- Banyak wilayah di Indonesia menggunakan nama pohon sebagai identitas. Meski begitu, pohon aslinya sudah jarang ditemukan. Contohnya, pohon Timoho yang banyak tumbuh di Yogyakarta, kini nyaris punah.
- Penyebab punahnya pohon lokal di wilayahnya karena program penanaman pohon jati secara masif sejak era Orde Baru. Ini justru mengurangi keanekaragaman hayati dan memicu kekeringan.
- Festival Kiamat Ekosistem 2025 mengangkat tema utama Maju ke Belakang, Mundur ke Depan yang berupaya membaca ulang jejak masa lalu, menyadari ketegangan masa kini, dan membuka celah harapan bagi masa depan. FKE sudah terselenggara sejak 2024 dengan menghadirkan berbagai ruang isu sosial, ekonomi hingga seni.
- Tak hanya punahnya pohon lokal, kiamat ekosistem juga dipicu eksploitasi hewan. Seperti peternakan ayam kandang baterai yang menyalahi kesejahteraan hewan dan mencemari lingkungan. Praktik ini meningkatkan risiko penyakit zoonosis yang bisa menular ke manusia.
Kamu sering mendengar wilayah atau jalan yang menggunakan nama-nama pohon? Pondok Aren, Maja, Kepuh, Gayam hingga Timoho. Banyak wilayah menggunakannya, tapi tapi nama-nama itu kini sudah tercerabut dari asal-usulnya. Misalnya, Timoho di Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Sedangkan pohon Timoho (Kleinhovia hopita) yang khas dengan batang kuning pucat, daun berbentuk jantung, dan bunga berwarna merah jambu ini sudah jarang ditemui.
Ida Mandalawangi, penggagas Laboratorium Sedusun mengonfirmasi penggunaan nama Timoho sebagai wilayah yang asal-usulnya dari pohon tersebut. “Dulu di Timoho banyak pohon jenis tersebut makanya diberi nama itu, sekarang sudah sulit dijumpai di sana makanya kami juga lakukan pembibitan untuk konservasi,” jelasnya saat Festival Kiamat Ekosistem (FKE) di Omah Lor, Sleman pada awal Agustus (2/8/2025).
Melalui sesi sesi Menelusuri Jejak Tumbuhan yang Hilang, Ida menyebut hilangnya berbagai jenis pohon yang jadi nama wilayah itu bagian dari kerusakan ekosistem. Bahkan jumlahnya kini nyaris punah. “Wilayah yang namanya menggunakan nama pohon umumnya karena di situlah habitat alaminya, kalau sekarang sudah punah maka ekosistem wilayah itu rusak,” tegasnya.

Pendataan Laboratorium Sedusun di Kabupaten Gunungkidul mencatat dari ada 500 dari 1.431 dusun yang wilayah menggunakan nama pohon. “Penelusuran kami dusun yang pakai nama pohon mulai dilupakan sejak Orde Baru, saat pemerintah menanam pohon jati secara masif di tiap wilayah,” ungkapnya.
Hal ini terbukti dari data Pemda DIY pada 2007 yang mencatat 50% luas kabupaten Gunungkidul telah ditanami jati. Bahkan, 70,4% pohon di wilayah Yogyakarta merupakan jati. “Padahal jati bukan tanaman lokal disana, apalagi pohon ini boros air dan mudah menyebar penyerbukannya, akibatnya keanekaragaman hayati di Gunungkidul berkurang,” papar Ida.
Menurunya populasi pohon lokal akibat proyek penanaman jati ini. Hal ini berakibat pada meningkatnya kekeringan di Gunungkidul karena kekurangan vegetasi penyimpan air.
Laboratorium Sedusun menyiasati kiamat ekosistem dengan menghidupkan lagi pohon lokal. “Karena pohon lokal ini punya sejarah di habitatnya, jadi identitas wilayah juga, sehingga harapannya meningkatkan partisipasi warga khususnya generasi muda,” katanya.

Upaya konservasi ini, bagi Ida, adalah perayaan kiamat ekosistem. Adaptasi krisis iklim ini masih memberikan harapan untuk masa depan dengan inisiasi memperbaiki ekosistem mulai dari sekarang.
FKE 2025 mengangkat tema utama Maju ke Belakang, Mundur ke Depan yang berupaya membaca ulang jejak masa lalu, menyadari ketegangan masa kini, dan membuka celah harapan bagi masa depan.
Festival lingkungan ini terselenggara sejak 2024 dan membahas mulai dari isu sosial, ekonomi, hingga seni. FKE menyediakan ruang untuk menampilkan beragam alternatif pilihan untuk bertahan di tengah kiamat ekosistem. Seperti dilakukan Ida dengan Laboratorium Sedusun yang berbasis di Gunungkidul dengan konservasi berbasis budaya.
Baca juga: Sri Hartini, Sosok Perempuan Pelindung Hutan di Gunungkidul
Menjaga ekosistem, memperlambat krisis iklim
Tak hanya bicara pohon yang hampir punah, begitu juga dengan hewan. Elly Mangunsong, Direktur Program Advokasi Kesejahteraan Hewan Animal Friend Jogja menyebut cara hidup manusia yang mengutamakan kepentingannya (antroposen) adalah cikal krisis iklim.
Peternakan ayam kandang baterai menjadi contoh buruk relasi manusia dan hewan. Kandangnya, kata Elly hanya seukuran kertas HVS demi untuk memenuhi kebutuhan protein murah bagi manusia.

Selain tak sesuai kesejahteraan hewan, peternakan ayam kandang baterai juga dinilai tak ramah lingkungan. Elly mencontohkan praktik pengolahan limbah yang dalam banyak kejadian mencemari lingkungan. “Perilaku eksploitasi terhadap hewan ternak seperti ayam petelur ini berdampak buruk pada ekosistem yang nantinya juga ditanggung manusia juga,” ungkapnya dalam diskusi Relasi Manusia dan Hewan di Tengah Kiamat Ekosistem.
Penggunaan obat untuk pertumbuhan cepat turut menyebabkan cemaran sekitar peternakan. Dampaknya, merebaknya zoonosis yang mampu menginfeksi kesehatan manusia seperti flu burung. “Kalau ayam diternakkan tanpa kandang baterai dan difasilitasi untuk berperilaku alami maka tidak mudah stres dan kekebalan imun meningkat, sehingga tidak mudah jadi wabah,” terangnya.
Tak hanya terjadi pada hewan ternak, perilaku eksploitasi manusia juga terjadi pada satwa liar. Indira Nurul Qomariah, Asisten Direktur Center of Orangutan Protection menyebut ancaman paling besar satwa liar terjadi karena alih fungsi lahan pada habitat satwa.

Perburuan dan perdagangan ilegal juga membuat populasinya kian punah. Lemahnya perlindungan satwa liar, sambung Nurul, menandakan masih terpusatnya ekosistem pada manusia saja.
“Padahal jika satwa liar punah ada ancaman serius terhadap keseimbangan ekosistem,” katanya saat sesi diskusi dalam FKE 2025 bertajuk Relasi Manusia dan Hewan di Tengah Kiamat Ekosistem.
Tak sebatas kritik atas relasi manusia dengan hewan dan tumbuhan, FKE 2025 juga menyoroti berbagai hal yang menyebabkan kiamat ekosistem. Dari sistem pangan, kepercayaan dan pengetahuan lokal yang tersisihkan hingga tatanan politik dan pasar ekonomi juga jadi sorotan.