- Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), memperlihatkan, perkotaan di Pulau Jawa jadi kontributor tertinggi emisi gas rumah kaca (GRK) atau emisi karbon individu.
- Penelitian ini menegaskan, pentingnya pendekatan berbasis konteks dalam merancang kebijakan iklim. Perlu mempertimbangkan strategi pengurangan emisi tak bisa seragam tetapi perlu sesuai dengan karakteristik pengguna di masing-masing wilayah. Terutama, dalam tiga sektor penyumbang emisi terbesar yakni transportasi, makanan, dan rumah tangga.
- Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub, IESR memaparkan, secara umum, tiga sektor utama yang berkontribusi besar terhadap emisi total per individu di Pulau Jawa adalah transportasi 43,34%, makanan 34,91% dan rumah tangga 21,08%.
- Ari Sudianto, Deputi Bidang Pengendalian Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan tak ada manusia yang tak menyumbang peningkatan gas rumah kaca (GRK). Jadi, menanggulangi krisis iklim harus mulai dari individu.
Aktivitas manusia menjadi penyumbang besar peningkatan emisi karbon di atmosfer. Sejalan dengan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), memperlihatkan, perkotaan di Pulau Jawa jadi kontributor tertinggi emisi gas rumah kaca (GRK) atau emisi karbon individu.
Wilayah perkotaan di Jawa menghasilkan emisi per individu 3,4 ton setara karbon dioksida, lebih tinggi dari wilayah semi perkotaan dan perdesaan. Rinciannya, perkotaan rata-rata 3,397 tCO₂e, lalu 2,811 tCO₂e semi perkotaan dan perdesaan 2,332 tCO₂e. Untuk menyerap jumlah karbon itu perlu pelihara sekitar 25 pohon selama 20 tahun.
“Tingginya emisi individu wilayah perkotaan berasal dari sektor transportasi, makanan dan rumah tangga. Informasi ini penting untuk membantu pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merancang strategi yang tepat, seperti penerapan kebijakan terpadu di sektor transportasi,” kata Deon Arinaldo, Manajer Transformasi Sistem Energi IESR pada peluncuran kajian “Pola Jejak Karbon Individu Berdasarkan Profil Demografis di Kawasan Perkotaan, Semi Perkotaan, dan Perdesaan di Pulau Jawa,” penghujung Juli lalu.
Penelitian ini menegaskan, pentingnya pendekatan berbasis konteks dalam merancang kebijakan iklim. Perlu mempertimbangkan strategi pengurangan emisi tak bisa seragam tetapi perlu sesuai dengan karakteristik pengguna di masing-masing wilayah. Terutama, dalam tiga sektor penyumbang emisi terbesar yakni transportasi, makanan, dan rumah tangga.
Deon mengatakan, untuk menghitung jejak karbon individu, IESR mengembangkan platform Jejakkarbonku.id yang hingga 2025 telah ada 76.000 pengunjung.
Kesadaran kolektif terhadap jejak karbon individu, katanya, dapat mendorong upaya penurunan emisi, sekaligus menciptakan tekanan permintaan produk dan layanan rendah emisi.

Kajian IESR di sembilan wilayah yang mewakili karakteristik perkotaan, semi perkotaan, dan perdesaan, yaitu, Kota Jakarta Selatan, Bandung, dan Yogyakarta (perkotaan). Juga di Kota Bogor, Cirebon, dan Serang (semi perkotaan), serta Kabupaten Purworejo, Banjarnegara, dan Cianjur (perdesaan).
Total penduduk di sembilan wilayah ini 11,7 juta jiwa, dan responden penelitian 483 orang. Hasil kajian memperlihatkan, emisi individu di wilayah perkotaan mencapai 3,39 ton setara karbon dioksida per kapita per tahun.
Angka ini lebih tinggi dari wilayah semi perkotaan 2,81 ton, dan perdesaan 2,33 ton setara karbon dioksida per kapita per tahun.
Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub, IESR memaparkan, secara umum, tiga sektor utama yang berkontribusi besar terhadap emisi total per individu di Pulau Jawa adalah transportasi 43,34%, makanan 34,91% dan rumah tangga 21,08%.
Tingginya emisi dari sektor transportasi mencerminkan dominasi penggunaan kendaraan pribadi, keterbatasan transportasi publik yang efisien, serta meningkatnya mobilitas di perkotaan.
“Emisi total per individu dipengaruhi beberapa faktor, yaitu, jenis kelamin, penghasilan, usia, dan pendidikan terakhir. Faktor paling signifikan dan berpengaruh terhadap peningkatan emisi karbon adalah penghasilan,” katanya.
Konsumsi makanan olahan dan produk hewani menyumbang emisi tinggi karena proses produksi dan distribusinya. Sisi lain, emisi dari sektor rumah tangga dari penggunaan listrik dan bahan bakar seperti gas alam cair (liquefied petroleum gas/LPG) untuk kebutuhan domestik.
Irwan bilang, secara umum, kelompok dengan tingkat pendapatan dan konsumsi lebih tinggi berkontribusi lebih besar terhadap emisi GRK. Sebab, katanya, pola konsumsi mereka intensif, kendaraan pribadi, dan konsumsi energi tinggi.
Berbanding terbalik, katanya, dampak dari emisi justru terbesar yang merasakan masyarakat dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim.

Upaya pemerintah?
Ari Sudianto, Deputi Bidang Pengendalian Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon BPLH Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, saat ini bumi alami krisis besar atau sebutan umum, triple planetary crisis yaitu perubahan iklim, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Dia bilang, ketiga krisis itu saling berkaitan, yang paling mencolok adalah perubahan iklim.
“Perubahan iklim ini sudah di tahap survival. Misalnya, punahnya dinosaurus dengan keluarganya begitu itu karena perubahan iklim,” katanya.
Kala itu, perubahan iklim berimbas pada bencana pengaruh dari alam. Berbeda dengan sekarang, penyebabnya antropogenik atau dampak aktivitas manusia.
“Untuk mengatasinya ya harus dengan perubahan perilaku kita, manusia. siapa yang berbuat maka dia yang bertanggung jawab.”
Untuk itu, katanya, harus mulai dari gerakan individu lewat kesadaran diri. “Bahwa kita inilah yang menjadi aktor-aktor penyebab krisis iklim.”
Ari mengatakan, tak ada manusia yang tak menyumbang peningkatan GRK. Jadi, menanggulangi krisis iklim harus mulai dari individu.
“Misal, tadi transportasi kita bisa milih pakai mobil pribadi atau kendaraan umum.”

Muhammad Haris, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Konservasi, dan Perubahan Iklim Kota Bogor mengatakan, telah melancarkan inisiatif ramah iklim. Ada empat program pengendalian pencemaran dan perubahan iklim, pengolahan sampah berbasis 3R (reduce, reuse, dan recycle), pendidikan dan penyuluhan lingkungan hidup, serta penguatan penegakkan lingkungan hidup.
Pemerintah Kota Bogor juga lakukan inventori GRK dan rencana aksi daerah terkait penurunan emisi karbon.
Hasil pemantauan, katanya, jadi dasar penyusunan kebijakan dan target pengurangan emisi pada 2025 Kota Bogor 5,35%.
Rosmala Dewi, dari Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mengatakan, Pemerintah Jakarta mewajibkan para pegawai gunakan transportasi umum setiap Rabu. Itu tertuang dalam Instruksi GUbernur Nomor 6/2025.
Untuk moda transportasi umum, ada 200 bus listrik beroperasi dengan ttarget 2.000 hingga 2029. Kemudian, penggunaan pembangkit listrik tenaga surya di berbagai fasilitas pelayanan masyarakat.
Untuk kebijakan jangka panjang dan ekonomi karbon Pemerintah Jakarta memiliki Peraturan Gubernur Nomor 90/2021 tentang rencana pembangunan rendah karbon yang berketahanan iklim.
Rosmala bilang, ini peraturan gubernur pertama di Indonesia yang mengintegrasikan aksi adaptasi dengan mitigasi perubahan iklim.
*****