- Proses penegakan hukum kasus perdagangan sisik trenggiling ilegal di Sumatera Utara terkesan setengah hati. Dari putusan di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai dan Kisaran, vonis hukum belum menyentuh aktor utama. Belum lagi, vonis hukum antara pelaku militer dan sipil yang jomplang. Berbagai kalangan pun menilai, praktik hukum seperti ini sulit ada efek jera bagi pelaku bahkan, terkesan tebang pilih.
- Di PN Tanjung Balai, misalnya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman penjara 3 tahun dan 4 bulan kurungan, serta denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan kepada Ahmad Bhaki Marpaung alias Kiki, Direktur PT Melda Jaya. Perusahaan tersebut pemilik kapal KM Fajar 99 yang tertangkap tangan petugas patroli Bea dan Cukai Teluk Nibung, Tanjung Balai, membawa 9 kantong sisik trenggiling dengan berat kotor 292,2 kg.Sisik trenggiling itu Rencananya akan mereka selundupkan ke Malaysia.
- Andi Sinaga dari Forum Investigator Zoo Indonesia, menilai ada tebang pilih dalam perkara ini. Dia minta Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan kasasi atas vonis bebas Eka Wahyuni untuk mempelajari peran Kiki Marpaung. Supaya, berkas yang mereka susun kali ini bisa memenjarakan Eka Wahyuni selaku pemilik sisik trenggiling.
- Sementara itu, vonis pada Serka M Yusuf dan Serda Rahmadi Syahputra, terdakwa penyelundupan 1,2 ton sisik trenggiling jauh dari angka normal. Majelis Hakim Peradilan Militer Kelas I Medan hanya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan pada kedua anggota TNI yang bertugas di Kodim Asahan itu.
Proses penegakan hukum kasus perdagangan sisik trenggiling ilegal di Sumatera Utara terkesan setengah hati. Dari putusan di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai dan Kisaran vonis hukum belum menyentuh aktor utama. Belum lagi, vonis hukum antara pelaku militer dan sipil yang jomplang. Berbagai kalangan pun menilai, praktik hukum seperti ini sulit ada efek jera bagi pelaku, bahkan terkesan tebang pilih.
Kasus di PN Tanjung Balai, Majelis Hakim menghukum tiga tahun empat bulan kurungan, denda Rp50 juta subsider satu bulan kepada Ahmad Bhaki Marpaung alias Kiki, Direktur PT Melda Jaya.
Perusahaan ini pemilik kapal KM Fajar 99 yang tertangkap tangan petugas patroli Bea dan Cukai Teluk Nibung, Tanjung Balai, membawa 9 kantong sisik trenggiling dengan berat kotor 292,2 kg. Sisik trenggiling itu akan mereka selundupkan ke Malaysia.
Dalam berkas dakwaan, Majelis Hakim menilai Kiki melanggar Pasal 21 Ayat (2) huruf d Jo. Pasal 40 Ayat (2) UU RI Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
“Vonis dikurangi masa penangkapan dan penahanan sementara, sedangkan terdakwa diperintahkan tetap ditahan dan barang bukti dikembalikan ke jaksa penuntut umum untuk perkara dengan terdakwa lain,” kata Joshua JE Sumanti, Ketua Majelis Hakim, Kamis (26/6/25).
Hakim menyebut, Kiki menyetujui permintaan Eka Wahyuni, pemilik ratusan sisik trenggiling agar mau membawa barang itu dengan KM Fajar 99. Kiki mendapat bayaran Rp1,5 juta.
Sebelumnya, dalam berkas terpisah, Majelis Hakim memvonis Syamsir, nahkoda kapal, satu tahun penjara, denda Rp50 juta, Januari 2025. Anehnya, Eka Wahyuni, pemilik sisik trenggiling, malah vonis bebas.
Andi Sinaga dari Forum Investigator Zoo Indonesia, menilai, ada tebang pilih dalam perkara ini. Dia minta Jaksa Penuntut Umum yang mengajukan kasasi atas vonis bebas Eka Wahyuni untuk mempelajari peran Kiki. Supaya, berkas yang mereka susun kali ini bisa memenjarakan Eka Wahyuni, pemilik sisik trenggiling.
Kiki juga harus berani bicara terbuka pada penyidik ihwal sosok Eka Wahyuni dan bagaimana komunikasi mereka terjalin.
“Jaksa harus jemput bola untuk memasukkan bukti baru melalui keterangan Kiki Marpaung.”
Dia melihat ada kejanggalan dalam dua kasus terpisah ini. Lantaran salah satu hakim yang memvonis bebas Eka Wahyuni juga menyidangkan perkara Kiki. Dalam dakwaannya, jaksa dengan jelas membeberkan keterlibatan Eka Wahyuni dan bagaimana komunikasi dengan Kiki.
Karena itu, dia minta Hakim Pengawas Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim yang memegang perkara Eka Wahyuni. “Supaya kita bisa mengetahui ada apa di balik vonis bebas ini.”

Tuntutan mini oknum militer
Kasus lain perdagangan sisik trenggiling ilegal yang lain, vonis pada Serka M Yusuf dan Serda Rahmadi Syahputra, terdakwa penyelundupan 1,2 ton sisik trenggiling sangat rendah.
Majelis Hakim Peradilan Militer Kelas I Medan hanya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara, denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan pada kedua anggota TNI yang bertugas di Kodim Asahan itu.
Ketua Majelis Hakim, Letkol Djunaedi Iskandar, menyatakan, kedua anggota TNI itu melanggar Pasal 40A Ayat (1) huruf f Jo Pasal 21 Ayat (2) huruf c UU Nomor 32/2024. Jo UU Nomor 5/1990 dengan turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dilindungi. Juga, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MenLHK/Setjen/KUM.1/6/2018 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis ini jelas jauh berbeda dengan tuntutan pada Amir Simatupang, warga sipil dalam perkara sama, yang JPU Kejaksaan Negeri Asahan tuntut tujuh tahun penjara. Amir berperan mencari pembeli di pasar gelap setelah barang bukti sisik trenggiling mereka keluarkan dari gudang barang bukti Polres Asahan.
“Saya cuma diminta untuk mengepak sisik trenggiling itu, Ibu dan Bapak Hakim. Saya bukan otak pelaku dan Jaksa harus menguak jaringan lain yang terlibat. Majelis hakim yang terhormat, Saya harap saya mendapat keadilan yang seadil-adilnya,” katanya dalam sidang pleidoi.
Sedang Bripka Alfi Hariadi Siregar, tersangka lain, melawan dengan mengajukan gugatan praperadilan ke PN Kisaran. Menurut dia, gugatan itu lantaran penyidik tidak memenuhi aturan hukum, salah satunya, tidak ada dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan status sebagai tersangka.
“Barang bukti berupa sisik trenggiling tidak ada di mobil saya dan tidak ada serah terima sisik trenggiling kepada dua oknum TNI itu,” dalih Alfi.
Setelah beberapa kali sidang, gugatan praperadilan itu hakim tolak, Rabu (9/7/25). Dalam amar putusan, hakim tunggal perkara itu menyebut penyidik Balai Gakkum Kementerian Kehutanan Wilayah Sumatera sudah memenuhi unsur hukum untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Mereka memiliki dua alat bukti permulaan dan lengkap.

Andi Sinaga, menyoroti vonis dua anggota TNI. Menurut dia UU Nomor 32 /2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebut kasus kejahatan satwa liar dilindungi memiliki sanksi pidana minimal tiga tahun, maksimal 15 tahun penjara, berlaku untuk perorangan.
“Mustahil majelis hakim dan Auditur tidak memahami UU Nomor 32 tahun 2024 itu. Minimal tiga tahun, maksimal 15 tahun. Ini penuh keanehan dan kejanggalan,” katanya.
Vonis ringan ini, katanya, menunjukkan Majelis Hakim Peradilan Militer Kelas I Medan, termasuk Auditur, tidak mendukung program pemerintah memerangi perdagangan satwa liar dan perlindungan trenggiling dari perburuan.
Padahal, katanya, satwa ini dalam status terancam punah hingga seluruh perangkat negara harus bisa melakukan perlindungan penuh.
Di lapangan, aparat penegak hukum sudah berupaya mencegah perdagangan satwa liar ilegal. Dengan vonis ini, katanya, bisa mengerdilkan upaya penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka.
“Periksa majelis hakim dan auditurnya. Peradilan benteng terakhir dalam penegakan hukum malah tak bisa diandalkan. Harusnya, kedua oknum TNI itu diberikan hukuman dua kali lipat lebih berat karena mereka aparat yang mengetahui aturan hukum yang melanggar aturan hukum itu sendiri.”
Kementerian Kehutanan, katanya, perlu menyosialisasikan UU 32/2024 pada hakim-hakim dan auditur Peradilan Militer seluruh Indonesia. Supaya, ada kesepahaman penanganan, sanksi hukum, kerusakan habitat hingga ancaman kepunahan dari populasi satwa dilindungi.
Peradilan umum sudah ada hakim bersertifikat lingkungan. Dia berharap, hal serupa ada di Peradilan Militer.
“Poin pentingnya, adalah hukuman, ganti rugi serta denda dan subsider nya harus diberikan maksimal bukan minimal. Karena ini Peradilan Militer dan terdakwanya adalah prajurit yang mengetahui tentang hukum, maka sangsinya juga harus dua kali lebih berat dari ancaman hukuman yang diberikan.”

*****