- Konflik agraria di tengah Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City bergeser ke persoalan penetapan taman buru. Warga menolak penetapan sepihak, tanpa sosialisasi yang jelas.
- Apalagi patroli petugas kehutanan di taman buru tersebut melibatkan TNI dan Polisi. Sehingga membuat warga Rempang khawatir dan merasa diintimidasi.
- Tidak hanya itu kerjasama BKSDA dengan anak perusahaan PT Makmur Elok Graha dalam penghijauan kawasan membuat konflik di hutan buru meningkat. Kecurigaan warga penetapan taman buru sebagai modus memuncak.
- Menurut Burhan dari Yayasan Kehati seharusnya warga masyarakat adat bisa dijadikan Mitra di kawasan hutan buru itu, bahkan bukan tidak mungkin pemerintah mengakui keberadaan mereka.
Keresahan melanda warga di Kampung Tua Sungai Raya, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). menyusul keputusan pemerintah menetapkan sebagian wilayah kampung sebagai Hutan Konservasi Taman Buru (HKTB). Keputusan ini ternyata sudah keluar sejak 2023, melalui Suerat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 11216 seluas 2.650,28 hektar.
Selama ini warga baru dengar-dengar ada penetapan itu tetapi tidak ada informasi sama sekali dari pemerintah berwenang. Ketegangan mulai terjadi kala pegawai Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mulai masuk ke kampung untuk melakukan konservasi.
Petugas yang didampingi personel TNI dan Polri itu bahkan sempat terlibat cekcok dengan warga kala menyampaikan larangan membakar hutan.
“Mereka main masuk aja, bawa selebaran, tanpa pemberitahuan ke RT (rukun tetangga). Warga tanya surat tugas, tidak dikasih,” katanya, Senin (4/8/25). Kampung Sungai Raya masuk Kelurahan Sembulang dengan dua rukun tetangga.
Menurut Sopia, kehadiran oknum TNI-Polri itu membuat warga merasa terintimidasi.
Tommy Steven Sinambela, Kepala Seksi Wilayah II Batam Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau menyebut, cekcok antara petugas dengan warga Sungai Raya itu hanya salah paham. Saat itu, dia juga ada di lokasi.
Menurut dia, petugas BKSDA bersama TNI-Polri itu datang sosialisasi larangan membakar hutan guna mencegah kebakaran hutan. Dalam panduan patroli, selain TNI-Polri, petugas wajib libatkan kelurahan.
“Sebenarnya kita sudah hubungi RT dan RW setempat tetapi tidak diangkat,” katanya.
Tommy menyadari ketegangan itu terjadi karena warga masih trauma dengan konflik Rempang yang berlangsung tiga tahun belakangan.
“Masyarakat memang trauma sekali melihat kegiatan pemerintah, setiap lihat kegiatan pemerintah disebut ditunggangi sesuatu, padahal itu murni program pemerintah.”
Warga Sungai Raya memasang portal di setiap kebun mereka. Setidaknya, ada 200 lebih kepala keluarga yang mayoritas berkebun.
Masyarakat hidup di sana lebih 60 tahun lalu
Sopia merupakan warga Kampung Tua Sungai Raya. Da lahir dan besar di kampung ini bersama 10 saudaranya. Bapaknya asal Flores, ibunya asli Melayu Daik Lingga. Mereka mendiami kampung itu sejak 1950-an.
Menurut dia, ada bukti sejarah Sungai Raya kampung tua, seperti klenteng yang berdiri sejak 1883, dan tanaman seperti durian, rambutan, cempedak berumur ratusan tahun. “Perlu tiga orang untuk bisa memeluk batang pohonnya,” katanya.
Seperti 16 kampung tua lain, warga Sungai Raya juga ikut pemilu, mendapatkan program dari Dinas Kependudukan, BKKBN, Dinas Perempuan.
“Kalau ini hutan, dinas itu tidak akan turun, malah balai pertemuan kami basil dari dana pemerintah, pokir. Makanya aneh ini kalau disebut hutan buru, ini kampung,” katanya.
Sopia bilang, kabarnya hutan buru ini berlangsung pada 1986 tetapi warga baru mendapat sosialisasi pertama beberapa bulan sebelum konflik REC, 7 September 2023.
Warga menolak penetapan itu. Menurut mereka, Sungai Raya adalah kampung tua yang sudah mereka diami jauh sebelum ada penetapan itu.
Menyusul penetapan itu, petugas BKSDA gencar berpatroli dan melakukan penanaman.
“Sekarang mereka masuk kebun tak pernah lapor RT RW, kebun itu seolah-olah punya mereka, tidak ada melapor sama sekali,” katanya.
Belakangan, petugas memasang batas-batas kawasan hutan. Di plang itu juga tertulis ancaman sanksi hukum bila mencabutnya. Situasi itu membuat psikologi warga terganggu. Mereka merasa tak aman saat bertani atau berkebun. Mereka khawatir aktivitas mereka berbuntut pada proses hukum.
“Ketakutan itu ada terus. Misalnya kami bakar rumput kering, ditangkap nggak ya kami,” kata Sopia.
Secara ekonomi, dampaknya pun mulai terasa. Akibat larangan menebang pohon, mereka mengubah komoditas tanam hingga merugi.
BKSDA akui sosialisasi minim dan kawasan tak ada hutan alam
Tommy tak merinci alasan kampung Sungai Raya masuk dalam HKTB. Yang pasti, katanya, polemik akan penetapan HKTB itu lantaran sosialisasi belum maksimal karena personel terbatas dan warga tertutup.
HKTB di Pulau Rempang mengalami perubahan cukup drastis secara luasan dari tahun ke tahun. Saat penunjukan 1986,luas HKTB capai 16.000 hektar, sebagaimana SK. Menhut No.307/Kpts-II/1986 tertanggal 29 September. Pada 2015, turun menjadi 10.169,53 hektar. Bahkan, 2023, hasil pengukuran tata batas setahun sebelumnya tinggal 2.650,28 hektar.
“Kalau perubahan ini dari pihak Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengajukan kepada Kemenhut, setelah itu ditunjuk tim terpadu untuk melihat area yang diajukan,” kata Tommy.
BKSDA tidak mengetahui alasan pelepasan kawasan itu. Berdasar data untuk fasilitas publik, usaha peternakan, hingga permukiman warga.
“Kenapa baru ditetapkan 2023, itu saya tidak tau prosesnya gimana. Itu kewenangan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Sekalipun itu kami punya wilayah, tetapi yang menentukan tata batas dan menetapkan luasnya, BPKH.”
Tommy akui kondisi taman buru yang kini hanya berupa hutan sekunder 30%. Hutan sekunder ini, katanya, hutan yang sudah gundul kemudian tumbuh lagi dengan vegetasi masih kecil. Kawasan ini berfungsi sebagai penyangga air baku untuk Batam.

Dia mengaku telah meminta pemerintah pusat tidak lagi melepas kawasan itu untuk industri, meski sebelumnya sempat ada pengajuan untuk transmigrasi seluas 300 hektar.
Tommy mengaku, masih menemukan satwa dilindungi di lokasi. “Kami jumpai dua pelanduk mati, kantong semar masih banyak, ada beberapa jenis meranti ada disitu. Kami pikir sayang kalau misal rusak, sayang kalau masih ada, ayok sama-sama kita perbaiki, itu dari sisi konservasi ya,.”
Pada 2023, sempat ada pendataan warga di kawasan taman buru dan masuk dalam data SK Datim Area Terbangun. Mereka pun mengajak warga menjadi mitra kehutanan dalam pengelolaan KHTB.
“Jadi kalau masyarakat menganggap mereka mau diusir, kami tidak pernah buat statemen seperti itu. Karena merujuk pada skema UU Cipta Kerja itu, kami mengakomodir masyarakat dalam bentuk kemitraan konservasi, itu nanti lembaganya ada kelompok tani hutan,” kata Tommy.
Warga menilai, penetapan KHTB tak relevan. Selain terdapat kampung tua, hutan tersisa juga tinggal 20% yang didominasi tanaman warga. Karena itu, warga pun menuding penetapan itu sebagai modus untuk mengambil alih lahan warga.
Boy Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau amini pernyataan warga itu. Selain fakta lapangan menunjukkan kawasan itu berupa permukiman, keputusan itu juga tidak partisipatif dan abaikan hak warga.
“Mereka sudah lama kelola sebelum aturan-aturan itu ada.”
Dia khawatir, keputusan itu justru menjadi alat untuk mengkriminalisasi warga dengan dalih penegakan hukum.
Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) mengatakan, konsep KHTB sudah ada sejak 1980-an. Tetapi, UU Nomor 41/1990 tentang Kehutanan mengubah sebagai kawasan hutan untuk berburu.
“Sebenarnya ini konsep ditetapkan untuk tempat perburuan satwa liar, dan masuk dalam hutan konservasi.”
Dari sisi tujuan, kata Burhanudin, penetapan taman berburu jelas bertentangan dengan semangat konservasi modern yang menetapkan satwa tidak terpisahkan dari ekosistem.
“Indonesia saat ini berbeda dengan tahun 70-80 an yang masih banyak satwa,” kata Anggota Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) itu.
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia kini mengalami krisis hewan endemik. Karena itu, dia menilai penetapan kawasan hutan untuk berburu tak lagi relevan dengan etika ekologis saat ini.
Burhan berharap, ada penyelesaian tanpa kekerasan terhadap masyarakat di Pulau Rempang yang tinggal berhimpitan dengan KHTB. Menurut dia, ada jutaan masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan hutan sebelum aturan tentang kehutanan ada. Sebab itu, warga kampung tua di KHTB tidak dapat dipersalahkan.

Konflik terus bermunculan
Bukan tanpa alasan bila warga mencurigai ada kepentingan lain terkait penetapan KHTB. Hal itu tak lepas dari kerjasama konservasi antara Kemenhut dengan PT Mega Surya Artha Sentosa (MSAS), perusahaan dibawah Artha Graha Group, induk dari PT Makmur Elog Graha, pemegang konsesi pengembangan REC yang mendapat penolakan warga.
Tommy akui ada perjanjian kerjasama dengan MSAS yang mereka pasca konflik Rempang, Juli 2024 itu. Salah satu isi perjanjian itu adalah untuk penguatan fungsi terkait pemulihan ekosistem. Mulai dari penghijauan kawasan hingga pemasangan papan batas KHTB.
Alasan kerjasama itu, katanya, salah satunya karena penghijauan butuh biaya besar. Satu sisi ada swasta menawarkan untuk memperbaiki ekosistem itu. “Ketika ada mitra ingin menghijaukan kembali, kita positif thinking.”
Dia pun akui bila pembibitan dan penghijauan di KHTB berasal dari MSAS. Meski begitu, Tommy tegaskan bila tanggung jawab pengelolaan KHTB ini sepenuhnya ada pada Kemenhut.
“Perlu kami garis bawahi apapun terjadi itu di taman buru itu di bawah tanggung jawab Kemenhut, meskipun ada mitra MSAS.”
Dia memastikan tidak ada ‘penunggang gelap’ terkait penetapan KHTB ini. Keterlibatan MSAS, katanya, hanya sebagai mitra untuk memulihkan ekosistem dan penghijauan. “Tdak ada pengusiran kepada warga disana.”
Terkait penolakan warga atas penetapan KHTB ini, Tommy mengajak adu data bahwa wilayah itu adalah kawasan hutan. “Kita negara hukum, akuilah hukum berlaku, ada peta dari negara, itu kawasan hutan, kita saling menghargai saja,” katanya.
Saka, Ketua Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB) menyayangkan konflik agraria yang terus terjadi di Rempang. Menurut dia, keputusan pemerintah yang tidak berpihak kepada warga menjadikan rakyat terus berhadapan dengan negara. Buntutnya ancaman konflik terus bermunculan.
“Pemerintah selalu membawa aparat, hal itu akan bertabrakan terus. Artinya kami warga ini akan selalu dibenturkan dengan pihak aparat,” kata Saka.
Saka yang memimpin aliansi warga menolak proyek REC berharap pemerintah menghentikan segala praktik intimidatif dan berupaya mengambil hati dan kepercayaan warga. Karena jika tidak, apapun program pemerintah, masyarakat akan terus mencurigainya. Terlebih, luka akibat konflik fisik di Rempang belum pulih.
“Kecurigaan karena pengalaman masa lalu timbul terus. Akan terus menimbulkan pro kontra.”
*****