- Longsor hebat melanda dataran tinggi di Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Jatten) awal tahun ini. Insiden yang tewaskan 25 orang itu diduga akibat massifnya alih fungsi lahan untuk berbagai kegiatan, termasuk pertanian dan pariwisata (cafe).
- Massifnya alih fungsi lahan meningkatkan risiko bencana, seperti longsor dan banjir bandang. Tak jarang, dampak bencana yang terjadi mengair jauh hing ke Kota Pekalongan. Tak ingin ada korban, Camat Petungkriyono Hadi Surono usulkan pemasangan early warning system (EWS), tetapi belum terealisasi hingga kini.
- Ratusan orang berkumpul di Desa Gumelem, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tangah (Jatten) melakukan penenaman untuk menghijauan kembali kawasan perbukitan di Petungkriyono yang gondul. Bibit yang merek tanam terdiri dari cempedak, nangka, hingga alpukat.
- Ralung Indonesia, organisasi masyarakat sipil yang mendampingi warga menolak untuk menilai bahwa para petani berkontribusi besar terhadap bencana yang terjadi di Petungkriyono tak adil. Pasalnya, para petani hanya menguasai 30% lahan disana. Sisanya, adalah milih Perhutani.
Seratusan orang berkumpul di Balai Desa Gumelem, Kecamatan Petungkriyono pagi itu. Warga menenteng berbagai jenis bibit pohon yang hendak mereka tanam di area perbatasan desa paling selatan Pekalongan dengan Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng).
Bibit pohon aren, beringin, cempedak, nangka, hingga alpukat yang khas sebagai tanaman konservasi tanah dan air mereka boyong kesana Selasa pagi (20/4/25). Area yang mereka tanami bibit-bibit itu berada di perbukitan, bagian bawahnya masuk Pekalongan sedangkan atasnya Banjarnegara.
Bukan perbukitan kosong, area itu penuh dengan aneka sayur-mayur. Ada kubis, bawang merah, kentang, hingga kopi. BIbit-bibit tanaman keras itu mereka tanam di sela hamparan tanaman sayur. Longsor yang tewaskan 25 orang pada Januari melatari kegiatan penanaman ini.
Ta’at, Kepala Desa Gumelem, mengatakan, tak ingin peristiwa di Kasimpar, desa tetangga yang berjarak empat kilometer di bawahnya itu kembali terulang. Terlebih lagi, tiga warga jadi korban . “Makanya, sekarang kita tanami supaya tanahnya tidak mudah longsor,” katanya.
Selain mengikat tanah, akar dari pepohonan juga bisa jadi filter alami racun pestisida. Beberapa bulan sebelummya, dua mata air di lokasi juga sempat terkontaminasi bahan kimia pertanian. “Padahal air ini juga untuk minum dan memasak, ini berbahaya buat kami,” kata Ta’at.

Alih fungsi lahan
Memasuki Gumelem, bukit terlihat gundul. Pohon-pohon besar hanya ada di puncak bukit dengan jumlah tak seberapa, sisanya jadi lahan pertanian sayur.
Ta’at bilang, alih fungsi hutan di bukit jadi pertanian sayur ini meningkat sejak lima tahun terakhir. “Kami tidak bisa banyak mengendalikan karena itu lahan milik warga sendiri, mereka juga butuh penghidupan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya,” katanya.
Meski begitu Ta’at berharap area Perhutani tetap jadi hutan dengan banyak pohon besar. Data perusahaan negara itu mencatat, luas Petungkriyono 7.358,5 hektar, 5.189,5 hektar kelolaan warga.
“Kami sendiri sulit mengendalikannya. Kami hanya bisa mengedukasi warga agar tidak membabat pohon.”
Pemerintah Desa Gumelem tak mencatat luas lahan yang berubah fungsi ini, tetapi Ta’at meyakini angka cukup besar. Begitu juga di Desa Kesimpar, hutan banyak beralih fungsi menjadi cafe dan penginapan.

Minim mitigasi
Purwo Subchi, Kepala Desa Kasimpar membenarkan masifnya alih fungsi hutan di wilayahnya. Dia menduga, perubahan bentang alam ini juga menyebabkan tanah longsor yang memakan puluhan korban jiwa awal tahun lalu.
Dia kesulitan menghentikan alih fungsi lahan oleh para petani. “Kami mau minta jangan membuka lahan untuk pertanian tapi itu untuk penghidupan warga sendiri, kami enggak bisa kasih pilihan pekerjaan lain.”
Begitu juga dengan peralihan lahan untuk cafe dan penginapan. Karena di lahan pribadi, pemerintah desa tak bisa melarang. “Kemarin yang kena longsor batu besar itu kan juga cafe yang baru dibangun.”
Warga, kata Purwo, sejatinya sudah menyadari dampak alih fungsi lahan di kawasan perbukitan curam itu. Karena tedesak kebutuhan ekonomi, mereka pun tidak bisa berbuat banyak. Setelah longsor, warga makin menyadari menjaga ekosistem hutan sangat penting.
Hadi Surono, Camat Petungkriyono katakan, alih fungsi hutan untuk pertanian makin massif, meski tak memiliki data pasti. Fenomena itu, katanya, terjadi karena permintaan sayur-sayuran yang terus meningkat termasuk untuk memasok industri makanan.
Menurut dia, komoditas pertanian itu dominan kentang. Dia mengusulkan, Pemerintah Pekalongan upayakan penyadartahuan dan pengendalian pertanian agar tak makin mengubah fungsi lahan . Pasalnya, bencana dampak alih fusngi hutan ini tidak hanya warga Petungkriyono yang rasakan, tetapi mengalir jauh hingga ke Kota Pekalongan.
“Kecamatan-kecamatan lain juga ikut terdampak.”
Di Kecamatan Kedungwini, misal, acapkali alami banjir parah. Tak jarang, banjir juga membawa material lumpur hingga menutup akses jalan. Dia pun berharap, permasalahan ini menjadi perhatian serius.
Bagi Hadi, alih fungsi hutan meningkatkan ancaman bencana di Petungkriyono. Saking tingginya risiko bencana disana, dia bahkan sudah buat laporan saat baru tiga bulan menjadi camat.
“Ya, karena longsor dan banjir,” katanya, seraya bilang, longsor yang tewaskan 25 orang awal 2025 ini yang terparah.
Sayangnya, kendati sebagai daerah dengan risiko bencana tinggi, tidak ada sistem peringatan dini atau early warning system (EWS). Padahal, sistem ini sangat penting untuk mencegah korban lebih banyak.
Hadi mengaku, mengusulkan pemasangan EWS tetapi hingga kini belum ada respons. “Kalau ada pasti korban jiwa bisa diminimalkan, kerugian material juga bisa dikurangi dengan langkah sigap pengamanan yang ada.”
Belum lagi soal penanganan pasca bencana dia nilai, sangat kacau. Mulai dari koordinasi tidak jalan, pemberian bantuan, tempat tinggal semetara untuk para korban, hingga manajemen trauma tak maksimal.
Meski begitu, kata Hadi, pengalaman itu jadi pembelajaran berharga untuk mitigasi bencana ke depan. “Termasuk konservasi lahan ini jadi bagian dari mitigasi itu sendiri, terutama untuk mencegah longsor besar terulang lagi.”

Jangan salahkan petani
Alih fungsi lahan untuk pertanian kuat menjadi pemicu longsor besar yang tewaskan 25 orang di Petungkriyono. Namun, Ralung Indonesia, organisasi masyarakat sipil yang mendapingi warga menepis itu.
Menurut dia, klaim para petani berkontribusi terhadap longsor tak sepenuhnya benar. Pasalnya, para petani hanya menguasai 30% lahan. Sisanya, milik Perhutani. “Alih fungsi lahan yang terjadi juga sepenuhnya tanggung jawab Perhutani,” kata Meiardhy Mujianto, Project Manajer Ralung Indonesia.
Dia menilai, tudingan alih fungsi lahan oleh para petani hingga memicu bencana besar itu tak adil. “Pernah kami cek secara lapangan luas Perhutani itu sekitar 72%, kalau terjadi alih fungsi lahan yang besar itu maka bukan salah petani saja,” kata alumni Fakultas Kehutanan UGM yang akrab disapa Antok itu.
Belum lagi, katanya, pemahaman pertanian warga Petungkriyono paling besar bukan dari petugas penyuluh atau dinas. Mirisnya pengetahuan bertani itu paling besar dari toko pertanian yang menjual produk-produk kimia.
Minimnya kehadiran negara di pertanian Petungkriyono menyebabkan model yang bercocok tanam ekstensif dengan bahan kimia. Dampaknya,, lahan pertanian makin tak subur hingga petani makin meluaskan wilayahnya.
Dua desa yang Relung Indonesia dampingi, kata Antok, sudah memiliki kesadaran pentingnya mikroba penyubur tanah ini. Secara perlahan mereka mulai menggunakan pupuk organik.
“Kemarin dua kelompok tani dari dua desa yang kami dampingi bikin rumah pengomposan mandiri, hasilnya lumayan ada 60 ton pupuk organik.”
Kehadiran rumah pengomposan ini jadi bukti komitmen petani untuk menjaga lingkungannya. Dia tekankan, perlu berikanan pemahaman yang tepat kepada masyarakat.
“Jadi, jangan salahkan petani setelah bencana terjadi, karena memang bukan sepenuhnya salah mereka, pemerintah juga harus bertanggung jawab.”
*****
Burung Hutan Petungkriyono jadi Buruan, Para Pemuda Jaga Bersama