- Teluk Rumbia merupakan desa di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, yang berada di muara Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas-Singkil.
- Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah menangkap ikan dan udang, serta mencari madu hutan.
- Namun, air sungai yang mulai keruh membuat masyarakat Teluk Rumbia mulai kesulitan mendapatkan ikan. Permasalahan bertambah, konflik buaya juga mulai terjadi.
- hasil pemantauan Yayasan HAkA menunjukkan, alih fungsi lahan di sekitar Alas–Singkil masih terjadi, sehingga air sungai dipenuhi lumpur.
Teluk Rumbia merupakan desa di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, yang berada di muara Daerah Aliran Sungai (DAS) Alas-Singkil. Wilayahnya juga berbatasan dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Mata pencaharian utama masyarakatnya adalah menangkap ikan dan udang, serta mencari madu hutan.
“Lele dan belut kami tangkap menggunakan bubu, sementara gabus dipancing. Untuk udang galah (Macrobrachium rosenbergii), biasanya ibu-ibu yang menangkap di pinggir sungai menggunakan bubu. Saat ini, ikan mulai berkurang,” kata Sayuti, nelayan Teluk Rumbia, Rabu (5/2/2025).
Foto: Jangan Ada Lagi Sawit Ilegal di Aliran Sungai Alas-Singkil

Mariana, perempuan nelayan Teluk Rumbia, setiap hari menyusuri Sungai Alas-Singkil menggunakan sampan. Dia terbiasa memasang bubu atau lukah masyarakat setempat menyebutnya.
“Puluhan lukah jaring kawat kami pasang setiap hari. Hasilnya, kami jual untuk kebutuhan harian. Harga udang galah Rp30 ribu per kilogram,” jelasnya.
Namun beberapa tahun terakhir, udang mulai sulit didapat. Dalam sehari, maksimal 2 kilogram yang sebelumnya bisa 5 kilogram.
“Ini disebabkan air sungai mulai berlumpur dan banyak sampah,” ujarnya.
Foto: Indahnya Hutan Leuser dari Sungai Alas-Singkil

Serangan buaya di sungai
Asmala Tinambunan, perempuan nelayan Teluk Rumbia yang telah 35 tahun menangkap udang, mengungkapkan hal senada.
“Bukan hanya air yang keruh, tapi juga buaya mulai menyerang warga.”
Kaetek (59), perempuan nelayan Teluk Rumbia, terluka diserang buaya saat mencari siput dan eceng gondok saat bersampan, Senin sore (27/1/2025). Tangan kanannya terluka parah. Sementara Sawiyah (63), diserang buaya saat memasang bubu di sungai, Sabtu (8/2/2025). Jasadnya ditemukan sehari berselang.
“Sejak banjir datang dan sungai keruh banyak sampah, buaya mulai ganas,” ujarnya.
Baca: Tidak Rela, Sungai Alas-Singkil Dibendung

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata, mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik masyarakat dengan buaya di Alas–Singkil.
“Bisa dikarenakan predator pengendali populasi buaya sudah tidak banyak, seperti adanya perburuan biawak yang merupakan pemangsa telur dan anak buaya. Selain itu, bisa dikarenakan kebiasaan membuang bangkai ke sungai yang mengundang kehadiran buaya,” jelasnya, Senin (10/2/2025).
Kemungkinan lain, adanya aktivitas di sekitar habitat buaya atau badan air.
“Kami telah melakukan berbagai hal untuk menghindari konflik tersebut, termasuk bekerja sama dengan pimpinan daerah setempat,” ujarnya.
Baca: Alasan Listrik, PLTA akan Dibangun di Sungai Alas-Singkil

Banjir melanda
Amrul Hadi, perangkat Desa Teluk Rumbia, mengatakan sungai merupakan tempat utama masyarakat Teluk Rumbia dan Rantau Gedang, desa tetangga, mencari nafkah. Warga di dua desa ini tidak memiliki kebun atau lahan pertanian yang bisa diandalkan, karena hidup di rawa gambut.
Turun-temurun, masyarakat tinggal di pinggir Alas-Singkil dan segala kebutuhan dipenuhi dari sungai tersebut.
“Warga selalu menjaga sungai ini, tapi di hulu ada kegiatan yang merusak. Menghancurkan sungai sama saja dengan membunuh kami,” jelasnya, Rabu (5/2/2025).
Fahrul Razi, Kepala Desa Teluk Rumbia, mengatakan banjir yang melanda wilayahnya menyebabkan banyak masalah. Salah satunya, masyarakat kehilangan mata pencaharian.
“Sungai sebagai sumber air bersih warga menjadi keruh dan warga juga tidak bisa menanam padi,” ujarnya.
Baca: Hilangnya Peran Sungai dari Kehidupan Kita

Raja Mulkan, Juru Kampanye Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), mengatakan, hasil pemantauan menunjukkan alih fungsi lahan di sekitar Alas–Singkil masih terjadi, sehingga air sungai dipenuhi lumpur.
“Misalnya di Subulussalam, ada pembukaan lahan sawit tanpa izin. Kondisi ini menyebabkan Sungai Singgersing yang bermuara ke Alas-Singkil menjadi rusak. Lumpur dan kayu sisa penebangan terbawa arus ke Teluk Rumbia,” ujarnya, Senin (24/2/2025).
Sungai ini sangat penting bagi warga Teluk Rumbia dan Rantau Gedang. Mereka menggunakannya untuk kebutuhan harian.
“Kesehatan mereka juga terganggu,” paparnya.
Baca juga: Inilah Negara-Negara yang Tidak Memiliki Sungai Sama Sekali. Bagaimana Mereka Beradaptasi?

Sungai Alas-Singkil merupakan salah satu sungai terpanjang di Provinsi Aceh. Selain sebagai sungai utama yang memiliki sejumlah anak sungai, sungai ini juga menjadi muara sungai-sungai kecil di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.
Sungai ini melewati empat kabupaten/kota yaitu, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Singkil.
