- Pemerintah berencana memanfaatkan Danantara untuk membiayai proyek Dimethyl Ether (DME) atau gasifikasi batubara di sejumlah tempat. Rencana itu pun menuai kritik kalangan organisasi masyarakat sipil dan menyebutnya sebagai langkah sesat.
- Aki Akbar, Konsolidator STuEB mengatakan, Danantara sebagai superholding seharusnya berfungsi menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang melalui investasi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh Temasek, super holding asal Singapura yang fokus pada teknologi informasi hingga banyak dimanfaatkan kemudian.
- STuEB menyatakan, tidak ada yang membantah bahwa batubara adalah energi kotor yang sarat dengan berbagai di tingkat hulu– area tambang–, maupun hilir di sekitar PLTU. Untuk itu, pakai Danantara untuk proyek DME, sama dengan memperburuk berbagai dampak yang muncul dari penggunaan energi fosil ini.
- Syahwan, Ketua Yayasan Anak Padi Lahat Sumatera Selatan (Sumsel), mengatakan, kalau DME jadi bahan pengganti gas untuk kebutuhan rumah tangga dengan bahan utama batubara, maka warga di sekitar pertambangan akan makin sengsara karena batubara bakal tereksploitasi lebih parah lagi.
Pemerintah Indonesia membentuk Daya Anagata Nusantara (Danantara) Indonesia sebagai badan pengelola investasi strategis guna mengonsolidasikan dan mengoptimalkan investasi pemerintah. Konon, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belakangan, muncul wacana dana dari Danantara Indonesia untuk membiayai proyek dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara. Niat ini langsung memantik kritik berbagai kalangan. Mereka menilai, rencana pembiayaan oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) itu sebagai langkah sesat.
Di Sumatera, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menilai, rencana itu bukan hanya tidak populis juga hanya melanggengkan industri batubara. Termasuk di Sumatera yang menjadi satu titik utama komoditas ini.
Ali Akbar, Konsolidator STuEB mengatakan, Danantara sebagai superholding seharusnya berfungsi menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang melalui investasi sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Temasek, super holding asal Singapura yang fokus pada teknologi informasi hingga banyak dimanfaatkan kemudian.
Kalau investasi yang bertumpu pada sumber daya alam terbatas seperti batubara tidak akan berlangsung lama. Terlebih lagi, dunia sedang gencar-gencarnya mengampanyekan meninggalkan energi kotor ini.
“Ironisnya, saat dunia internasional sudah mundur dari investasi energi kotor, justru Indonesia lewat Danantara ingin melakukannya,” kata Ali.
Ia jadi lebih tidak elok lagi karena dana yang terhimpun untuk Danantara berasal dari efisiensi berbagai program yang seharusnya dapat langsung rakyat nikmati.
STuEB menyatakan, tidak ada yang membantah bahwa batubara adalah energi kotor yang sarat dengan berbagai di tingkat hulu– area tambang–, maupun hilir di sekitar PLTU. Untuk itu, pakai Danantara untuk proyek DME, sama dengan memperburuk berbagai dampak yang muncul dari penggunaan energi fosil ini.
Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara (Sumut), turut mempertanyakan rencana penggunaan Danantara untuk membiayai DME ini. Rencana itu, katanya, hanya akan menguntungkan para oligarki yang selama ini menguasai industri batubara.
Dia juga menyinggung warga terdampak tambang batubara di Dusun Suak Puntong, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Masyarakat terpaksa menyingkir dari permukiman karena debu dari truk-truk pengangkut batubara. Belum lagi abu pembakaran dari PLTU dari PT PLN Nusantara Power. Ratusan warga pun terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Alfi mengatakan, sulit rasanya berharap ekonomi tumbuh kalau alam hancur. Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), pada 2024, produksi batubara mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton (117%). Produksi jauh melampaui kebutuhan, mencerminkan kerakusan yang merusak.
“Kita sudah mengorbankan alam demi industri ekstraktif, kini diperparah dengan wacana hilirisasi dan gasifikasi batubara. Batubara tidak hanya merusak lingkungan, juga berdampak serius pada kesehatan masyarakat. Polusi udara akibat pembakaran batubara menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan jantung, dan berbagai masalah kesehatan lainnya,” katanya.

Syahwan, Ketua Yayasan Anak Padi Lahat Sumatera Selatan (Sumsel), mengatakan, kalau DME jadi bahan pengganti gas untuk kebutuhan rumah tangga dengan bahan utama batubara, maka warga di sekitar pertambangan akan makin sengsara. “Sebab batubara akan dieksploitasi lebih besar lagi. Kami meminta Presiden Prabowo menghentikan rencana ini.”
Deddy Permana, Direktur Hutan Kita Institut (HaKI) Sumatera Selatan menambahkan, energi fosil terutama batubara akan memperburuk krisis iklim. Karena itu, rencana penggunaan Danantara untuk proyek DME, dia nilai kontraproduktif, bahkan tak sejalan dengan tujuan awal pembentukan lembaga itu.
“Ini semua bukan untuk kepentingan umum masyarakat Indonesia. Pemerintah tak sesuai komitmen secara internasional untuk pencegahan perubahan iklim, serta bertolak belakang dengan komitmen terhadap transisi energi menuju net zero emission pada 2060.”
Hardi Yuda, Direktur Lembaga Tiga Beradik (LTB) Jambi, mengatakan, sebelum menetapkan DME batubara dengan pembiayaan Danantara, sebaiknya Prabowo melihat secara utuh dampak penderitaan rakyat terdampak tambang batubara dan PLTU.
Di Jambi, katanya, masyarakat Desa Semaran setiap hari menghirup udara kotor, lingkungan tercemar . Selain itu, ratusan lubang-lubang bekas tambang menganga begitu saja.

*****
Masa Depan Energi Indonesia Bakal Tetap dalam Cengkeraman Batubara?