- Yayasan Srikandi Lestari (YSL), menemukan setidaknya 914 orang terdampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Mereka menderita berbagai gangguan kesehatan dari pernapasan sampai tubuh benjol maupun gatal-gatal dan penyakit lain.
 - YSL menilai, kondisi ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan limbah non B3. Karena, FABA mengandung logam berat dan senyawa beracun merkuri, arsenik, PM2,5, dan timbal yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
 - Selain kesehatan, dampak buruk lain PLTU Pangkalan Susu YSL temukan di sektor pertanian. Sering muncul hama wereng, ulat batang, cekek leher pada padi, hingga kekeringan. Juga, hujan asam, tanah kurang optimal yang menyebabkan padi tumbang, hingga penurunan tanah. Menurut Sumiati, hal ini mengindikasikan ekosistem mikro terganggu, terutama di lahan sawah yang dulunya tambak ikan dan udang.
 - Mongabay coba mengonfirmasi temuan ini dan meminta tanggapan Dedi Khairunas, Manager IPP dan Express Power PT. PLN (Persero) UID Sumatera Utara. Namun, enggan berkomentar banyak terkait hal tersebut. Dia hanya mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi fosil batubara untuk pembangkit listrik. Saat ini, mereka lebih fokus pada pembangunan atau proyeksi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).
 
Yayasan Srikandi Lestari (YSL), menemukan setidaknya 914 orang terdampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Mereka menderita berbagai penyakit dari pernapasan sampai tubuh benjol maupun gatal-gatal dan penyakit lain.
Temuan itu berdasarkan survei yang mereka lakukan Juni-Agustus 2025. Sebagian besar korban berada di tiga desa sekitar PLTU, Desa Pulau Sembilan, Sei Siur dan Lubuk Kertang.
YSL menilai, kondisi ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19/2021 tentang pengelolaan limbah non B3. Karena, FABA mengandung logam berat dan senyawa beracun merkuri, arsenik, PM2,5, dan timbal yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sumiati Surbakti, Direktur YSL, menduga PLTU Pangkalan Susu menggunakan batubara kualitas sangat buruk. Jenis batubara ini lebih kotor dan lebih mencemari lingkungan.
Asap pembakaran meracuni masyarakat lokal di sekitar pembangkit, dan limbah merusak pertanian. Kualitas air laut juga tercemar, berdampak pada nelayan kecil yang saat ini sulit mendapat ikan, karena mereka duga limbahnya mengalir ke laut.
Temuan mereka, masyarakat yang tinggal di lingkar pembangkit listrik mengalami penyakit pernapasan, dan batuk berkepanjangan. Penderitanya mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Ada juga yang mengalami batuk berdahak kronis dan iritasi kronis saluran pernapasan. Beberapa warga mengalami muntah-muntah. Dari rekam medis, indikasi gangguan pernapasan serta pencernaan, dugaan karena pencemaran udara dari asap pembakaran batubara.
Mereka juga menemukan masyarakat yang mengalami gangguan penyakit kulit seperti gatal-gatal. Penyakit ini menahun. Walau sudah pernah tertangani dan berobat ke dokter kulit, namun sulit sembuh.
Selain itu, limbah batubara yang mengalir ke laut atau ke udara terpapar ke warga. Ada dugaan, hal ini yang menyebabkan pembengkakan atau benjolan pada bagian tubuh tertentu.
Mereka menemukan pembengkakkan kelenjar beriringan dengan munculnya benjolan pada beberapa bagian tubuh, dugaan kanter, sehingga perlu tindakan operasi.
Ada juga penyakit kronis lain, seperti batu ginjal, banyak mereka temukan pada pekerja tambak yang berdekatan dengan PLTU.
Dia menduga, PLTU Pangkalan Susu membuang limbah cair dengan suhu 42 derajat Celsius yang bertentangan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51/2004 tentang Standar Kualitas Air Laut dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 8/2009 tentang Standar Kualitas Limbah Cair untuk Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Panas.
Berdasarkan regulasi, suhu maksimum 40 derajat Celsius. Dugaan ketidakhadiran filter abu terbang di PLTU Pangkalan Susu yang menggunakan batubara menjadikan situasi ini lebih mengerikan.
Menurut dia, dari hasil investigasi d serta data analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), PLTU Unit III dan IV Pangkalan Susu membutuhkan 89.200 ton batubara kelas rendah per bulan dengan kandungan kalori sekitar 4.200 kkal/kg.
“Penggunaan batubara untuk PLTU Pangkalan Susu secara ugal-ugalan ini, berdampak pada polusi serta mengganggu kesehatan masyarakat tinggal di lingkar proyek pembangkit listrik tersebut,” katanya, Selasa (26/8/25).

Menggerus sumber penghidupan
Selain kesehatan, dampak buruk lain PLTU Pangkalan Susu YSL temukan di sektor pertanian. Sering muncul hama wereng, ulat batang, cekek leher pada padi, hingga kekeringan.
YSL juga temukan hujan asam, tanah kurang optimal yang menyebabkan padi tumbang, hingga penurunan tanah. Menurut Sumiati, hal ini mengindikasikan ekosistem mikro terganggu, terutama di lahan sawah yang dulunya tambak ikan dan udang.
Hasil panen pun menurun meski telah petani semprot pupuk pestisida. Sisi lain, harga gabah naik Rp6.500, tapi keuntungan tidak maksimal karena biaya produksi lebih tinggi.
Ekosistem laut, lanjutnya, pun rusak. Penyebabnya polusi, limbah, dan sedimentasi yang PLTU hasilkan. Dampaknya, ekosistem tidak seimbang dan membuat hasil tangkapan nihil atau sangat rendah.
Hasil tangkapan nelayan yang minim terjadi pada nelayan di Desa Sei Siur. Mereka hanya bisa mendapatkan hasil tangkapan sekitar 3 kg saja sekali melaut. Pendapatan kecil itu tidak bisa menutupi biaya operasional yang mencapai Rp40.000-Rp50.000.
Sementara itu, hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting nelayan di Lubuk Kertang pun menjadi langka. Mereka hanya bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp25.000 saja, sedang modal operasional Rp65.000.
Di Desa Pintu Air lebih tragis. Nelayan perikanan kolaps, dan berhenti melaut. Sampan mereka jual, tambak pun berubah menjadi sawah.
Sumiati bilang, harga udang naik sekitar Rp70.000-Rp150.000 per kg, tetapi kelangkaan hasil tangkapan membuat nelayan merugi. Mereka terjerat hutang pada tengkulak atau tauke untuk kebutuhan sehari-hari.
“Nelayan beralih kerja ke sektor pertanian dan menjadi Buruh Tani, menjadi korban perdagangan orang, transformasi paksa ekonomi lokal dari kelautan ke pekerja serabutan menambah kerentanan serta kemiskinan struktural.”
Sementara, kelembagaan dan layanan publik masih lemah. Terlihat dari layanan kesehatan yang tidak optimal, walau warga yang mengalami berbagai penyakit terus bertambah.
Nelayan pun tidak memiliki perlindungan sosial. Karena mereka harus bergantung pada tengkulak yang bisa meminjamkan uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang berkurang karena hasil tangkapan menurun.
“Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, kami anggap gagal melindungi kelompok Rentan.”
Atas temuan ini, YSL memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, mendesak pemerintah mengurangi ketergantungan batubara dan beralih ke energi terbarukan ramah lingkungan.
Kedua, membentuk tim pengawas independen, melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi untuk memantau implementasi kebijakan lingkungan serta kepatuhan perusahaan. Ketiga, pemberian perlindungan sosial terhadap hak-hak masyarakat yang bekerja di luar kota, baik dalam sektor formal dan non formal, pemulihan wilayah kelola rakyat di sektor perikanan dan Kelautan serta melakukan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

Apa kata PLN?
Mongabay coba mengonfirmasi temuan ini dan meminta tanggapan Dedi Khairunas, Manager IPP dan Express Power PT. PLN (Persero) UID Sumatera Utara. Namun, enggan berkomentar banyak terkait hal itu.
Dia hanya mengatakan, Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi penggunaan energi fosil batubara untuk pembangkit listrik. Saat ini, mereka lebih fokus pada pembangunan atau proyeksi penggunaan energi terbarukan.
“Untuk penambahan pasokan listrik di Provinsi Sumatera Utara, kita lebih terfokus pada penggunaan energi baru terbarukan dan tidak lagi menggunakan energi fosil batubara. Di Sumut sudah tidak ada lagi pembangunan listrik menggunakan bahan bakar batubara,” katanya, Senin (25/8/25).
Tahun 2024, katanya, bauran energi baru-terbarukan Sumut mencapai 41,73%. Terbesar di Indonesia. Angka ini meningkat jadi 43,23% pada Juli 2025. Pembangkit hydro penyumbang terbesar hingga 54% dari energi terbarukan.
Mongabay juga coba meminta tanggapan Bobby Nasution, Gubernur Sumut, di hari yang sama tetapi dia enggan memberikan tanggapan ihwal temuan YSL soal dampak polusi batubara ini.

*****