“Jangan sampai Walhi hilang di tengah keramaian orang dan zaman yang lebih canggih. Walhi harus jadi pembuat laporan yang paling unggul dibanding yang lain dengan memotret seluruh Indonesia.” (Nur ‘Yaya’ Hidayati, 14 Agustus 1973-5 November 2024)
Saya menyesal tak bertemu Yaya, panggilan akrab Nur Hidayati, lebih sering. Terakhir, kali kami bertemu 18 hari sebelum sahabat saya ini tutup usia 5 November lalu. Hari ini, tepat 100 hari kepergian Yaya.
Yaya kena diagnosa kanker pada 2022, satu setengah tahun lalu. Obrolan kami pada Jumat terakhir itu seputar Pemerintahan Prabowo, food estate di Merauke, dan hal-hal politik negara ini yang membuat kami geram.
Sejak selesai menjadi Direktur Eksekutif Walhi pada 2021, Yaya bergabung dengan kolaborasi filantropi berfokus pada isu hutan, lahan berkelanjutan, dan masyarakat adat. Alasan Yaya, sejak 25 tahun terakhir selalu mengkampanyekan keadilan lingkungan, bersama Walhi dan Greenpeace. Dia merasa sekarang saatnya bergerak mendukung gerakan masyarakat sipil dari balik layar.
Dia juga sempat mampir ke Jayapura dan Manokwari. Kami membahas bagaimana aktivis muda Papua perlu dapat dorongan untuk memantau pembalakan liar (illegal logging), yang gerakannya mulai tak terdengar.
Bagi saya, Yaya adalah sosok aktivis lingkungan radikal–dengan caranya yang rendah hati, namun galak dan selalu berintegritas. Saya mengenal Yaya dari Mbak Nunung, kakaknya, lebih dulu terjun sebagai pengacara hak-hak perempuan, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan senior.
Saat itu, saya sedang berguru di kantor Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan yang Mbak Nunung kelola. “Yaya, lo gak mau bergabung sama Walhi? Elo kan ahli lingkungan dari ITB. Dibutuhkan banget sama Walhi!”
Sambil nyengir Yaya menjawab. “Gak deh, Mbak. Udah cukup kakak gue aja yang jadi aktivis.”
Lupa bertanya bagaimana kisahnya, akhirnya pada 1997 dia bergabung dengan Walhi. Kami jadi satu tim. Yaya di urusan lingkungan dan saya urusan hukum/pengadilan. Kami masih sama-sama muda. Semangat berapi-api. Sering kami bersama menghadapi berbagai kasus, termasuk hadir di sidang-sidang dampak lingkungan, menghadapi banyak perusahaan ekstraktif pada masa itu.
Dia jadi Direktur Eksekutif Nasional Walhi periode 2016-2021.
Yaya sangat sistematis menyampaikan kritik. Dia runtun membedah gagasan sulit. Tak pernah kekurangan ide-ide segar dalam tulisan atau percakapan publik, termasuk forum internasional. Yaya juga cermat membedakan posisi Walhi pada masa Orde Baru yang galak mengkritik versus tuntutan pascareformasi agar Walhi juga menghadirkan solusi.
Kalau Walhi mencetuskan sesuatu, Yaya ingin pastikan konsepnya matang karena mendapat masukan dari berbagai daerah. Kekuatan di daerah itulah yang menjadi kekuatan Walhi untuk memotret Indonesia. “Kalau Walhi hanya teriak-teriak saja, itu menurunkan kredibilitas Walhi di mata publik,” katanya.

Keyakinan teguh
Yang Yaya inginkan adalah mendorong advokasi berbasis riset–meminjam istilah Arimbi Heroepoetri, senior kami di Walhi. Yaya ingin menjadikan Walhi sebagai pusat pengetahuan, Walhi daerah giat menulis dan menghasilkan laporan komprehensif yang didukung akademisi, menghasilkan konsep bagus dan implementasi yang berhasil di lapangan.
Ini senada dengan ucapan Leonard Simanjuntak, Greenpeace Country Director for Indonesia, dalam malam kenangan untuk Yaya yang digelar pada 7 November 2024 di Kantor Walhi Nasional, Jakarta. Dia bilang, Yaya menginginkan gerakan lingkungan sejajar dengan akademisi lingkungan.
Yaya mau Walhi punya kapasitas riset, kajian, dan analisis. Walhi harus punya lembaga kajian. Walhi Institute harus terwujud. Mengutip Yaya, akumulasi pengetahuan Walhi sangat banyak selama 40 tahun terakhir. Itu semua berbasis pengalaman di tapak.
Keyakinan Yaya terhadap kekuatan advokasi Walhi bisa jadi 1.000%. Realita sering membuatnya kecewa. Yaya ingat ketika Walhi membuat riset dengan Kemitraan pada 2016/2017 di beberapa provinsi, di seluruh wilayah moratorium di seluruh Indonesia. Hasilnya, Walhi bawa dialog dengan pemerintah.
Saat itu, Walhi mencetuskan istilah moratorium logging di tingkat industrial. Hal ini terus mereka suarakan sampai istilah moratorium “dipinjam” di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Yaya marah ketika ternyata yang pemerintah cuma judulnya, jadi moratorium izin baru di hutan alam dan gambut. Apakah hutan tidak ditebang? “Hutan ditebang jalan terus. Ada 12 juta hutan ditebang saat moratorium itu.” Suara Yaya bergetar.
Di luar hutan yang terbabat itu, menurut Yaya, ada modus-modus lapangan didengan hutannya kena rusak dulu, baru izin keluar. Ada orang yang dibayar menebang dan membakar hutan-hutan yang mau dibuka. Ketika setiap tahun evaluasi apakah masih hutan asli, wilayah itu sudah jadi hutan alam sekunder. Akhirnya, kementerian melepas dari status kawasan hutan.
Modusnya, seperti ini dan setiap tahun kawasan hutan makin turun. “Wilayah yang tahun ini masih hutan, tahun depan sudah bukan hutan lagi,” katanya sedih.
Di situlah, Yaya menambahkan, peran Eksekutif Nasional Walhi untuk melihat polanya. Fungsi badan eksekutif nasional adalah mengkonsolidasikan dan menunjukkan bahwa kasus yang terjadi adalah sesuatu yang sistematis. Bukan kasuistis. Ada pola destruktif di banyak tempat. Walhi tidak luput perhatian atas persoalan itu.
Sisi lain, Walhi harus bisa menunjukkan cara penanganan dan solusinya. Yaya contohkan di Desa Sungai Tohor, Riau, terjadi perubahan struktur penguasaan. Setelah masyarakat melaporkan bahwa perusahaan membakar lahan, kementerian mencabut izin korporasi lahan itu dan memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam bentuk izin perhutanan sosial.
Yaya tahu izin itu tidak ideal karena belum hak milik. Setidaknya, akses pengelolaan kepada masyarakat dan tak terjadi kebakaran.
“Pokoknya harus ada pengurangan wilayah penguasaan korporasi. Rebut saja dulu, yang penting ada akses. Amankan dulu masyarakat, minimal 35 tahun. Tidak ada konflik lagi. Tidak ada yang dikriminalisasi.” Begitu kata Yaya.
Setelah izin pengelolaan di tangan, berikutnya bagi Walhi mengadvokasi pelestarian lingkungan hidup. Walhi, misal, tak bisa mendukung masyarakat menanam kentang di lereng. Walhi harus mengadvokasi, kalau di lereng, tanamlah pohon agar tak menyebabkan bencana. Kemudian, Walhi juga bicara tentang daerah penyangga, sumber air, ekosistem di sekitar. Itu semua satu kesatuan hidup.
“Jadi, Walhi bukan hanya bicara soal salah mengelola gambut. Tapi Walhi harus bisa tunjukkan yang baik itu seperti ini. Kita harus punya contoh konkret yang bisa ditunjukkan,” kata Yaya.

Narasi ekonomi, solusi masyarakat
Yaya ingin Walhi tak hanya bersuara kencang juga menawarkan solusi, narasi alternatif tentang ekonomi masyarakat sebagai cara memastikan narasi Walhi tetap relevan. Yaya ingin Walhi makin mengembangkan konsep ekonomi, dengan masyarakat hidup dari berbagai inisiatif ekonomi yang diatur masyarakat di dalam aturan adat.
Walhi menyebut, sebagai ekonomi nusantara, atau ekonomi adat. Di situ, ada aspek pemulihan untuk mengoreksi apa saja yang berjalan keliru sebelumnya.
Yaya mengutip pengalaman eksekutif daerah ketika beberapa tahun terakhir membuat kajian pengelolaan gambut dan ekonomi nusantara, mereka memotret perspektif wilayah kelola rakyat (WKR).
Ada empat pilar WKR, yakni, tata kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi. Asal muasalnya dari konsep sistem hutan kerakyatan (SHK) yang Walhi tawarkan sejak 1990-an, sebagai alternatif memuncaknya pemberian izin hutan untuk korporasi secara masif saat itu.
Dalam wawancara pada 2019, Yaya nyatakan konsep ini menjadi laboratorium yang harus Walhi perdalam. “Walhi unggul bicara advokasi, pemetaan, hak masyarakat. Tapi mengurus produksi, konsumsi, sampai distribusi, Walhi belum ahli. Di sini perlu koperasi,” katanya.
Sudah tentu, koperasi yang Yaya maksud bukan koperasi simpan pinjam tetapi koperasi produksi yang berhubungan dengan petani. Nanti, koperasilah yang memasarkan produk. Jadi, Walhi tidak hanya mendampingi masyarakat saat demo, juga proses pemberdayaan ekonomi, pembuatan produk, dan lain-lain demi mendukung kesejahteraan mereka.
Siapa tahu melalui koperasi, cita-cita ideal bahwa Walhi independen dalam pendanaan bisa terwujud termasuk cita-cita pendanaan berbasis regional, bukan isu.

Penguatan internal Walhi
Untuk mewujudkan Walhi yang kuat, Yaya tahu perlu mendorong penguatan sistem manajemen yang inovatif. Menurut dia, Walhi wajib memperbaiki sistem di dalam tubuh organisasi, mulai dari pengelolaan manajemen sumber daya secara serius. Ini berarti pendidikan kepemimpinan, peningkatan kapasitas ideologis, peningkatan kapasitas manajemen serta tata kelola administrasi, sampai pelatihan dan pengkaderan bagi pengurus nasional dan daerah.
“Aktivis yang ingin jadi pengurus daerah dan bagian dari struktur eksekutif harus melalui pendidikan kepemimpinan Walhi.”
Pendidikan untuk mereka di luar struktur, kata Yaya, juga harus dipersiapkan, seperti mahasiswa, anak sekolah, dan publik. Semua itu, perlu mentor di masing-masing daerah, punya kurikulum, bacaan, dan tiap daerah bisa melakukannya mandiri.
Yaya juga menginginkan konsolidasi antara Sarekat Hijau Indonesia yang kemudian melahirkan Partai Hijau Indonesia (PHI). Walhi mempersilakan PHI membangun struktur partai bersama Walhi di daerah. Semua itu, bisa jadi tempat bagi mereka yang selesai dari pengurusan eksekutif. “Mereka adalah manusia Walhi. Yang telah dibesarkan dan membesarkan Walhi. Mereka jangan sampai keluar,” kata Yaya.
Yaya dan saya punya banyak kesamaan lingkaran pertemanan. Termasuk lingkaran nongkrong, gosip receh, makan, jalan-jalan, hingga karaoke. Ecosisters, salah satunya. Yaya selalu menyempatkan diri hadir. Terakhir, Yaya punya lingkaran baru naik gunung dan jogging.
Yaya sosok yang keras tetapi kalau nonton film sedih, dia yang paling mellow duluan. Saya masih menonton, di samping saya tiba-tiba ada yang sudah terisak-isak. Yaya sangat kuat empatinya, hati lembut dan mudah terharu.
Itulah Yaya. Seorang yang aktif berkarya hingga akhir hayatnya.
Love you always, dear Yaya!
Rest in power!
Penulis: Julia Kalmirah, dari World Research Institute.
*****