- Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan satwa kunci di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGHS) Salak dengan luas mencapai 113.357 hektar. Di sini juga ada macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan elang jawa (Nisaetus bartelesi).
- Yayasan KIARA memiliki tiga program utama konservasi owa jawa, yaitu riset, pendidikan konservasi, dan pengembangan masyarakat. Kiara berusaha berkontribusi lebih banyak mendukung upaya konservasi pemerintah, masyarakat, dan komunitas.
- Muhammad Nur (37) atau Kang Nunuy, merupakan sosok yang lekat dengan upaya riset dan konservasi owa jawa di kawasan TNGHS.
- Bersama koleganya, Isra Kurnia, Indra Lesmana, Apud, Muhammad Azis, Omar, dan Alan, Nunuy keluar masuk hutan. Mereka bagian dari Tim Lapangan Javan Gibbon Research and Conservation Project (JGRCP) yang kini bertransformasi menjadi Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA).
Muhammad Nur (37) atau Kang Nunuy, bukan pemandu biasa. Dia adalah sosok yang lekat dengan upaya riset dan konservasi owa jawa (Hylobates moloch) di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
“Ini taik angin. Owa makan ini juga,” terangnya, sembari menunjuk batang pohon berlapis lumut tebal, Sabtu (28/6/2025).
TNGHS merupakan habitat penting yang menopang kelangsungan spesies dilindung ini. Di bentang hutan tersebut, Nunuy menjalankan perannya. Dia tak hanya mengenali jenis-jenis pakan owa beserta nama lokalnya, dari kisigung (Ficus villosa), buah darangdan leutik (Ficus cuspidata), juga paham tabiat dan ritme satwa endemik Jawa itu.
Bersama koleganya, Isra Kurnia, Indra Lesmana, Apud, Muhammad Azis, Omar, dan Alan, Nunuy keluar masuk hutan. Mereka bagian dari Tim Lapangan Javan Gibbon Research and Conservation Project (JGRCP) yang kini bertransformasi menjadi Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA).
Di hutan tropis yang banyak ditumbuhi pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha), mereka menjadi penjaga owa dan habitatnya. Tak hanya memantau pergerakannya, mereka juga mencatat perilaku dan pola jelajah, sekaligus menjadi jembatan antara sains dan warga lokal.

Dari dapur ke kanopi hutan
Nunuy tidak serta-merta jadi pengamat maupun penjaga primata berstatus Genting (Endangered/EN) ini. Perjalanannya dimulai dari dapur.
“Awalanya saya cuma masak buat tim peneliti Korea,” kenangnya.
Tak lama, Nunuy diajak ikut ke lapangan. Pada fase ini, dia belajar mengenali suara panggilan owa, membedakan pepohonan, dan menelusuri jalur-jalur transek yang dibuka sejak 2007 untuk keperluan habituasi -proses membiasakan owa dengan keberadaan manusia agar bisa diamati secara alami.
“Semakin banyak tamu, semakin terbuka wawasan saya.”
Berkat jam terbang tinggi dan semangat belajar, Nunuy dipercaya menjadi koordinator lokal untuk tim monitoring. Dari yang semula mencatat, kini mengajari anggota baru, memfasilitasi pelatihan, hingga memandu tamu dan mahasiswa magang.
“Sekarang pakai GPS, bisa langsung ambil titik koordinat. Dulu, saya diajak tarik-tarik X-Y pakai peta kertas.”
Dalam seminggu, biasanya, dia dan tim memantau tiga kelompok owa dengan kode A, B, dan S.
“Pemantauan kami lakukan dua hingga tiga hari setiap pekan, tergantung pada kelompok yang belum teramati. Setiap tim, terdiri tiga orang, bekerja gantian menjaga kesinambungan observasi.”

Tamatan STAI Nida El Adabi ini menyebut, momen penting pengamatan adalah dari pohon tidur, yaitu tempat owa menginap malam hari.
Hari pertama, tim biasanya berangkat pukul 07:00 WIB. Namun, hari kedua dan ketiga, mereka bergerak lebih pagi agar tiba sebelum owa bangun.
“Saat ia bergerak, kami sudah di bawahnya.”
Kegiatan ini menuntut stamina dan komitmen tinggi. Jalur menanjak dan medan yang menantang tak menghalangi tim melakukan observasi mendalam. Semua mereka lakukan demi mengumpulkan data penting dan populasi satwa yang dipanggil uwek ini.

Masyarakat subjek konservasi
Rahayu Oktaviani, Direktur Yayasan KIARA menjelaskan, keterlibatan masyarakat lokal dalam konservasi bukan sekadar partisipan simbolik. Mereka diajak sejak tahap perencanaan, pemetaan kebutuhan, hingga pengambilan keputusan.
Pendekatan ini berangkat dari pengalaman lapangan yang panjang, terutama sejak dia pertama kali bergabung dalam penelitian satwa yang persebarannya terbatas hanya di Pulau Jawa. Saat itu, Ayu berstatus mahasiswa IPB University, sekitar dua dekade lalu.
“Saat itu, saya banyak belajar dari teman-teman lokal. Mereka mengenal jalur, pohon, bahkan bisa mengidentifikasi suara burung atau owa hanya dari dengungan di kejauhan,” terangnya Minggu (20/6/2025).

Bersama Yayasan KIARA, yang dia dirikan dengan kolega, struktur itu dibangun perlahan. Tim lapangan tak hanya direkrut dari warga lokal, namun juga dilatih, dibayar layak, dan diposisikan sebagai bagian penting konservasi.
“Mereka profesional. Kami ingin mengangkat derajat pekerjaan konservasi di tingkat tapak.”
Ada tujuh anggota tim lapangan lokal yang aktif memantau owa jawa di wilayah kampung Citalahab, Sukabumi, Jawa Barat. Mereka bekerja dengan sistem rotasi dua minggu kerja, seminggu istirahat.
“Tujuannya, agar anggota tim tetap punya waktu untuk keluarga dan kegiatan lainnya, sehingga pekerjaan monitoring tidak menjadi beban.”

Kegiatan pemantauan telah memberikan banyak data penting, termasuk pola aktivitas, lokasi pohon tidur, musim kawin, hingga jumlah individu per kelompok. Ini bermanfaat sebagai penyusunan strategi konservasi berbasis bukti (evidence-based conservation).
“Daerah jelajah tiap kelompok owa sudah bisa kita petakan. Begitu pula pakan dan dinamika kelahiran.” Semua ini, katanya, tidak akan mungkin diperoleh tanpa kehadiran tim lokal yang konsisten di lapangan.
KIARA juga mendorong integrasi antara pendidikan dan pelestarian. Program edukasi konservasi yang dijalankan di sekolah-sekolah sekitar kawasan, kini telah menjadi agenda rutin.
Budhi Chandra, Kepala Balai TNGHS mengungkapkan, owa jawa merupakan satwa kunci di kawasan taman nasional dengan luas mencapai 113.357 hektar.
“Di sini juga ada macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan elang jawa (Nisaetus bartelesi),” tuturnya.
*****
Whitley Awards 2025: Cinta Rahayu Oktaviani pada Nyanyian Owa Jawa