- Sekitar 475.000 hektar kawasan hutan di Jambi bakal jadi proyek pangan dan energi. Kawasan 1,4 kali lipat luas Ibu Kota Nusantara ini bagian dari proyek pangan dan energi Pemerintahan Prabowo Subianto dengan total di Indonesia 20,6 juta hektar.
- Rudi Syaf, Manajer Program Komunikasi dan Informasi KKI Warsi, meminta, proyek pangan dan energi tak menggerus tutupan hutan tersisa. Dalam satu dekade terakhir, Jambi kehilangan tutupan hutan 175.104 hektar.
- Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, mengatakan, kewajiban cofiring minimal 30% untuk semua PLTU baru dan PLTU captive akan meningkatkan tekanan terhadap kawasan hutan. Kebutuhan biomassa yang semula 14 juta ton per tahun, praktis akan melonjak.
- Firman Supratman, dari Jaringan Energi Berkeadilan, mengatakan, banyak potensi energi hijau di daerah yang bisa dikembangkan tanpa perlu membabat hutan. Jambi, memiliki potensi energi terbarukan cukup besar. Menurujuk data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Jambi memiliki potensi energi terbarukan 12.661 Megawatt (MW). Potensi terbesar berasal dari energi surya 8.847 MW. Energi dari air 447 MW, bioenergi 1.840 MW, energi surya 8.847 MW dan angin 37 MW.
Sekitar 475.000 hektar kawasan hutan di Jambi bakal jadi proyek pangan dan energi. Kawasan 1,4 kali lipat luas Ibu Kota Nusantara ini bagian dari proyek pangan dan energi Pemerintahan Prabowo Subianto dengan total di Indonesia 20,6 juta hektar.
Benny Budiansyah Kasi Pemantauan dan Evaluasi Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi, mengaku belum mendapatkan rincian mana saja sebaran kawasan hutan untuk pangan dan energi di Jambi.
“Kayaknya WKS (PT Wisa Karya Sakti)—anak usaha Sinarmas—itu mau mendukung untuk pangan. Ada beberapa perhutanan sosial di Muaro Jambi dan Batang Hari yang tertarik membuat biomassa. Tetapi itu belum pasti. Kita masih menunggu pusat,” katanya.
Empat konsesi PBPH mangkrak berpeluang jadi lahan pangan dan energi, PT Hijau Artha Nusa, PT Gading Karya Makmur, PT Mugi Triman International dan PT Jebus Maju.
“Kita sudah laporkan itu ke Kementerian Kehutanan,” kata Benny.
Secara nasional. sebaran kawasan hutan ini terbagi dalam tiga tipe. Pertama, semak belukar, belukar rawa, pertanian lahan kering atau campur, areal persawahan bukan gambut dengan ketinggian kurang dari 1.000 mdpl, luas mencapai 10,75 juta hektar.
Kedua, perkebunan di luar sawit dan bukan gambut seluas 1,08 juta hektar lebih. Ketiga, hutan sekunder non gambut dengan kerapatan rendah ketinggian kurang dari 1.000 mdpl selus 8,8 juta hektar.
Kendati kawasan hutan yang masuk cadangan pangan dan energi masih indikatif dan perlu kajian lebih lanjut, tetapi menimbulkan kekhawatiran.

Jangan gerus hutan
Rudi Syaf, Manajer Program Komunikasi dan Informasi KKI Warsi, meminta, proyek pangan dan energi tak menggerus tutupan hutan tersisa. Dalam satu dekade terakhir, Jambi kehilangan tutupan hutan 175.104 hektar.
Data Warsi menunjukkan, luas tutupan hutan pada 2015 mencapai 1.132.857 hektar, tetapi pada 2024, menyusut menjadi 957.753 hektar.
“Hutan itu penting untuk menjaga cadangan air, mencegah bencana hidrologi dan menyerap emisi karbon, kalau itu dibabat, bahaya!,” katanya.
Pemerintah, kata Rudi, harus punya alternatif lain hingga proyek pangan dan energi tidak menghabisi tutupan hutan. Pemerintah, katanya, bisa bekerja sama dengan pemegang izin PBPH untuk program pangan.
“Sesudah akasia panen bisa ditanami jagung. Kan jagung panennya cepet. Habis panen, baru ditanami akasia lagi.”
Pemerintah juga perlu menyiapkan pasar untuk menyerap produksi pangan. “Jangan sampai produksi pangan melimpah, pasarnya tidak ada. Bibit mahal, pupuk mahal tapi hasil jual tidak sesuai. Yang sering terjadi begitu.”
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, mengatakan, proyek ambisius itu berisiko merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian besar.
Dalam Laporan Bahaya Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi, Walhi menyebut, negara harus menanggung kerugian Rp101,2 triliun dampak bencana hidrometereologi sepanjang 2015-2022. Ia dampak dari perubahan landscape ekosistem penting seperti hutan. Negara juga berisiko rugi ribuan triliun akibat kehilangan hutan.
Pembukaan hutan 20 juta hektar, katanya, akan menyebabkan pelepasan emisi karbon hingga 11,8 miliar ton. Juga, bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi melalui skema Nationally Determined Contributions (NDC), serta pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagaimana dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).
Rencana ini juga bertolak belakang dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait FoLU Net Sink 2030. Seharusnya, menargetkan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan lahan.
“Pemerintah seharusnya berpikir ulang, karena dampaknya akan sangat buruk,” kata Abdullah.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) memprediksi, proyek ambisius pangan dan energi yang menargetkan jutaan hektar kawasan hutan bakal masuk dalam revisi UU Kehutanan.
“Biar rencana itu bisa berjalan mulus, itu pasti bakal berebut masuk dalam RUU Kehutanan.”
Deforestasi, konflik dan ketimpangan pengusahaan lahan, menjadi catatan buruk di sektor kehutanan. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, per Desember 2024, luas kawasan hutan termasuk hutan produksi dan hutan lindung dalam kuasa korporasi seluas 40,54 juta hektar.
Angka ini lebih dari sepertiga luas kawasan hutan Indonesia 120,33 juta hektar. Sedang hak kelola masyarakat lewat skema perhutanan sosial hanya 8 juta hektar dan 244.000 hektar untuk hutan adat.
“Saya pikir kinerja kelembagaan kehutanan perlu dievaluasi.”

Ancaman biomassa
Jutaan hektar kawasan hutan yang pemerintah cadangkan, tidak hanya untuk memenuhi ambisi swasembada pangan, juga energi.
PLN memperkirakan konsumsi listrik pada 2025 sekitar 539 terawatt hour (TWh) dan akan terus naik menjadi 1.813 TWh pada 2060.
Proyeksi kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai 443 Gigawatt (GW) pada 2060. Setiap tahun perlu tambahan setidaknya 9,6 GW untuk menggantikan pembangkit listrik berbasis fosil yang berkurang.
Berdasarkan data Global Energi Monitor, pada 2024 PLTU di Indonesia 256 unit, 47 sudah pakai campuran biomassa (cofiring) yang pemerintah klaim lebih ramah lingkungan.
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, mengatakan, kewajiban cofiring minimal 30% untuk semua PLTU baru dan PLTU captive akan meningkatkan tekanan terhadap kawasan hutan. Kebutuhan biomassa yang semula 14 juta ton per tahun, praktis akan melonjak.
Ancaman terhadap hutan tidak hanya dari hutan tanaman energi, untuk biomassa, juga perkebunan skala besar untuk bioetanol dan biofuel.
“Hutan akan tergerus, karena semua itu industri padat lahan.”
Pada 10 April 2025, Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meneken Peraturan Menteri No.10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan. Sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, PLTU batubara wajib mencampurkan biomassa dan dilengkapi dengan teknologi carbon capture storage.
Pemerintah masukkan teknologi cofiring salah satu strategi percepatan peningkatan bauran energi terbarukan. Pada 2024, konsumsi biomassa untuk 47 PLTU cofiring 1,62 juta ton. PLN mengklaim cofiring bisa menurunkan emisi karbon 1,87 juta ton CO2.
Pada 2060, kapasitas PLTU cofiring bakal mencapai 54 GW, naik hampir tiga kali lipat dari target PLN sebelumnya hanya 18.895 Megawatt (MW), dalam RUPTL PLN 2021-2030.
Mengapa tak optimalkan energi terbarukan dan lokal?
Firman Supratman, dari Jaringan Energi Berkeadilan, mengatakan, banyak potensi energi hijau di daerah yang bisa dikembangkan tanpa perlu membabat hutan.
Jambi, katanya, memiliki potensi energi terbarukan cukup besar. Menurujuk data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Jambi memiliki potensi energi terbarukan 12.661 Megawatt (MW). Potensi terbesar berasal dari energi surya 8.847 MW. Energi dari air 447 MW, bioenergi 1.840 MW, energi surya 8.847 MW dan angin 37 MW.
“Jadi sumber energi hijau itu tidak harus mengorbakan kawasan hutan. Banyak alternatif lain.”
Dia khawatir, pembukaan kawasan hutan untuk proyek energi yang pemerintah canangkan, justru akan menyebabkan bencana lingkungan.
Syaharani, Kepala Devisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyebut, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan lebih 3.000 Gigawatt (GW), sebagian besar tersebar di daerah yang belum terjangkau jaringan PLN.
“Sayangnya, pengembangan energi pemerintah saat ini masih fokus pada proyek-proyek besar dan tersentralisasi.”
Pemerintah pusat, katanya, perlu membuka ruang lebih luas pada pemerintah daerah, dan memberi kemudahan perizinan untuk pengembangan energi berbasis komunitas melalui Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Pembangunan energi terbarukan skala kecil di desa terpencil akan meningkatkan akses listrik serta kualitas hidup masyarakat lokal. Dan itu penting untuk mendukung ketahanan energi lokal.”

********