. Edi Kurniawan, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, penetapan tersangka mereka terkesan dipaksakan. “Motifnya jelas, untuk memberi tekanan pada perlawanan warga penolak PSN Rempang Ecocity. Seharusnya, polisi memburu semua pelaku penyerangan itu,”katanya.
Awe yang keras menolak proyek ini sangat berpeluang menjadi sasaran serangan balik (kriminalisasi) dari pihak yang berseberangan. Untuk membungkamnya, dengan menjebloskan ke penjara melalui jeratan pasal KUHP. “Dilihat dari segi perbuatan, unsur pasal, dan motifnya, ini sangat dipaksakan, kental nuansa kriminalisasinya.”
Awe merupakan warga asli Pulau Rempang yang sejak awal menolak proyek peninggalan Presiden Joko Widodo ini. Kendati usia tak lagi muda, dian tetap kuat tak menyerahkan tanah kepada perusahaan atau pemerintah. “Seperti apapun intimidasi yang nenek dapatkan, saya akan mempertahankan kampung ini. Nenek tetap menolak, itu prinsip nenek,” katanya.
Awe terima surat polisi pada 18 Januari 2025. Dia sempat menolak surat itu dan meminta serahkan kepada kuasa hukum. Supriardoyo Simanjuntak, dari LBH Mawar Saron Kota Batam, mempertanyakan, alasan polisi menetapkan tiga warga Rempang jadi tersangka.
Dia minta, Polresta Barelang menyelidiki, terutama informasi terkait barang bukti yang menjadi dasar polisi menetapkan tersangka. “Jerat perampasan kemerdekaan itu sangat janggal. Bagaimana dengan kemerdekaan warga untuk mempertahankan tanah kelahiran yang dirampas?”
Kecaman juga datang dari Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang. Syamsul Agus Alam dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai, penetapan tersangka itu bukan untuk menegakkan hukum. “Lebih untuk membungkam perjuangan masyarakat Pulau Rempang dalam mempertahankan ruang hidupnya. Ini jelas kriminalisasi.”
Tim Solidaritas mengeluarkan catatan atas persoalan ini. Antara lain, meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan PSN Rempang, meminta kapolri segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang menghentikan proses hukum tiga warga Rempang. Juga, meminta penggunaan militer oleh BP Batam, hingga meminta MEG keluar dari Pulau Rempang agar masyarakat merasa aman dan damai.

Polisi harus profesional
Di tengah polemik buntut penetapan tiga tersangka warga Rempang, Polresta Barelang menggelar audiensi dan silaturahmi dengan beberapa organisasi masyarakat Melayu, 31 Januari lalu. Audiensi membahas perkembangan penanganan kasus penyerangan terhadap warga itu.
Kegiatan ini pun memantik protes karena diduga mencatut nama Lembaga Adat Melayu (LAM) Batam dan beberapa ormas Melayu lain untuk mendukung PSN. “Kami membantah hadir dalam acara itu, kami keberatan dan menyayangkan Polresta tidak profesional. Seharusnya sesuai fakta. Faktanya kami tidak hadir,” kata YM. H. Raja Muhamad Amin, Ketua Umum LAM Kepri Kota Batam kepada Mongabay.
Dia berdiri bersama warga Rempang menolak PSN Eco City. Dia juga meminta PSN ini batal. “Logikanya, PSN itu harusnya memberikan kemaslahatan, bukan merugikan masyarakat.”
LAM juga mendesak polisi cabut status tersangka kepada ketiga orang warga Rempang. Dia bilang, penetapan tersangka itu hanya cara untuk menekan warga yang menolak PSN.
Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB) juga meradang karena kena catut dalam siaran pers Polresta Barelang. Ishaka, Ketua Amar GB menegaskan, tidak menghadiri acara itu. “Pencatutan itu merugikan Amar GB, karena mayoritas masyarakat Pulau Rempang berjuang menolak penggusuran untuk PSN Rempang Eco City,” katanya.

Pemeriksaan perdana
Polisi terus jalan pemeriksaan tiga warga yang jadi tersangka Kamis (6/2/25). Dengan dampingan penasihat hukum dan puluhan warga, ketiga tersangka mendatangi Mapolresta Barelang. Proses pemeriksaan berlangsung tiga jam.
Sorotan media pun banyak tertuju pada sosok Nenek Awe yang sejak awal getol menolak proyek ini. Mengenakan baju dan kerudung warna hitam, Awe menegaskan, dia bukan pelaku kriminal. Apa yang dia lakukan semata mempertahankan kampung halaman dari penggusuran atas nama PSN.
“Nenek tetap semangat, tetap sehat, nenek tetap perjuangkan, sampai titik darah penghabisan,” katanya sembari berjalan masuk ke ruang pemeriksaan. Kehadiran warga turut memberikan dukungan di halaman Mapolresta.
Dia panggilan memenuhi polisi sebagai tanggung jawab sebagai warga negara. Dia meminta, dukungan warga Melayu agar kuat melanjutkan perjuangan. ” Dimane-dimane Melayu sekarang ini, nenek minta dukungan.”
Ajun Komisaris Debby Tri Andrestian, Kasat Reskrim Polresta Barelang membeberkan, alasan penetapan tiga warga Rempang sebagai tersangka. Berdasarkan bukti rekaman video, ketiganya diduga menahan petugas MEG yang sebelumnya diduga merusak penandatanganan permintaan relokasi warga.
“Kenapa kami menerapkan pasal itu, karena ada tindakan dari tersangka ketiga untuk tindakan penghalangan terhadap seseorang yang tidak berdaya. Hingga mempengaruhi warga lain dan korban tidak bisa tertolong dengan cepat,” ujar Debby usai pemeriksaan.
Dia mengambil kronologi awal ‘setelah warga mengejar karyawan MEG, lalu dibawa ke balai. “Saat itu, polisi mendapat laporan ada yang menahan warga di balai, terbaring, kakinya diikat. Polisi kemudian ke lokasi dan mencoba bernegosiasi dengan warga, tapi dihalangi ketiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka ini,” katanya.
Supriardoyo Simanjuntak, Anggota Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang, mengatakan, warga menepis pernyataan itu. Menurut dia, yang dilakukan warga hanya mengamankan, sekaligus ingin mendapat kepastian dari polisi perihal tindak lanjut dari kasus perusakan spanduk oleh pekerja perusahaan itu.
Supandi, anggota tim solidaritas yang lain, mengatakan, Pasal 333 KUHP ini multitafsir. Menurut dia, warga nahan petugas MEG di tempat terbuka. Ada juga polisi di lokasi saat itu. “Sebenarnya tidak ada yang dirampas, warga hanya memastikan pelaku benar ditindaklanjuti polisi.”
Sopandi katakan, saat itu masyarakat bertanya-tanya upaya polisi terhadap aksi perusakan spanduk warga oleh petugas. “Selain itu, warga ketiga ini hanya dua jam di lokasi kejadian. Kami rasa sangkaan perampasan kebahagiaan itu belum terpenuhi.”
Selain pendampingan hukum, Tim Solidaritas meminta Kompolnas dan Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada ketiga warga Rempang yang jadi tersangka. “Saya meminta polisi transparan.”
*********
Warga Pulau Rempang Terus Melawan, Selamatkan Laut dari Investasi Jahat