- Aktivitas pemanfaatan tiga pulau kecil di Kepulauan Riau (Kepri) pemerintah setop sementara. Ketiga pulau yang Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Pesisir (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hentikan adalah Pulau Citlim (Kabupaten Karimun), Pulau Kapal Besar, dan Kapal Kecil di Kota Batam.
- Di Pulau Citlim, KKP dapati tambang galian C milik PT. Jeni Prima Sukses (JPS). yang beroperasi sejak 2010 tanpa adanya rekomendasi dari KKP terkait pemanfaatan pulau-pulau kecil. Sementara di Pulau Kapal Besar dan Kapal Kecil, kegiatan reklamasi oleh PT. Dewi Citra Kencana (DCK) berlangsung tanpa izin.
- Sisi lain, pemanfaatan ilegal pulau kecil di Kepri tak ubahnya fenomena gunung es. Mengutip Tempo, sedikitnya 3.000 kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia untuk pariwisata yang tak berizin. Kepri termasuk daerah dengan pelanggaran paling banyak.
- Parid Ridwanuddin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara Parid Ridwanuddin mengkritik langkah PSDKP yang hanya ‘menghentikan sementara’ kegiatan di ketiga pulau tersebut. Pasalnya, ada dua pelanggaran sekaligus dilakukan para pelaku. Pertama, penambangan di pulau-pulau kecil, dan kedua, aktivitas tersebut berlangsung tanpa izin.
Aktivitas pemanfaatan tiga pulau kecil di Kepulauan Riau (Kepri) pemerintah setop sementara. Ketiga pulau yang Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Pesisir (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hentikan adalah Pulau Citlim (Kabupaten Karimun), Pulau Kapal Besar, dan Kapal Kecil di Kota Batam.
Di Pulau Citlim, KKP menyetop tambang galian C milik PT. Jeni Prima Sukses (JPS) yang beroperasi sejak 2010 . Meski peroleh izin operasi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), perusahaan ternyata belum kantongi rekomendasi dari KKP terkait pemanfaatan pulau-pulau kecil. Aktivitas tambang juga mencemari laut.
Sementara di Pulau Kapal Besar dan Kapal Kecil, PSDKP menghentikan aktivitas reklamasi ilegal oleh PT Dewi Citra Kencana (DCK). Kegiatan itu tanpa rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dari KKP dan tidak ada persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) untuk reklamasi.
“Upaya ini bentuk KKP hadir merespon pengaduan masyarakat atas kegiatan di pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya yang tidak sesuai aturan, serta menimbulkan dampak pencemaran dan dugaan kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan,” ujar Pung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dalam siaran resmi KKP di Jakarta, 21 Juli 2025.
Dia bilang, penegakan aturan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/2021 yang memberikan kewenangan tindakan lain oleh Polsus PWP3K berupa penghentian sementara kegiatan. Sesuai Peraturan Menteri KP 10/2024 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya, pemanfaatan pulau-pulau kecil seharusnya mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari KKP.
Begitu juga dengan pemanfaatan ruang laut untuk reklamasi, harus memiliki PKKPRL dan izin reklamasi sesuai Peraturan Menteri KP 28/2021. Ketentuan ini juga ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28/2025 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
“Kami akan mendalami lebih lanjut temuan awal ini sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Ipunk, sapaan akrabnya.
Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi Indonesia memverifikasi di lapangan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil itu. Dia pun mempertanyakan langkah KKP yang tidak memasukkan Pulau Pial ke dalam daftar segel. KKP juga menemukan aktivitas serupa (menimbun mangrove) di pulau ini.

Kritik penyegelan
Mongabay berkunjung ke Pulau Kapal Besar dan Kapal Kecil, dua minggu sebelum penindakan oleh PSDKP. Dari yang terlihat, sebagian pulau itu hancur lebur, hutan mangrove hilang karena pematangan dan penimbunan mangrove untuk reklamasi.
Di Pulau Kapal Besar, reklamasi sudah hampir 100% mengelilingi pulau seluas delapan hektar itu. Tampak pula hutan yang terbuka di bagian tengah untuk akses jalan.
Sedangkan di Pulau Kapal Kecil, aktivitas reklamasi masih berlangsung sebagian. Pun demikian, perubahan bentang di ketiga pulau ini terlihat jelas melalui citra satelit google earth.
Pengelola ketiga pulau ini berada di bawah DCK, satu pemilik dengan PT Trituna Sinar Benua (TSB), perusahaan perhotelan di Pulau Nirup. Sama halnya Pulau Nirup, ketiga pulau itu berada di perbatasan antara Batam dan Singapura.
Rio Eko Putro, Manager Legal DCK mengatakan, menurut rencana, reklamasi di Pulau Kapal Besar dan Kapal Kecil untuk bangun hotel bintang lima.
“Pulau Pial setelah izin selesai kami akan bangun juga, itu masuk PT Trituna Sinar Benuar. Dan yang di Pulau Pial, PSDKP sudah BAP kami, sudah kami submitkan perizinannya,”katanya, kepada media, 19 Juli 2025.
Hendrik sudah verifikasi lapangan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil itu. Dia pun mempertanyakan langkah KKP yang tidak memasukkan Pulau Pial ke daftar segel. Mereka juga menemukan aktivitas penimbunan hutan mangrove di pulau ini.
“Mereka mungkin sudah mengajukan izin, tapi kan kalau masih proses. Artinya, aktivitas mereka saat ini termasuk ilegal,” katanya,
Dia bilang, penguasaan pulau-pulau kecil oleh para investor itu merugikan warga dan nelayan. Dia mendesak, KKP menindak tegas para pelaku dengan memprosesnya secara pidana.
Ipunk mengatakan, memang di Pulau Pial terjadi pemanfaatan pulau melakukan kegiatan di darat ada penebangan bakau di daerah pesisirnya. “Itu yang sedang kami dalami.”

Desak jerat pidana
Parid Ridwanuddin, peneliti Kelautan Auriga Nusantara mengkritik, langkah PSDKP karena hanya ‘menghentikan sementara’ kegiatan di ketiga pulau itu. Pasalnya, ada dua pelanggaran sekaligus yang para pelaku lakukan.
“Pelanggaran pertama yaitu penambangan pulau-pulau kecil, kedua aktivitas di pulau kecil itu dilakukan secara ilegal,” katanya, 24 Juli 2025.
Penghentian sementara dan meminta pelaku mengurus izin mempertegas bahwa pemerintah memaklumi terjadinya pelanggaran.
Seharusnya, pemerintah merujuk pada perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur pemberian sanksi pidana. Bukan malah menjadikannya sebagai pelanggaran administratif semata.
Dia bilang, pengelolaan pulau besar tidak bisa sama dengan pulau kecil, misal, tentang alokasi minimal 30% hutan pada pulau besar.
“Pulau kecil itu, jangankan 30%, misalnya habis 20% atau 40% persen saja hutannya, itu sangat terganggu, apalagi kalau hanya disisakan 30 persen,” katanya.
Karena itu, bila KKP berkomitmen terhadap keseimbangan ekologi, para pemanfaat pulau-pulau kecil yang jelas merusak ekosistem, seharusnya kena proses pidana, sebagaimana UU 27/2007. Ancaman hukuman denda maksimal Rp20 miliar atau penjara maksimal 10 tahun.
“Jadi, kegiatan di pulau-pulau kecil tanpa izin itu jangan dinormalisasi. Apalagi KKP memberikan waktu ke perusahaan untuk melengkapi dokumen izin setelah itu bisa beroperasi lagi,” kritik Parid.
Dia mengatakan, Pasal 23 UU 27/2007 memberi prioritas kegiatan di pulau-pulau kecil yakni, tidak menyebabkan daya dukung ekologis melemah, seperti riset, pengembangan, dan pendidikan.
“Reklamasi yang jelas-jelas akan menghancurkan ekosistem perairan itu tidak ada disitu.”
Belum lagi putusan Mahkamah Konstitusi 3/2010 itu yang melarang adanya upaya privatisasi karena pulau kecil hak publik.

Hanya kejar PNBP
Parid melihat, meningkatnya aktivitas investasi di pulau-pulau kecil merupakan target pemerintah pemasukan pertumbuhan ekonomi delapan persen. Hingga pemerintah mengutak-atik ruang laut.
“Sebenarnya boleh saja ya, selama tujuan melindungi ekosistem laut dan masyarakat yang punya ketergantungan tinggi dengan ekosistem itu lalu terpinggirkan. Kalau ini kan tidak, otak-atik untuk kepentingan bisnis, ini negara artinya menjual sumber daya kepada entitas bisnis.”
UU Dasar 1945 Pasal 33, kata Parid, menempatkan demokrasi, keseimbangan, keadilan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sebagai penyelenggaraan ekonomi. Akan tetapi, pemerintah seolah meninggalkan prinsip tersebut demi mengejar PNBP.
Banyak kasus memperkuat analisa Parid. Di Pulau Poto, Kabupaten Bintan, misal, hamparan karang terancam industri PSN, begitu juga di Manado, Teluk Jakarta hingga Maluku Utara yang terdampak reklamasi untuk nikel.
“Jadi kalau KKP memberikan ruang, pelaku melengkapi administratif, maka jargon ekologi sebagai panglima sudah tidak layak diucapkan menteri KKP.”
Sisi lain, pemanfaatan ilegal pulau kecil di Kepri tak ubahnya fenomena gunung es. Mengutip Tempo, sedikitnya 3.000 pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia untuk pariwisata yang tak berizin. Kepri termasuk daerah dengan pelanggaran paling banyak.
*****