- Ekosistem perairan dan nelayan tradisional di Belawan, Sumatera Utara, terus merana. Kapal-kapal pukat banyak beroperasi hingga indikasi kuat di perairan ini sudah alami penangkapan ikan berlebih. Nelayan kecil pun terdampak.
- Nelayan tradisional makin sulit kala banyak kapal besar dengan alat tangkap pukat beroperasi di wilayah tangkap nelayan. Tak pelak, konflik pun terjadi. Nelayan protes dan menyampaikan keluhan ke pihak berwenang, sayangnya tak ada perubahan berarti.
- Josia Suarta Sembiring, Pelaksana Koordinasi OPS Pengawasan PSDKP Belawan, tak mengelak masih banyak kasus tumpang tindih zona tangkap antara kapal besar dengan nelayan tradisional. Berdasar hasil kerja PSDKP Belawan, sepanjang 2025, tercatat 40 kasus curi-curi wilayah tangkap oleh kapal besar ke zona di bawah 12 mil laut.
- Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantra (YKAN), mengatakan, ada indikasi kuat sudah terjadi over-fishing di WPP 571, terutama di perairan Belawan dan sekitar. Berdasar data KKP (2023), catch per unit effort (CPUE) untuk beberapa jenis ikan demersal dan pelagis kecil mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ratusan nelayan meluapkan emosi. Mereka kepung gerbang masuk Markas Komando Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (DitPolairud) Polda Sumut, Belawan, 13 Februari lalu. Mereka menuntut aparat penegak hukum menindak tegas pelanggaran di laut Belawan dan sekitar.
Protes nelayan antara lain aktivitas kapal-kapal besar pakai alat tangkap merusak. Bahkan, tak jarang, kapal-kapal besar menangkap ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional.
Azahar Batubara, nelayan tradisional mengatakan, di laut acap kali berpapasan dengan kapal-kapal besar.
“Kapal-kapal besar ini [seharusnya] memang jauh berlayar ke tengah. [Namun] kadang curi-curi juga orang itu sikit, karena di tengah ini gak ada ikan kali. Kan banyak ikan itu di pinggir,” katanya.
Istilah ‘curi-curi’ yang Azahar maksud, saat kapal-kapal besar menjaring ikan di zona tangkap nelayan kecil. Aktivitas itu tidak sesuai aturan.
Peraturan Menteri (Permen) KP No. 18/2021 menyebut, kapal ikan dengan ukuran di atas 30 GT hanya boleh melakukan tangkap ikan di atas 12 mil. Zona di bawah itu untuk nelayan-nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 30 GT, seperti Azahar.
Azahar, katanya, sering kasih peringatan untuk kapal besar yang beraktivitas di zona yang tak semestinya. “Kadang sudah kami kode untuk menjauh, gak ditanggapinya. Mereka diam aja.”

“Awalnya dulu ya trawl”
Sekitar 26 kilometer ke arah utara dari pusat Kota Medan, berkukuh pelabuhan perikanan besar. Pelabuhan Gabion, begitu masyarakat tempatan menyebutnya.
Pelabuhan ini berstatus resmi sebagai Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Di bawah naungan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP).
PPS Belawan ini sebagai salah satu pemasok ikan terbesar di sepanjang garis pantai timur Sumut, bahkan di Selat Malaka yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571.
Tempat pelelangan ikan, ruko-ruko dengan plang “export”, dan gudang-gudang perikanan berkukuh sepanjang Jalan Pelabuhan Gabion. Gudang-gudang yang juga tampung hasil laut dari wilayah lain di Sumut, selain Belawan.
Pada sisi timur di balik komplek pergudangan ada kapal bersandar. Di tempat ini juga kapal-kapal yang Azahar maksud, dan bikin nelayan tradisional lain resah terparkir.
Kapal-kapal itu berbahan kayu itu ada ratusan, berukuran besar. Sebesar masalah berlarut yang menyelubunginya: penangkapan ikan destruktif.
Praktik curi-curi di zona tangkap nelayan kecil diakui Irwansyah, mantan pekerja kapal pukat trawl, sebagai kewajaran bagi penuhi target. Pada 2015-2018, dia jadi KKM kapal trawl, lalu berhenti, kini pilih kerja tangkap cumi dengan cara tradisional.
“Ada keterbatasan mencari tangkapan itu kan. Dulu [waktu masih menggunakan trawl], di tengah gak ada ikan, makanya ke tepi.”
Kapal-kapal besar di Belawan dan sepanjang pesisir timur Sumut sedari dulu beken dengan aktivitas tangkap ugal-ugalan.
Penggunaan alat tangkap haram nan jahat seperti pukat trawl, pukat harimau, cantrang, dan sejenisnya bukan lagi hal asing..
Persepsi itu berubah kala pemerintah lewat Permen KP No. 36 Tahun 2023 memaktubkan izin alat tangkap Ikan (API) dengan nama “jaring hela”; jaring hela ikan berkantong (JHIB).
Pasca aturan sah, kapal-kapal besar yang sebelumnya tersohor pakai alat tangkap haram, mendadak serentak ‘berlindung’, urus perizinan JHIB supaya legal.
Kapal eks-trawl yang sudah urus sertifikat kelayakan kapal perikanan (SKKP), sesuai aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP), mencantumkan JHIB untuk sekadar memenuhi klasifikasi layak tangkap.
Berdasar data catatan PPS Belawan, per 2025, JHIB mendominasi dengan total 172 alat tangkap atau 33%. Jenis pukat cincin pelagis kecil (87) dan pukat cincin teri (77) di urutan berikutnya.
Ada 185 alat tangkap lain tercatat berasal dari berbagai jenis: bagan perahu, bouke ami, kapal pengangkut ikan dari daerah penangkapan ikan, pancing cumi, pancing ulur, pengangkut, pukat cincin pelagis besar, dan squad angling.
Irwansyah bilang, JHIB tak ada beda dengan jaring pukat trawl yang dia pakai dahulu.
“Mau dulu atau sekarang sama saja. Semua ikan masuk. Ikan dasar dilibas dia, gak ada cerita,” katanya, sebut dampak trawl maupun JHIB sama merusak.
Kapal dengan alat tangkap ini beroperasi hingga berbulan-bulan di laut. Dalam sehari, tiga sampai empat kali membuang jaring ke dasar hingga kapasitas tangkapan penuh, lalu pindah ke kapal pengangkut menuju darat.
Irwansyah pernah menjabat Kepala Kamar Mesin (KKM) di salah satu perusahaan kapal pukat trawl di Pelabuhan Gabion.
Tak heran, rasa Irwansyah, kala alat tangkap haram yang dulu ‘kucing-kucingan’, sekarang seolah halal lewat aturan JHIB. Permainan regulasi dan utak-atik aturan, ihwalnya, bukan hal awam. Sudah makanan sehari-hari bagi Irwansyah selama melakoni kerja itu.
“Semua surat-surat dulu saya yang urus. Bisa sebulan sekali kapal itu ganti nama, ganti nomor lambung,” katanya.
Satu dokumen, katanya, bisa mereka pakai beberapa kapal. Bukan hanya dalam satu perusahaan, bak ‘dokumen terbang’, ia bisa bergilir buat tandem di kapal perusahaan lain. Tergantung kesepakatan sewa antar pengusaha.
“Dulu, satu surat itu bisa 10 kapal. Itulah dia tipu-menipu itu,” katanya.
Manipulasi dokumen terjadi karena para pengusaha kapal enggan berurusan dengan birokrasi yang ruwet.
Lagi pula sistem pun turut dukung praktik-praktik culas itu.
“Kalau ada kapal dari Jakarta mau masuk, baru kami hindar-hindarilah. Arti hindar itu, takut keluar uang rokok. Nanti dia panggil kita, disuruh masuk, minta uang rokok, hah kenak lah.”
Kapal ‘Jakarta’ yang Irwansyah bilang, meski enggan menyebut nama instansinya, merujuk pada kapal keamanan aparat penegak hukum yang kerap ngutip pungutan liar terhadap kapal trawl.

Nelayan protes
Kapal trawl yang banyak beroperasi di wilayah tangkap nelayan trandisional memicu konflik. Nelayan kecil protes dari aksi sampai terjadi pembakaran kapal trawl karena tak juga ada perubahan berarti.
Seperti Februari lalu, nelayan aksi di depan Polairuddengan inisiasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Medan. Ahmad Raji, Juru Bicara KNTI Medan, mengatakan, ini bukan pertama kali para nelayan tradisional protes.
Sejak kemunculan pukat trawl di perairan Selat Malaka, terutama di pesisir timur Sumut pada 1980-an, belum ada upaya serius oleh para pemangku kebijakan maupun penegak hukum.
Legalisasi pukat trawl menjadi JHIB adalah puncak ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil yang selama ini menuntut keadilan.
“Mereka malah mengakomodir kepentingan pengusaha besar,” katanya.
Ragam upaya sudah para nelayan tradisional lakukan. Laporan dan keluhan nelayan kecil beberapa kali kirim ke berbagai instansi. Ujungnya, laporan-laporan itu seolah menguap alias nihil tanpa hasil. “Memang gak ada niat orang itu [penegak hukum untuk bertindak],” kata Raji.
Para nelayan kecil juga pernah menggelar aksi akbar. Ribuan nelayan bergumul di depan Kantor DPRD Sumut, Agustus 2018, menuntut musnahkan pukat trawl.
Karena tak ada tindak serius, nelayan tradisional di Sumut terpaksa bertindak. Salah satunya dengan cara membakar kapal pukat trawl.
Peristiwa pembakaran kapal pukat trawl seperti terjadi di Tanjung Balai-Asahan, masih satu bibir pantai di pesisir timur Sumut pada 2016. Aksi itu bisa kasih efek jera walau sesaat.
Hasil tangkap nelayan kecil setelah peristiwa itu berangsur naik karena kapal pukat trawl sempat terhenti selama tiga bulan.
Aksi serupa juga terjadi di Serdang Bedagai, Maret 2022. Saat itu, beramai-ramai, nelayan tradisional membakar kapal pukat trawl karena mereka nilai sudah menganggu.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), sebut, aksi pembakaran kapal sebagai ungkapan rasa frustasi mereka.
“Karena kesal sekali ya dengan pukat-pukat ini. Dibakar memang, walau itu tidak dibenarkan, ya. Tapi kan sebenarnya ini bentuk frustasi mereka menghadapi lemahnya pengawasan dan penindakan terhadap penggunaan alat tangkap ini.”
Dia menilai, persoalan menahun ini terjadi karena Kementerian Kelautan dan Perikanan tak bekerja serius. Seringkali, katanya, antara aturan yang dibuat dengan penegakan hukum tidak sejalan.
“Cuma nahkodanya saja yang dijerat. Si pemilik kapal selalu lolos,” kata Susan.
Ketika nelayan kecil makin tak berdaya, pemerintah daerah pun mengaku tak bisa berbuat banyak karena aturan yang bikin pemerintah pusat.
“Kita protes pun udah gak bisa!” kata Jenny Masniari, Kepala Bidang Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, saat sebut aturan perikanan tangkap problematik seperti Permen KP No. 36/2023.

Pasca aturan terbit, dia turut terlibat dalam agenda konsultasi publik di dua titik yakni, Belawan dan Kota Tanjung Balai. Jenny mendampingi pejabat pusat memaparkan regulasi kiwari itu ke nelayan-nelayan.
“Tapi kan udah jadi [peraturannya], kita protes pun udah gak bisa! Mereka [pejabat pusat] cuma menekankan ‘ini sudah [didasari hasil] penelitian berpuluh-puluh kali sama semua pakar, semua tenaga ahli ikut, sudah meneliti,’” katanya.
DKP Sumut, katanya, cuma punya kewenangan mengurus perikanan tangkap di bawah zona 12 mil laut oleh kapal berizin provinsi. Biasa kapasitas di bawah 30 GT.
Dia benarkan banyak nelayan kecil mengeluhkan beragam persoalan. Karena keterbatasan wewenang dan pengawasan, dia hanya bisa bantu berkoordinasi dengan pejabat terkait dari KKP, seperti Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) atau otoritas PPS.
Mansur, Kepala PPS Belawan, mengatakan, Permen KP No 36/2023 sudah jelas mengatur, terutama terkait alat tangkap. Peraturan itu dia sebut bentuk penyempurnaan dari Permen KP No. 18/2021, dengan lebih banyak mengakomodir kearifan dan kreativitas nelayan-nelayan di Indonesia.
“Di sini, di Sumut, mungkin masih ada kapal-kapal yang belum berizin atau sedang proses mengurus izin,” kata Mansur.
Dia bilang, kalau proses perizinan kapal-kapal pukat trawl menjadi JHIB masih berlangsung di PPS Belawan.
Memodifikasi alat tangkap, katanya, jadi persyaratan utama. “Di situ dilihat ada tiga poin, layak tangkap, layak simpan, dan layak laut. Layak tangkap antara lain terkait alat tangkap. Diukur semua. Kalau ternyata menurut petugas itu tidak sesuai, pasti tidak terbit [SKKP-nya]. Kan gitu.”
Josia Suarta Sembiring, Pelaksana Koordinasi OPS Pengawasan PSDKP Belawan, sebut, sudah ada pembeda jelas antara pukat trawl dengan JHIB.
“Memang konstruksinya sama, sama-sama di hela. Ada beberapa yang membedakannya dengan trawl, mereka tidak ada bola gelinding, rantai pengejut, kemudian jaringnya tidak berlapis,” katanya.
Josia tak menampik kalau pukat trawl atau JHIB sama-sama alat tangkap yang efektif untuk menjaring ikan.
“Kami kan operator di lapangan, yang buat peraturan di pusat. Jadi kami hanya tinggal menyesuaikan saja perizinan yang kami pegang. Kami juga di laut kami periksa. Sesuai dengan perizinan atau tidak.”
‘Curi’ wilayah tangkap, pengawasan?
Josia juga tak mengelak kalau masih banyak kasus tumpang tindih zona tangkap antara kapal besar dengan nelayan tradisional.
Berdasar hasil kerja PSDKP Belawan, sepanjang 2025, tercatat 40 kasus curi-curi wilayah tangkap oleh kapal besar ke zona di bawah 12 mil laut.
“Itu memang sering kami temukan kapal besar yang masuk ke pinggir, kalau kami temukan kami berikan tindakan. Sepanjang 2025 itu ada 40 kasus, 16 sudah diproses,” ucap Josia.
Proses penegakan hukum, katanya, berujung pada denda.
“Kalau saat ini sanksinya sanksi administrasi… kami hitung, ada rumusnya, nanti keluar hasilnya [denda], nanti dikembalikan ke negara. Pakai billing itu dikembalikan langsung ke negara. Nanti dibayar dia untuk bisa beroperasi kembali.”
Untuk pengawasan kapal, katanya, kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat, berimbas pada proses pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan tangkap.
Saat ini, PSDKP Belawan, kata Josia, hanya sanggup patroli tak sampai 30 hari kerja buat setahun ke depan. “Kalau dulu 365 hari [dalam setahun], kami bisa setengahnya [berpatroli], sampai 150 hari ke 180 hari.”
Dia bilang, patroli banyak biaya, dari BBM, uang layar, sampai logistik. “Kalau satu tahun itu, ini kami gak sampai satu bulan anggarannya. Kemungkinan nanti kalau banyak case bisa ditambah anggarannya. Tapi kan ini gimana di pusat, di pusat anggarannya [efesiensi].”
Efek domino dari kebijakan efisiensi anggaran berisiko mendorong penangkapan ikan destruktif. Nasib apes untuk ekosistem laut dan nelayan tradisional.
Guna tetap jaga ketertiban perikanan tangkap, kata Josia, sekarang petugas PSDKP Belawan lebih banyak kerja dari darat. “Jadi, strategi kami karena efisiensi itu, nongkrong di depan darmaga itu. Jaga di situ.”
Susan bilang, berdasarkan pengalaman Kiara mendampingi nelayan-nelayan tradisional di Belawan dan sekitar, pengawasan PSDKP sedari dulu memang minim.
“Belum ada efisiensi aja jarang patroli. Dari dulu selalu bilang tidak ada anggaran belanja yang cukup,” katanya.

Nelayan makin sulit, ekosistem terancam
Situasi di laut makin runyam. Nelayan kecil seperti Azahar lelah melawan kapal tangkap ikan besar dengan alat tangkap merusak.
Kondisi ini berdampak pada pemasukan mereka. “Kadang-kadang dapat Rp100.000, kadang enggak. Kadang-kadang dapat Rp50.000, kadang pulang kosong.”
Hasil tangkapan ikan di Selat Malaka, khusus laut sekitar Belawan, kian tak menentu. Seringkali, nelayan kecil harus berlabuh dengan tangan kosong, alias nihil hasil.
“Kalau dapat Rp100.000, misal, nanti bagi dua juga sama yang punya boat [kapal]. Terus minyak untuk melaut besok ngutang dulu. Terutang lagi, terutang lagi.”
Ketimbang berjudi pada hasil tangkap ikan yang kian hari kian sedikit, dia pilih cari kerja lain di darat.
Penurunan hasil tangkap nelayan diduga kuat karena penangkapan ikan berlebih (over fishing).
Dalam satu dekade terakhir, terjadi penurunan signifikan volume produksi perikanan yang didaratkan dan tercatat otoritas PPS Belawan.
Pada 2015, PPS Belawan mencatat 46.627,97 ton hasil perikanan sukses didaratkan. Angka itu anjlok pada tahun-tahun setelahnya.
Dalam dokumen Rencana Strategis PPS Belawan 2020-2024 menyebutkan, penurunan produksi perikanan pada periode 2015-2020 terjadi karena terbit Permen KP No. 2/2015 tentang larangan alat tangkap trawl (pukat hela). Hasil kapal pukat trawl tak tercatat otoritas PPS Belawan karena status terlarang.
Pasca pukat trawl ‘halal’ dengan syarat modifikasi menjadi JHIB pada 2023, tetap saja, hasil produksi perikanan yang tercatat pada 2024 hanya 11.435,97 ton. Merosot tajam. Kurang dari seperempat hasil produksi dibanding satu dekade silam.
Glaudy Perdanahardja, Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan Yayasan Konservasi Alam Nusantra (YKAN), mengatakan, ada indikasi kuat sudah terjadi over-fishing di WPP 571, terutama di perairan Belawan dan sekitar.
Berdasar data KKP (2023), kata Glaudy, catch per unit effort (CPUE) untuk beberapa jenis ikan demersal dan pelagis kecil mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Penurunan produksi perikanan di PPS Belawan terkait tingginya tekanan perikanan yang berlangsung cukup lama,” kata Glaudy.
Kalau tekanan perikanan terus berlangsung, dampak jangka panjang akan sangat serius.
Dampak kerusakan tidak hanya target spesies dan ekosistemnya juga masyarakat nelayan dan industri, terutama di pesisir yang bergantung pada perikanan sebagai sumber utama.
Vindy Rilani, akademisi Perikanan dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sumatera Utara (USU), menyebut, perubahan nama pada alat tangkap tidak mengubah pada praktik eksploitatifnya.
Jaring-jaring hela masih punya ukuran mata lubang kecil nan halus walau sudah modifikasi.
“Dari dulu memang tak terselesaikan. Mereka yang menyebut tak menggunakan pukat trawl, tapi punya modifikasi alat tangkap [menjadi JHIB]. Memang pukat trawl ini masih ada, masih banyak,” katanya.
Vindy bilang, pukat trawl maupun modifikasinya merupakan alat tangkap sangat destruktif bagi ekosistem laut. Alat ini bisa menyapu bersih segala biota dasar laut termasuk ikan yang masih di fase juvenil.
“Misal, kayak juvenil-juvenil yang tertangkap, otomatis tidak akan ada penambahan baru [beregenerasi], gitu kan. Nah, sehingga nantinya jadi permasalahan terhadap produksi ikan. Makin menurun.”
Juvenil ikan oleh masyarakat Belawan dikenal dengan nama “pasifik”. Kebanyakan ikan dalam kondisi mati dan membusuk saat pendaratan. Ikan kerap berujung jadi pakan ternak warga.
Kerakusan pukat trawl di dasar laut, ucap Vindy, dapat merusak terumbu karang sebagai habitat feeding ground atau tempat mencari makan maupun area pemijahan atau spawning ground.
Dalam beberapa penelitian mahasiswa USU di Belawan, katanya, acap kali ditemukan spesies-spesies dilindungi. Hewan laut yang masuk dalam daftar merah spesies terancam, atau IUCN Red List.
Vindy tidak bisa memastikan kalau temuan spesies daftar merah itu terkena jaring pukat trawl atau bukan.
“Terutama ikan pari gitar, Rhynchobatus australiae,” katanya.
Sisi lain, ada warganet di Facebook, berbagi momen tertangkapnya pari berukuran besar dengan menyebut lokasi “Belawan”.

Ada unggahan yang menunjukkan secara visual spesies pari gitar (Rhynchobatus australiae). Terdapat juga unggahan lain, melampirkan rekaman diduga pari manta (mobula), berukuran besar, tak berdaya setelah pendaratan.
Alat-alat tangkap tak ramah lingkungan, seperti pukat trawl atau modifikasinya, dia simpulkan berdampak buruk bagi laut di Belawan dan sekitar. Menghantar tuju pada kemusnahan ekosistem laut.
Vindy sebut, nelayan-nelayan tradisional kecil yang rasa dampak langsung. Area tangkap mereka tumpang tindih dengan para raksasa pukat trawl. Sekalipun ada, ikan-ikan itu kemungkinan kuat migrasi ke area lain yang lebih aman.
“Jadi, jangan sampai lokasi fishing road itu semakin jauh. Dampaknya pasti ke nelayan-nelayan kecil, bukan yang punya usaha besar.”
Terkait temuan spesies daftar merah baik PSDKP yang lakukan pengawasan atau PPS yang kerja mencatat di pelabuhan, Mansur mengaku tak pernah temukan kasus.
Kalaupun ada, pasti dan wajib lapor. “Harusnya itu dilaporkan, untuk dilindungi. Terus terang kalau saya belum dengar itu,” katanya.
Susan pun menyarankan KKP harus punya cara efektif dalam menyikapi masalah perikanan ini. KKP, katanya, tak semestinya memandang laut sebagai peluang keuntungan, tetapi juga sebagai sumber kehidupan bagi nelayan kecil.
“KKP harus punya skema yang integrated. Memang gak bisa sendirian, butuh yang lain, termasuk nelayan. Aku yakin, nelayan mau banget jaga lautnya,” jelas Susan.
Untuk itu, perlu pelibatan nelayan tradisional untuk jaga ekosistem laut.
“Masalahnya, KKP mau gak melibatkan nelayan?”

*****
*Karya jurnalistik ini didukung Environmental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli lewat program beasiswa liputan bertajuk “Jurnalis Kelautan: Pelatihan & Beasiswa Liputan 2025”