- Hiu paus adalah ikan terbesar di dunia yang populasinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), hewan laut itu dimasukkan ke dalam kelompok spesies terancam punah
- Di dunia, populasi hiu paus menurun hingga 50% dalam kurun waktu 75 tahun terakhir. Khusus di perairan Indo-pasifik, populasinya terus mengalami penurunan hingga mencapai 63%
- Hasil penelitian yang berlangsung selama 13 tahun ungkap temuan penting. Salah satunya, kawasan perairan bentang laut kepala burung (BKLB), sebagai habitat penting hiu paus. Di Teluk Cendrawasih, hiu paus bisa tinggal 77 hari, dan hanya 38 hari di Kaimana.
- Laporan riset ini juga ungkap adanya ancaman hiu paus karena faktor antropogenik seperti keberadaan bagan. Kendati pun luka robek serius, amputasi, dan bukti trauma tumpul jarang terjadi, namun, lecet menjadi hal umum yang terjadi pada hewan laut itu. Tim rekomendasikan yang haruskan modifikasi ringan pada bagan, termasuk penghilangan tepi tajam dari penyangga perahu dan bingkai jaring untuk hindari hiu paus terluka.
Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) di wilayah Indonesia Timur menjadi habitat penting bagi spesies hiu paus (Rhincodon typus), ikan terbesar di dunia. Riset panjang yang berlangsung antara September 2010-Oktober 2023 berhasil ungkap pola residiensi hiu muda yang betah berlama-lama di BLKB untuk capai kematangan seksual sebelum bermigrasi ke tempat lain.
BLKB merupakan wilayah perairan yang mencakup 26 kawasan konservasi laut dan menjadi titik utama sebaran megafauna laut dan keanekaragaman hayati laut tropis. Edy Setyawan, ilmuwan sekaligus ahli ekologi kelautan dari Elasmobranch Institute Indonesia tercatat sebagai pemimpin penelitian ini.
Penelitian selama 13 tahun itu secara spesifik mengamati secara komprehensif dinamika populasi, pola residensi, dan ancaman yang muncul terhadap hiu paus ini adalah yang pertama di dunia. Lokasi riset terfokus pada empat kawasan perairan di BLKB, yaitu, Teluk Cendrawasih, Kaimana, Raja Ampat, dan Fakfak. Di sana, tim peneliti menggunakan data berbasis identifikasi fotografis (Foto ID) pada pola totol dan garis unik tubuh hiu paus untuk mengidentifikasi perbedaan setiap individu.
Tim peneliti juga mencatat tanggal dan waktu setiap penampakan, koordinat sistem pemosisian global (GPS), jenis kelamin dan status kematangan hiu, ukuran, perilaku, serta luka-luka yang terlihat.
Melalui Foto ID, tim mengamati 1.118 momentum dan berhasil mengidentifikasi 268 hiu paus yang sebagian besar di sekitar bagan apung, 159 individu di Teluk Cenderawasih, dan 95 individu di Kaimana. Biasanya, hiu-hiu paus itu muncul saat memakan ikan umpan seperti teri, haring, dan sprat.
“Saat muncul ke bagan, hiu paus akan berenang dengan cara horizontal atau vertikal dengan kepala menghadap ke atas. Atau, cara lain dilakukan dengan mengisap langsung ikan dari jaring, itu biasanya menjadi salah satu penyebab jaring menjadi cepat rusak,” kata Edy dalam laporannya.
Rata-rata, katanya, hiu paus yang muncul berusia muda dengan ukuran 4-5 meter, dengan dominasi hiu jantan 90%. Sebanyak 52,6% hiu paus teramati lebih dari sekali dengan selisih waktu hingga 11 tahun. Namun, ada juga seekor hiu paus jantan yang teramati hingga 34 kali dalam tiga tahun.

Masa tinggal
Selain membedakan setiap individu, tim peneliti juga berhasil menemukan fakta bahwa hiu paus memiliki masa menetap (residensi) yang tinggi saat berada di Teluk Cendrawasih. Temuan itu membedakan hiu paus yang ada di lokasi atau negara lain.
Menurut Edy, tingkat residensi hiu paus di Teluk Cendrawasih mencapai rerata 77 hari, dan hanya 38 hari di Kaimana. Selain itu, lebih dari setengah dari total individu yang teridentifikasi lebih dari satu kali.
“Bahkan, ada dua individu masih terlihat berada ke wilayah ini dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun.”
Berdasarkan temuan itu, dia berani menyimpulkan bahwa BKLB sudah menjadi habitat penting hiu paus muda. Kawasan perairan tersebut sudah menjadi tempat mencari makan dan tumbuh kembang, sebelum nantinya bermigrasi ke laut lepas.
Saat ini, populasi hiu paus terus turun hingga 63% di seluruh perairan Indo-Pasifik. “Dengan demikian, keberlangsungan populasi hiu paus di BLKB sangat penting dalam upaya pemulihan populasi ikan yang terancam punah ini.”
Laporan riset ini juga ungkap adanya ancaman hiu paus karena faktor antropogenik seperti keberadaan bagan. Kendati pun luka robek serius, amputasi, dan bukti trauma tumpul jarang terjadi, namun, lecet menjadi hal umum yang terjadi pada hewan laut itu.
Insiden itu bisa terjadi karena hiu paus menggosokkan tubuhnya pada bagan atau perahu, atau akibat tabrakan. Karena itu, perlu adanya intervensi sederhana untuk menekan ancaman.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan satwa ini sebagai spesies terancam punah. Di Indo-Pasifik, populasi hiu paus turun 50% dalam 75 tahun terakhir, yang mencerminkan kondisi populasi hiu paus secara global.
Kondisi hiu paus yang memerlukan waktu 30 tahun untuk kematangan seksual menjadikan ancaman kepunahan itu semakin besar. Maraknya praktik perburuan sirip, daging, minyak hiu hingga kerusakan habitat dan jebakan jaring memperbesar ancaman kepunahan itu.

Jadi habitat pembesaran
Iqbal Herwata, Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia katakan, selama ini, perairan BLBK, khusus Teluk Cendrawasih dan Kaimana, memang sudah berperan sebagai pusat habitat pembesaran (nursery ground) bagi hiu paus muda.
Kalau hiu paus muda suka berkumpul di perairan BLKB, maka si betina dan dewasa atau matang secara seksual lebih banyak berkumpul di laut dalam.
Dia Herwata, Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia mengatakan, kecenderungan itu terjadi karena hiu betina dewasa bisa memakan mangsa seperti krill dan ikan bergerombol.
Dari data pelacakan satelit mendapati fakta bahwa hiu paus betina dan dewasa sering menggunakan laut dalam seperti ngarai dan gunung laut. Sementara, jantan muda tetap menjadikan perairan dangkal yang kaya akan plankton sebagai tempat berkumpul.
“Itu membantu mereka untuk tumbuh dengan cepat.”
Menurut dia, hiu paus memiliki dinamika populasi di empat lokasi dengan dominasi jantan muda yang rata-rata berukuran 4-5 meter. Hal itu menandakan, keempatnya adalah habitat pembesaran. Untuk itu, sangat penting melakukan upaya pengelolaan wisata berbasis bagan secara hati-hati untuk kurangi risiko hiu paus terluka.
Berdasarkan hasil riset, ada 76,9% hiu paus di BLKB terluka, mulai dari abrasi/goresan, sayatan, amputasi sirip, hingga bekas gigitan pemangsa. Dari jumlah itu, interaksi manusia melalui perikanan atau wisata bagan tetap tinggi, utamanya di perairan Kaimana. Sebab itu, tim merekomendasikan desain bagan ramah hiu paus, penerapan kode etik wisata, dan pengawasan ketat aktivitas perikanan serta pelayaran.
“Tim peneliti mendorong regulasi modifikasi bagan, seperti menghilangkan bagian tajam untuk mengurangi risiko luka saat hiu paus berinteraksi di sekitar bagan.”
Menurut Iqbal, konservasi hiu paus adalah tanggung jawab bersama, bukan oleh satu pihak saja.
“Bukan hanya ilmuwan, tetapi juga masyarakat, pelaku wisata, dan pelaut. Pariwisata hiu paus dapat menjadi penggerak ekonomi lokal, namun harus terkelola dengan aturan yang jelas agar tidak menimbulkan luka pada hiu paus maupun dampak negatif pada ekosistem,” katanya.
Dalam laporannya, tim juga rekomendasikan pengelolaan dan penelitian hiu paus, mendorong perluasan pemantauan dan identifikasi individu berbasis data foto ID lintas lembaga, melibatkan wisatawan, nelayan, dan masyarakat.
Dia juga usulkan penggunaan teknologi pelacakan jarak jauh (telemetry) dan perekaman data biologis (biologging) agar bisa memahami lebih dalam mengenai pola migrasi, struktur populasi, dan penggunaan habitat secara akurat.

Dorong modifikasi aturan
Mark V Edmann, Direktur Konservsasi Re:wild yang juga terlibat dalam penelitian ini ungkapkan, keberadaan hiu paus di Teluk Cendrawasih dan Triton adalah aset pariwisata berharga bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Pasalnya, di kedua lokasi itu, hiu paus memiliki tingkat kediaman dan penampakan ulang tinggi.
Namun demikian, harus juga menjadi perhatian, karena di waktu yang sama, risiko hiu cedera juga semakin besar. Sebab, saat hiu paus muncul ke permukaan, peluang cedera akibat akibat menabrak bagan dan perahu juga akan semakin bertambah.
“Kami berencana bekerja sama dengan otoritas pengelola kawasan lindung laut untuk mengembangkan peraturan yang mengharuskan modifikasi ringan pada bagan, termasuk penghilangan tepi tajam dari penyangga perahu dan bingkai jaring. Perubahan tersebut akan mengurangi luka pada hiu paus secara signifikan,” kata Erdmann.
Dari Indonesia, pihak lain yang terlibat dalam riset ini meliputi Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah (BLUD UPTD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kaimana dan Konservasi Indonesia.
Sedangkan dari mancanegara, ada Conservation International, University of Western Australia, University of Adelaide, dan Shark Research Foundation. Mereka berperan untuk memberikan masukan dalam analisis data dan penulisan studi.
Awal 2025, Konservasi Indonesia juga meresmikan pusat edukasi hiu paus di Desa Labuan Jambu, Kecamatan Tarano, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Fasilitas ini berhadapan langsung dengan Teluk Saleh yang menjadi pusat populasi hiu paus.
Pembangunan fasilitas itu bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang peran ekologis hiu paus. Proyek itu terbangun dengan dukungan Kedutaan Prancis yang mengucurkan dana senilai 500.000 euro.
Teluk Saleh menjadi perhatian, karena IUCN Shark Specialis Group sudah mengakui kawasan perairan itu sebagai pusat habitat hiu paus. Kawasan ini menjadi tempat mencari makan hiu paus dan koridor pergerakan di Bentang Laut Sunda Kecil (BLSK).
*****
Mengungkap Perdagangan Hiu Ilegal, Berbagai Modus Kelabui Aturan [2]