- Kementerian Kehutanan mencabut 18 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) baru-baru ini. Berbagai organisasi masyarakat sipil pesismis, langkah ini dapat memperbaiki tata kelola bahkan cenderung percuma kalau lahan hanya beralih ke perusahaan lain.
- Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut pemerintah keliru dan tidak menunjukkan resolusi konflik agraria. Menurutnya, tidak ada motivasi perlindungan sumber daya alam yang ditunjukkan pemerintah kalau memberikan lahan yang izin PBPH-nya dicabut pada korporasi lain.
- Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, khawatir terhadap kemungkinan pemberian izin PBPH baru di lokasi yang izinnya dicabut. Ia curiga, lahan-lahan ini akan dibebani izin melalui skema 20 juta hektar hutan cadangan pangan dan energi.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memperkirakan wilayah eks-izin PBPH kemungkinan besar tidak akan diberikan kepada masyarakat adat atau komunitas lokal yang telah lama tinggal di kawasan hutan.
Kementerian Kehutanan mencabut 18 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) baru-baru ini. Berbagai organisasi masyarakat sipil pesismis, langkah ini dapat memperbaiki tata kelola bahkan cenderung percuma kalau lahan hanya beralih ke perusahaan lain.
Sebelumnya, Krisdianto, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan (Kemenhut), dalam siaran pers yang rilis dalam laman resmi kementerian itu, menyatakan, akan menelaah kondisi tutupan lahan, potensi hasil hutan/jasa lingkungan, kondisi topografi, keberadaan masyarakat sekitar dan aksesibilitas areal.
“Berdasarkan hasil penelaahan maka areal dimaksud dapat teralokasi kembali untuk pemberian PBPH, untuk pemanfaatan, penggunaan lain dan atau kebijakan yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), mengatakan, keliru dan bukan bagian dari resolusi konflik agraria. Menurut dia, tak ada motivasi perlindungan sumber daya alam yang pemerintah tunjukkan.
Hal itu, katanya, justru mencerminkan lemahnya orientasi pengelolaan dan pengurusan hutan.
“Ini menunjukkan, pendekatan yang diambil oleh pemerintah belum mengalami perubahan signifikan sejak pemberlakuan UU Kehutanan pada tahun 1999 hingga saat ini,” kata Anggi.
Seharusnya, pemerintah melakukan moratorium penerbitan izin baru untuk kawasan eks PBPH yang dicabut. Langkah ini penting supaya negara tidak terjebak dalam siklus yang sama.
Menurut dia, moratorium bisa mencegah negara memberikan izin serampangan. Yang berdampak pada lingkungan keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Dengan ada moratorium, pemerintah dapat lebih berhati-hati dalam memberikan izin baru, serta memberi ruang bagi evaluasi mendalam tentang bagaimana kawasan-kawasan tersebut seharusnya dikelola untuk keberlanjutan jangka panjang.”
Kemenhut, katanya, harus melakukan audit komprehensif setiap perusahaan yang beroperasi dan dampak yang mereka timbulkan. Langkah ini, katanya, perlu mereka ambil untuk memberikan gambaran menyeluruh kondisi sebenarnya di lapangan.
Anggi bilang, hasil audit objektif akan membantu Kemenhut menentukan langkah pemanfaatan kawasan hutan setelah pencabutan izin. Juga, memastikan pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan tidak hanya segelintir pihak.
Dia mengingatkan, pencabutan izin tidak boleh untuk meraup keuntungan besar dari kawasan hutan. Salah satunya dengan memberikan konsesi baru pada perusahaan yang tidak memiliki kapasitas operasional dan tanggung jawab.
“Hal itu akan memperburuk kondisi lingkungan dan memperpanjang ketergantungan pada praktik eksploitasi merusak. Karena itu, kebijakan yang lebih hati-hati dan terencana harus diambil untuk menghindari hal tersebut.”
Dia juga menyinggung soal revisi Undang-undang (UU) Kehutanan yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2025. Dia berharap, revisi ini mampu menjawab masalah yang selama ini menghambat pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk masalah agraria.
“Pemerintah harus memastikan Undang-undang baru bisa mendorong sistem pengelolaan hutan yang lebih transparan, akuntabel, dan lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan serta kepentingan masyarakat yang bergantung pada hutan.”

Kepentingan terselubung?
Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, khawatir, terhadap kemungkinan pemberian izin PBPH baru di eks konsesi 18 perusahaan itu. Dia curiga, lahan-lahan ini akan tetap terbebani izin untuk skema 20 juta hektar hutan cadangan pangan dan energi.
“Hal ini menciptakan peluang bagi korporasi besar untuk mengambil keuntungan dari kawasan hutan yang seharusnya dikelola dengan prinsip keberlanjutan,” katanya.
Amel mengatakan, ada 3,07 juta hektar dari 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi dari PBPH. Ide ini bergerak cepat, tanpa evaluasi mendalam terhadap dampak lingkungan.
Dia dan tim tengah menganalisis terkait risiko deforestasi program itu. Harapannya, analisis bisa membantu masyarakat menyikapi keadaan dan pemerintah lebih bijak dalam menjalankan kebijakan ini.
Korporasi besar, katanya, bisa panen keuntungan lewat program ini. Lahan-lahan izin tercabut itu, katanya, bisa juga terbebani izin sawit, yang merupakan satu jenis tanaman pangan dan energi. Rencana itu, katanya, jadi ancaman besar bagi kelestarian hutan, karena sawit salah satu penyumbang utama deforestasi.
Peluang sawit masuk dalam program 20 juta hektar untuk pangan dan energi ini juga membesar dengan ‘dalih’ konsep agroforestry dan multiusaha. Menurut Amel, korporasi jadi berpeluang mendapat akses lebih besar terhadap kawasan hutan.
Padahal, katanya, masih ada pekerjaan rumah besar dalam menyelesaikan masalah tata batas kawasan hutan. Masih ada sekitar 36 juta hektar kawasan hutan dengan status belum penetapan. Padahal, penetapan batas hutan penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Alih-alih melakukan proses penetapan batas kawasan hutan, pemerintah justru menerbitkan Perpres 5/2025 mengenai penertiban kawasan hutan yang melibatkan militer. Menurut dia, ini langkah keliru, karena berisiko menambah masalah dan konflik baru.
“Upaya pemerintah melibatkan militer dalam penertiban kawasan hutan berisiko menimbulkan berbagai konflik. Ini dapat dilihat dari preseden yang ada, seperti bagaimana PSN (proyek strategis nasional) yang melibatkan pengerahan militer telah memunculkan sejumlah permasalahan.”
Seharusnya, pemerintah mengakui wilayah adat atau masyarakat lokal yang sejak lama bergantung pada kawasan hutan. Ini yang seharusnya pemerintah lakukan sebelum melibatkan militer.
“Hal ini sangat penting, karena masyarakat adat seringkali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan yang tidak memperhitungkan hak-hak mereka. Sementara mereka sudah memiliki sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan jauh sebelum kebijakan nasional diberlakukan,” katanya.
Berada di wilayah adat
Senada dengan Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia memperkirakan, wilayah eks-izin PBPH kemungkinan besar tidak akan teralokasi buat masyarakat adat atau komunitas lokal yang sudah lama tinggal di kawasan hutan.
Pasalnya, tiga dari 18 perusahaan izin PBPH itu, beroperasi di wilayah adat. Beberapa bahkan berada di wilayah yang sudah ada pengakuan melalui peraturan daerah atau surat keputusan bupati, serta yang sudah penetapan hutan adat.
Dia contohkan, PT East Point Indonesia, beroperasi di wilayah adat Komunitas Tehang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sementara, wilayah adat dan hutan adat Tehang diakui Bupati dan Menteri LHK/2023.
Ada juga PT Wana Dipa, beroperasi di wilayah Komunitas Masyarakat Adat Marajai, Uren, Mamigang, dan Binuang Santang di Balangan, Kalimantan Selatan.
Menurut Rukka, pemberian PBPH kepada perusahaan-perusahaan itu mengabaikan hak masyarakat adat yang sudah lama tinggal dan hidup di wilayah itu. Harusnya, wilayah yang izin tercabut kembali ke masyarakat adat sebagai pemilik asli.
Hingga kini, dari sekitar 30 juta hektar wilayah adat yang sudah ada pemetaaan partisipatif, baru 265.000 hektar ada penetapan sebagai hutan adat. Padahal, 60% usulan wilayah adat berada dalam kawasan hutan.
“Sejak awal berdirinya AMAN hampir 30 tahun lalu, tuntutan mendasar kami adalah pengakuan terhadap wilayah adat yang selama ini diklaim pemerintah sebagai tanah negara atau hutan negara, yang harus dikembalikan kepada masyarakat adat,” kata Rukka pada Mongabay.

Harus transparan
Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, mengapresiasi langkah pemerintah menertibkan PBPH. Hal ini penting untuk memastikan semua aturan berjalan dan mencegah eksploitasi hutan.
Menurut dia, mengawasi pemanfaatan hutan dengan ketat merupakan kunci menjaga kelestarian hutan dan ekosistem. Namun, ada beberapa hal yang perlu jadi catatan supaya kebijakan ini berjalan maksimal.
Pertama, Kemenhut harus lebih transparan dalam proses pencabutan izin. Karena, masyarakat berhak mengetahui alasan di baliknya. Tanpa transparansi, kebijakan ini bisa jadi celah kepentingan, termasuk kemungkinan pergantian pemegang izin baru.
“Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan harus menjelaskan secara terbuka evaluasi yang mendasari pencabutan izin ini, agar kebijakan tersebut kredibel dan tidak hanya menjadi langkah administratif semata,” kata Hilman.
Kedua, penertiban perizinan tidak boleh jadi cara perusahaan lari dari tanggung jawab kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan. Menurutnya, pencabutan tidak cukup, jika ada pelanggaran yang menyebabkan kerusakan atau degradasi ekosistem.
“Pemerintah harus memastikan bahwa ada mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, di mana perusahaan yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan wajib memulihkan kembali kawasan yang telah mereka eksploitasi,” tegasnya.
Untuk itu, perlu ada langkah konkret pemulihan dan rehabilitasi ekosistem yang telah rusak. Dengan demikian, perusahaan tidak dengan mudah beralih ke lokasi baru tanpa melakukan perbaikan.
Ketiga, Kemenhut juga harus memastikan lahan yang dicabut tidak jatuh ke pihak yang memiliki kepentingan baru untuk mengeksploitasi kawasan. Kawasan yang izinnya dicabut ini pun harus dipastikan tidak menghasilkan deforestasi lanjutan.
“Kementerian harus memastikan bahwa kawasan eks-izin PBPH dikelola dengan pendekatan berkelanjutan yang berorientasi pada pemulihan ekosistem, serta harus menghindari adanya celah bagi pembukaan lahan baru yang bisa merusak lingkungan,”katanya.
Dengan demikian, pencabutan izin ini bisa jadi cara untuk memperluas tutupan hutan, dengan memprioritaskan konsep aforestasi dan reforestasi. Hilman minta, pemerintah mengembangkan skema rehabilitasi hutan berbasis masyarakat.
Pendekatan berbasis masyarakat, katanya, dapat membawa manfaat ekonomi, tanpa mengorbankan ekosistem. Pasalnya, masyarakat di sekitar hutan memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Skema ini juga bisa mendorong lapangan pekerjaan yang berkelanjutan, seperti melalui ekowisata, pengelolaan hutan untuk hasil non kayu, atau produk berbasis hutan yang dikelola secara ramah lingkungan.
“Dengan melibatkan mereka, pemerintah dapat memastikan bahwa kawasan eks-izin tidak hanya dibiarkan terbengkalai, tetapi dipulihkan dan dikelola dengan baik untuk kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan kelestarian lingkungan.”

*****