- Rencana pemerintah untuk membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat (Sumbar) membangkitkan trauma warga sekitar. Mereka khawatir, proyek yang digagas sejak 2019 itu mengulang cerita lama pasca pembangunan PLTA Singkarak.
- Sebelumnya, wilayah Sumbar pernah dilanda banjir bandang besar hingga memakan korban puluhan nyawa. Warga menduga, peristia itu disebut-sebut sebagai dampak panjang pembangunan PLTA Singkarak yang diwarnai penggalian terowongan sepanjang 17 kiolometer.
- Ardinis Arbain, pakar lingkungan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas menilai, secara biologi, PLTS terapung Singkarak tidak memungkinkan. Dengan skala luas, pemasangan panel surya akan ancam kehidupan biota danau, termasuk ikan-ikan di dalamnya.
- Febby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) dan juga Beyrra Triasdian, Manajer Renewable Energy Portofolio Trend Asia mendorong membuka ruang partisipasi terkait proyek ini. Pemerintah juga harus membuka kajian Amdal guna agar publik lebih memahami akan risiko proyek ini.
Rencana pemerintah membangun proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat (Sumbar) membangkitkan trauma warga sekitar. Mereka khawatir, proyek itu mengulang cerita sedih saat pembangunan PLTA Singkarak.
Novizar Can Amalo, warga Nagari Guguak Malalo menceritakan bagaimana peristiwa paling mencekam dalam hidupnya. Kala itu, dia baru saja dari atas bukit mau memeriksa kondisi sungai yang terbendung oleh material longsor karena hujan sepekan. Dia duduk di warung untuk istirahat sebentar.
Baru saja duduk, seorang warga memberitahu sambil berlari bahwa terjadi banjir bandang dari atas bukit. Sontak, pria kelahiran 1956 itu pun mengambil langkah seribu. Banjir ternyata jauh lebih cepat dari langkahnya. Tubuhnya terhempas, terbawa air bah bercampur lumpur dan kayu.
Untung saja, dengan susah payah, dia berhasil meraih batang kelapa hingga bapak lima anak ini selamat. “Ada tiga kelapa yang saat itu saya lihat terbawa arus ke arah danau. Saya tidak tahu andai saja itu kena saya,” ujar Novizar.
Mardianis, juga punya cerita. Saat bah itu, dia tengah mengaji bersama orang tua dan dua anaknya. Ia terkejut ketika mendengar orang-orang berteriak galodoh…galodoh.. (banjir bandang) dari kejauhan. Dari tempat berdiri, dia lihat kayu besar seperti terlempar dari perbukitan.
Seketika itu juga Mardianis dan keluarga pergi mencari tempat lebih tinggi. Dalam sekejap, warung tertutup kayu-kayu yang tersangkut. Sejenak kemudian, tak lagi terlihat, rata dengan tanah setelah kena terjang air bah. Masjid dan berbagai infrastruktur luluh lantak. Puluhan orang meninggal dunia dalam kejadian ini.
Bagi Mardianis, kendati sudah berlangsung 25 tahun lalu, peristiwa itu masih meninggalkan trauma mendalam. “Kalau hujan deras berlangsung lama, saya tidak berani bermalam di warung dan memilih pulang ke rumah,” katanya.
Novizar dan warga Guguak Malalo menduga, banjir bandang yang terjadi konsekuensi panjang dari pengeboman terowongan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Singkarak. Mereka mengingat, pembebasan lahan untuk proyek itu mulai 1984 lanjut dengan pembangunan fisik pada 1992.
Ada 17 kilometer terowongan bagian dari proyek ini. Saking panjangnya, sampai tembus ke Asam Pulau. “Buatnya pakai Tunnel Boring Machine. Ada juga pakai dinamit. Dibom. Di sini terasa sekali (getarannya) saat detonator itu bekerja,” kata Novizar.
Nagari Guguk Malalo adalah nagari di Kecamatan Batipuh Selatan, Tanah Datar, Sumbar. Wilayah berada di sisi barat Danau Singkarak. Tekstur tanah berbukit dengan kemiringan 20-60 derajat. Guguk Malalo punya tiga jorong atau kampung, yakni, Jorong Duo Koto, Jorong Guguk dan Baing. Sebagian warga adalah petani dan perambah ikan di danau.
Malin, tokoh pemuda Malalo mengatakan, PLTA menyebabkan arus air kerap berubah. Hal itu tampak dari arah jaring nelayan terbawa arus. Hal itu tentu menyulitkan nelayan mencari ikan.
Dia bilang, saat angin berhembus ke utara, ikan-ikan pindah ke selatan. Begitu pula sebaliknya. Kini, sulit menebak pergerakan ikan. Proses buka tutup pintu intake juga turut memberi pengaruh. “Nelayan kini tak bisa menebak pola arah angin dan posisi ikan berkumpul.”

Tak harmonis
Hubungan Komunitas Adat Malalo Tigo Jurai dan PLTA memang tidak selalu harmonis. Warga menuding PLTA dengan terowongan itu sebagai pemicu bencana. Mereka bahkan sempat ancam tutup PLTA sampai ada kesepakatan pada 2015.
Ada beberapa poin kesepakatan di Kantor Wali Nagari Guguak Malalu, 9 Oktober 2015. Antara lain, PLTA membuat satu balai gedung serbaguna, dan survei sumber air baru. Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari audit Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas yang temukan indikasi hilangnya sumber mata air imbas pembangunan terowongan.
Lalu, PLTA juga wajib menyediakan material semen untuk pembuatan jalan beton produksi pertanian, memberi bantuan becak motor, peralatan medis atau alat kesehatan, pengadaan bibit tanaman untuk penghijauan di area tangkap.
Terakhir memprioritaskan masyarakat lokal untuk mengerjakan program di Nagari Guguak Malalo sesuai kemampuan dan kompetensi mereka. Adapun penandatangan kesepakatan itu dari masyarakat Malalo: Mulyadi, Mukhlis, Datuk Pangulu Basa dan Masrial Akmal. Dari PLN adalah Dirgo Wahanto, Khazanatul Israr dan Iqbal Abdi Putra.

Ardinis Arbain, Pakar Lingkungan Hidup Universitas Andalas juga Ketua Audit PLTA Singkarak pada 2015 mengakui, pembangunan terowongan PLTA berkontribusi terhadap bencana. “Banyak sumber air hilang karena terowongan yang dibuat dari Singkarak ke Lubuk Alung itu,” katanya lewat sambungan telepon.
Sebelumnya, dia lakukan pemetaan untuk membuktikan ada air keluar jalur dan masuk dalam terowongan. Dampaknya, banyak lahan pertanian kekurangan air dan menuntut ganti rugi ke pengelola PLTA.
“Tembok (terowongan) juga tak rapat betul, sehingga (air) meresap turun. Tadinya ada anak sungai di atas, namanya Sungai Boong. Banyak sawah yang memang ga bisa dipakai lagi karena ga ada air, itulah yang kami minta diganti rugi, kami hitung harganya, setahun pendapatannya sekian, selama setahun tidak bisa bertani.”
Bagaimana proyek PLTS Singkarak?
Pengalaman masa lalu itu pula yang pada akhirnya menjadikan masyarakat resisten terhadap rencana pembangunan PLTS terapung di Singkarak. “Karena dulu juga begitu, bilangnya tidak berdampak apa, nyatanya yang terjadi tidak demikian,” katanya.
Ardinis menilai, secara biologi, PLTS terapung Singkarak tidak memungkinkan. Dengan skala luas, pemasangan panel surya akan ancam kehidupan biota danau, termasuk ikan-ikan di dalamnya.
“Jadi jangan tertipu dengan istilah energi terbarukan. PLTS dan PLTA memang energi terbarukan, tapi skalanya bagaimana? Keberlanjutan usaha masyarakat di mana? Itu yang harus dipikirkan juga, tidak asal cepat,” kata akademisi biologi ini.
Sebelumnya, pemerintah melalui PLN memang berencana membangun PLTS terapung di Danau Singkarak. PLN bahkan sudah mencapai kesepakatan dengan investor asal Arab Saudi dengan nilai investasi Rp50 triliun.
Belum lama ini, Andre Rosiade, anggota DPR sekaligus Ketua DPD Gerindra Sumbar bersama tim PLN datang ke Malalo dan menyosialisasikan rencana pembangunan PLTS kepada warga. Kesempatan warga manfaatkan untuk menyampaikan penolakannya. Mereka khawatir, PLTS terapung akan mengganggu ekosistem danau.

Partisipasi warga
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong PLN dan investor transparan terkait pembangunan PLTS Singkarak guna menghindari resistensi masyarakat adat. “Buka kajian Amdal-nya. Jadi, masyarakat bisa tahu dengan dipasang PLTS, apa dampaknya ke masyarakat,” katanya.
PLTS terapung, katanya, memiliki dampak berbeda dengan PLTA yang mempengaruhi catchment area. Bercermin dari PLTS Cirata, tidak banyak dampak yang ditimbuilkan, terutama pada ekologi perikanan.
Cara kerja panel surya terapung adalah untuk menyerap sinar matahari yang kebetulan lokasi di atas danau. Tidak seluruh panel pasang di danau, hanya sebagian. “Apalagi ada aturan penggunaan 15% kawasan maksimum,” kataFabby.
“Kalau penempatan benar, seharusnya tidak menggusur tempat masyarakat mencari makan. Sebab itu Indonesia Power harus melakukan konsultasi publik dan studi sosial-ekonomi. Kuncinya di Amdal, maka itu harus dibuka.”
Beyrra Triasdian, Manajer Renewable Energy Portofolio Manager dari Trend Asia menyadari munculnya resistensi di masyarakat terkait rencana pembangunan PLTS terapung Singkarak. Selama ini, katanya, proyek-proyek transisi energi acapkali mengabaikan partisipasi masyarakat.
“Energi terbarukan tidak selalu baik, jika tidak memenuhi nilai-nilai keadilan, termasuk keadilan sosial, ekologi dan ekonomi,” katanya.
Menurut Beyrra, pada setiap level proyek, termasuk perencanaan, masyarakat harus terlibat. Ini sekaligus memastikan ada tidaknya dampak pembangunan pada kehidupan dan penghidupan mereka. Terpenting lagi, adalah penghormatan pada sistem sosial dan kebudayaan setempat.
Dia khawatir, kalau PLTS terapung ini jadi dengan skala besar akan berisiko mengubah ekosistem dan biodiversitas danau. Kalau itu terjadi, akan mengganggu kehidupan dan penghidupan warga sekitar. Tutupan yang begitu besar, organisme hidup dengan cahaya matahari akan terganggu.
“Sangat mungkin makhluk hidup asli perairan maupun yang bergantung di sekitarnya akan terganggu bahkan hilang. Juga mempengaruhi kehidupan masyarakat asli di Danau Singkarak Yang merupakan wilayah adat yang telah dipegang secara turun menurun dan perlu dilindungi.”
******
PLTS di Danau Singkarak, Sosialisasi Minim dan Tak Transparan?