- Buah ridan (Nephelium maingayi Hiern.) merupakan tumbuhan hutan yang sering dijadikan lalapan oleh masyarakat yang hidup di sekitar lahan basah Sungai Musi.
- Meskipun berada dalam famili yang sama dengan rambutan, buah yang tumbuh di hutan-hutan Asia Tenggara termasuk Indonesia ini, memiliki ukuran yang lebih kecil dan tidak memiliki “rambut”.
- Masyarakat lokal di Sumatera hingga Kalimantan memanfaatkan buah ridan sebagai sumber pangan, nutrisi serta obat-obatan. Dan ini dikuatkan oleh penelitian yang menemukan beragam senyawa penting pada buah ridan yang berpotensi baik bagi kesehatan.
- Penelitian menunjukkan, buah-buahan liar yang sering dimakan, menawarkan cara menjanjikan untuk mencapai tujuan-tujuan perjanjian internasional dalam mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim.
Masyarakat di sekitar lahan basah Sungai Musi menyimpan pengetahuan tentang aneka jenis lalapan bercita rasa unik, yang hadir di meja makan siang mereka.
Jenis lalapan umumnya daun-daunan, namun tidak jarang buah-buahan yang semuanya diperoleh dari hutan. Misalnya, buah ridan yang menjadi lalapan wajib di Desa Tempirai, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan.
Warnanya merah mencolok. Rasanya sedikit manis bercampur asam menyegarkan, teman makan yang cocok untuk pekasam (fermentasi ikan).
“Selain sebagai lalapan, buah ini juga bisa jadi obat sembelit (sakit perut),” kata Hoimi, warga Desa Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [PALI], Sumatera Selatan, akhir Juni 2025.
Di Tempirai, pohon ridan biasa tumbuh di jongot, sebutan untuk kebun buah hutan yang dimiliki keluarga pada masyarakat Penukal di Kabupaten PALI.
“Saat membuka kebun, biasanya masyarakat menyisakan jenis pohon hutan yang bermanfaat seperti ridan, perian, ataupun tumbuhan pengganti gula seperti rendingan. Semuanya ditujukan untuk memenuhi pangan keluarga,” kata Muhammad Faizal, tokoh masyarakat serta Ketua Rumah Budaya Tempirai.
Pohon ridan, menurut Faizal, biasanya hanya berbuah satu hingga dua kali setahun, khususnya di rentang Januari hingga Maret. “Tidak jauh saat musim duku,” lanjutnya.

Buah ridan (Nephelium maingayi Hiern.) yang termasuk Famili Sapindaceae, adalah tanaman liar yang tumbuh di hutan-hutan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Jenis ini berada dalam famili yang sama dengan leci (Litchi chinensis S.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), dan lengkeng (Dimocarpus longan L.).
Uniknya, meskipun satu keluarga dengan rambutan, buah ridan tidak memliki ciri-ciri “rambut” seperti yang dimiliki sebagian besar anggota Nephelium. Ukuran juga lebih kecil, sekitar dua sentimeter.
Berdasarkan penelitian di Kabupaten Kuantan Singingi dan Kampar, Provinsi Riau (Sofiyanti dan kolega, 2021), buah ridan atau redan memiliki warna kulit bervariasi dari merah muda hingga merah tua, berdasarkan bentuk buah.
Total ada tiga bentuk buah berbeda yang diidentifikasi dari Riau, yaitu berbentuk oval, asimetris, dan bulat. Setiap bentuk buah memiliki warna kulit berbeda.
“Warna-warna ini menunjukkan kandungan fitokimia yang tinggi pada kulit buah ridan,” tulis penelitian tersebut.

Manfaat kesehatan
Secara umum, buah ridan sejak lama dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi penting serta obat-obatan. Misalnya di Kalimantan Tengah, buah ridan atau disebut buah untit oleh masyarakat Suku Dayak Ngaju, sering digunakan sebagai obat sakit perut, obat luka, ruam, jerawat, dan bisul.
“Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah buah, daun, batang, dan kulit kayu,” tulis penelitian Pujiarti dan kolega, (2021).
Lebih lanjut, dalam skrining fitokimia pada kulit buah, aril, dan biji dalam penelitian Sofiyanti dan kolega (2021) menemukan bahwa kulit buah ridan memberikan kandungan fitokimia tertinggi (alkaloid, terpenoid, flavonoid, saponin, dan tanin).
“Terpenoid dan saponin ditemukan pada kulit, aril, dan biji dari tiga bentuk buah berbeda,” tulis penelitian tersebut.
Masih penelitian yang sama, terpenoid mampu melawan kuman, berperan sebagai antioksidan, antikanker, dan pelindung saraf. Ada pula flavonoid yang sangat penting karena sifat antibakteri, antijamur, antivirus, antiradang, hingga antikankernya.
Flavonoid hanya terkandung pada kulit buah, tidak pada aril maupun biji. Bahkan, kulit buah ridan secara umum menjadi bagian paling kaya fitokimia, dengan identifikasi lima jenis senyawa aktif: alkaloid, terpenoid, flavonoid, saponin, dan tanin.
“Mengingat banyaknya senyawa yang biasanya ditemukan pada tanaman obat, studi mendalam tentang khasiat medis ridan, khususnya dari kulit buahnya, sangat dianjurkan,” tulis Sofiyanti dan kolega (2021).
Selain ridan, rambutan (N. lappaceum) juga dikenal memiliki kandungan antioksidan yang tinggi.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki kekayaan buah-buahan luar biasa, tidak kurang 329 jenis (mencakup 61 suku dan 148 marga) baik yang asli maupun pendatang.
“Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari sekitar 400 jenis buah yang dapat dimakan di Asia Tenggara ditemukan di Indonesia,” tulis penelitian Uji (2007).
Dari data yang terkumpul, 266 jenis buah asli Indonesia telah teridentifikasi, sebagian besar masih tumbuh liar di hutan dan hanya sebagian kecil yang sudah dibudidayakan.
Mayoritas dari buah-buahan ini adalah pohon (203 jenis), diikuti liana (26 jenis), perdu (17 jenis), herba (14 jenis), dan semak (4 jenis). Dominasi jenis pohon (76 persen) ini berarti pengembangan varietas buah-buahan lokal akan memerlukan waktu yang lama karena umur panjang pohon.
Selain itu, tercatat 62 jenis sudah dibudidayakan, 18 jenis endemik (hanya ada di Indonesia), dan 4 jenis termasuk tumbuhan langka, yakni kerantungan (Durio oxleyanus), lahong (Durio dulcis), lai (Durio kutejensis), dan burahol (Stelechocarpus burahol).
Secara geografis, Sumatera menjadi wilayah dengan jenis buah terbanyak (148 jenis), disusul Kalimantan (144 jenis), Jawa (96 jenis), Sulawesi (43 jenis), Maluku (30 jenis), Nusa Tenggara (21 jenis), dan Papua (16 jenis), sementara 34 jenis lainnya tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah jenis di Papua yang paling sedikit mungkin disebabkan oleh minimnya data yang dilaporkan.
“Empat marga buah-buahan asli Indonesia teridentifikasi memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpotensi besar untuk dikembangkan secara prioritas adalah Durio spp. (keluarga durian), Mangifera spp. (keluarga mangga), Garcinia spp. (keluarga manggis), dan Nephelium spp, (keluarga rambutan),” jelas penelitian tersebut.

Pengetahuan lokal
Penelitian González-Zamorano dan kolega (2025) menunjukkan bahwa banyak perjanjian internasional kini fokus pada sistem pangan berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim.
“Buah-buahan liar, sebagai bagian umum dari tanaman liar yang sering dikonsumsi, menawarkan cara menjanjikan untuk mencapai tujuan-tujuan ini,” tulis González-Zamorano dan kolega.
Meskipun sudah banyak upaya untuk melestarikan keanekaragaman buah liar, diperlukan kerangka kerja baru yang mempertimbangkan aspek keanekaragaman hayati, pangan, dan pertanian secara multidisiplin untuk pertanian berkelanjutan.
Dalam tinjauan ilmiah, lebih dari seratus studi mengaitkan buah-buahan liar dengan kesehatan manusia, menekankan perannya sebagai sumber senyawa bioaktif yang bermanfaat.
Namun, kurang dari 15 persen studi tersebut yang benar-benar membahas kontribusi buah liar terhadap keberlanjutan lingkungan.
“Ini berarti sebagian besar fokus masih pada manfaat gizi dan kesehatan, seringkali mengabaikan peran penting buah liar dalam konservasi alam, pelestarian pengetahuan lokal, dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitarnya,” lanjut González-Zamorano dan kolega.
Pemanfaatan buah-buahan liar sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak zaman prasejarah, menghasilkan pengetahuan mendalam tentang nilai obat dan gizinya.
Mengintegrasikan buah-buahan ini ke dalam praktik pertanian berkelanjutan sangatlah penting. Buah-buahan liar menawarkan pilihan nutrisi yang menjanjikan, terutama di daerah yang rawan pangan, dengan mendiversifikasi pola makan dan mengurangi tekanan pada pertanian konvensional.
“Memanfaatkan spesies tumbuhan liar, terutama buah-buahan, adalah strategi kunci untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman moderen, yang pada akhirnya dapat memperkuat ketahanan pangan secara berkelanjutan,” tegas González-Zamorano dan kolega.
Referensi:
González-Zamorano, L., Cámara, R. M., Morales, P., & Cámara, M. (2025). Harnessing edible wild fruits: sustainability and health aspects. Nutrients, 17(3), 412.
Pujiarti, D., Gunawan, G., & Pujawati, E. D. (2021). Autekologi dan Pemanfaatan Buah Untit (Nephelium maingayi Hiern) oleh Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. BIOSCIENTIAE, 18(1), 12–27.
Sofiyanti, N., Isda, M. N., Fitmawati, F., Agesti, A. R. A., Taufik, I., & Sari, M. (2021). Phytochemical Contents of Underutilized Edible Plant from Riau Province, Ridan (Nephelium maingayi Hiern â ⬠â Sapindaceae). Jurnal Biologi Tropis, 21(2), 353–360.
Uji, T. (2007). Keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia dan potensinya. Biodiversitas, 8(2), 157–167.
*****