- Dasypeltis gansi adalah ular kecil dari Afrika yang mampu menelan telur dengan ukuran jauh lebih besar dari kepalanya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa secara proporsional, ular ini bisa mengonsumsi mangsa lebih besar dibanding piton Burma. Kemampuan ini dimungkinkan berkat kulit rahang bawahnya yang sangat elastis. Ini menjadikannya pemilik “mulut terbesar relatif terhadap ukuran tubuh” di dunia ular.
- Bentuk telur yang bulat dan licin mendorong evolusi ekstrem pada struktur rahang Dasypeltis gansi. Dengan rahang yang bisa membuka 50% lebih besar dari ukuran standar, ia menelan telur bulat utuh dan memecahkannya dari dalam tubuh. Penelitian ini membantah asumsi lama bahwa lebar kepala selalu mencerminkan lebar mulut pada ular. Bahkan ular tikus dan piton tidak mampu menandingi fleksibilitas rahang spesies ini.
- Meski tidak berbisa dan hampir tak bergigi, ular ini punya cara bertahan yang unik dengan meniru ular berbisa untuk menakuti predator. Ia membantu menyeimbangkan populasi burung di habitat seperti sabana dan hutan kering Afrika. Saat ini status konservasinya masih “Data Deficient” menurut IUCN karena kurangnya data. Namun, perubahan habitat dan perdagangan satwa liar bisa menjadi ancaman tersembunyi yang perlu diwaspadai.
Piton dikenal sebagai raja pemangsa di dunia ular. Kita sering mendengar kisah piton Burma yang menelan rusa, buaya, bahkan menyerang manusia. Tapi bagaimana jika ada ular mungil yang justru, secara proporsional, bisa makan lebih banyak dari sang raksasa?
Inilah Dasypeltis gansi, ular pemakan telur dari Afrika. Panjang tubuhnya hanya sekitar satu meter, tapi kemampuannya menelan telur jauh lebih besar dari kepalanya menjadikannya pemilik “mulut terbesar relatif terhadap ukuran tubuh” dari semua spesies ular yang pernah diteliti.
Menurut studi dari University of Cincinnati yang diterbitkan di Journal of Zoology, Dasypeltis gansi mampu menelan telur dengan luas penampang dua kali lebih besar dibandingkan piton Burma dengan berat tubuh yang setara. “Mereka mungkin bisa memecahkan rekor dunia,” ujar Prof. Bruce Jayne, penulis studi tersebut.
Mulut Paling Fleksibel di Dunia Ular
Dalam penelitian ini, Jayne dan timnya menggunakan probe 3D printing untuk mengukur secara akurat batas bukaan rahang (gape) dari beberapa spesies ular. Hasilnya? Dasypeltis gansi mampu menambahkan 50% lebih banyak area bukaan dibandingkan hanya 19% pada ular tikus hitam (Pantherophis obsoletus), dan bahkan lebih dari piton Burma yang sebelumnya diketahui mampu memperluas rahangnya hingga 43%.
Fleksibilitas luar biasa ini berasal dari kulit elastis di antara rahang kiri dan kanan bagian bawah, memungkinkan ular ini menelan telur berukuran besar secara utuh. Setelah masuk ke tubuh, telur itu dipecahkan dari dalam menggunakan tonjolan tulang belakang, isinya diserap, lalu cangkangnya dimuntahkan. Sebaliknya, banyak ular lain mencerna telur beserta cangkangnya.

“Ular ini sangat ekstrem dalam hal kemampuan membuka rahang,” kata Jayne. “Dan itu semua adalah hasil evolusi yang disesuaikan untuk mangsa berbentuk bulat seperti telur.”
Berbeda dengan tikus atau burung yang tubuhnya memanjang dan mengandung lebih banyak kalori per luas penampang, telur adalah mangsa yang relatif ‘tidak efisien’ secara kalorik. Bentuknya bulat seperti bola pingpong, dan sulit ditelan tanpa mulut yang sangat lebar.
“Itulah mengapa seleksi alam menekan spesies seperti Dasypeltis gansi untuk memiliki mulut selebar mungkin,” jelas Jayne. “Ini adalah respons evolusioner terhadap bentuk mangsa, bukan hanya ukurannya.”
Adaptasi lain termasuk mulut yang lunak, hampir tak bergigi , sempurna untuk mencengkeram telur yang licin tanpa merusaknya sebelum waktunya.
Baca juga: Bagaimana Ular Piton Menelan Utuh-Utuh Mangsa yang Lebih Besar dari Tubuhnya?
Melampaui Piton dan Ular Lainnya
“Sungguh spektakuler, tapi dalam skala kecil,” kata Jayne. “Biasanya orang terpukau melihat ular besar makan mangsa besar. Tapi jika dikoreksi berdasarkan ukuran tubuh, ular kecil ini justru jauh lebih ekstrem.”
Profesor Bryan Maritz dari University of the Western Cape, yang tidak terlibat dalam penelitian, memuji studi ini karena menggugurkan asumsi lama dalam herpetologi. “Selama ini kita mengira lebar mulut berkorelasi langsung dengan panjang kepala. Tapi studi ini membuktikan itu tidak selalu benar,” katanya.
Ular Ajaib Tanpa Gigi
Meski tidak memiliki bisa dan hampir tak bergigi, Dasypeltis gansi bukanlah ular yang mudah dikalahkan. Justru karena kelemahannya itulah ia berevolusi menjadi aktor ulung dalam dunia reptil. Ketika merasa terancam, ular ini akan melakukan pertunjukan menakutkan yang meniru perilaku spesies ular berbisa seperti viper saw-scaled (Echis spp.), yang memang sangat ditakuti di Afrika.
Ular ini akan meratakan kepala, menggembungkan bagian leher, dan menghasilkan suara desis khas dengan cara menggosokkan sisik-sisik tubuhnya, sebuah teknik unik yang disebut stridulation. Lalu, ia akan berpura-pura menyerang dengan gerakan mencolok dan mendadak, seolah hendak menggigit. Tapi jangan terkecoh—tidak ada bisa, tidak ada taring.

Jayne menyebutnya sebagai “toothless wonders”, atau “keajaiban tanpa gigi”. Mimikri ini adalah strategi bertahan hidup murni: membuat predator berpikir dua kali sebelum menyerang. Di dunia alam liar, tipuan visual dan suara seringkali cukup untuk menghindari perkelahian yang berisiko.
Adaptasi ini memperlihatkan kecerdikan evolusi—bagaimana spesies yang tampak tak berbahaya bisa memanfaatkan ilusi untuk mempertahankan diri, tanpa perlu senjata biologis seperti bisa atau cakar.
Baca juga: Trimeresurus insularis: Ular Langit dari Tanah Naga
Peran Ekologis yang Sering Terlupakan
Banyak orang cenderung memandang ular pemakan telur sebagai hama atau perusak sarang burung. Namun, pandangan ini kurang adil jika melihat dari perspektif ekologi. Dasypeltis gansi memainkan peran penting sebagai pengatur populasi alami di berbagai habitat Afrika—mulai dari sabana terbuka, hutan kering, hingga kawasan semak berduri.
Dengan memangsa telur-telur burung tertentu, ular ini membantu menjaga keseimbangan populasi burung kecil yang bisa menjadi dominan dalam suatu ekosistem. Ini sangat penting di ekosistem terbuka seperti sabana, di mana dinamika predator dan mangsa sangat rentan terhadap ketimpangan.
Selain itu, ular ini sendiri merupakan mangsa bagi burung pemangsa seperti elang dan burung hantu, serta mamalia kecil seperti cerpelai dan kucing liar. Artinya, keberadaan Dasypeltis gansi juga menyokong rantai makanan lebih tinggi, menjadikannya penghubung penting dalam siklus energi ekosistem.
Saat ini, Dasypeltis gansi belum masuk dalam daftar spesies yang terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature). Namun, spesies ini juga belum banyak diteliti secara mendalam dalam konteks populasi liar dan ancaman habitat. Informasi resmi dari IUCN menyebutkan statusnya sebagai Data Deficient (DD), yang berarti belum cukup data untuk menilai risiko kepunahan secara akurat.

Namun, seperti banyak spesies lain di Afrika, perubahan habitat akibat ekspansi pertanian, pembukaan hutan, dan urbanisasi berpotensi mengganggu populasi lokal ular ini. Terutama karena ular ini sangat tergantung pada keberadaan burung-burung yang bersarang di tanah atau semak rendah—jenis sarang yang paling rentan terhadap perusakan habitat.
Perdagangan hewan peliharaan eksotik juga menjadi perhatian, karena ular ini dikenal jinak, unik, dan tidak berbisa—daya tarik yang membuatnya rawan dieksploitasi secara komersial.
Karena itulah, meski belum dikategorikan sebagai spesies yang terancam, Dasypeltis gansi tetap memerlukan perhatian konservasi, khususnya dalam bentuk riset jangka panjang, monitoring populasi lokal, dan perlindungan habitatnya yang semakin menyempit.