- Tiongkok menguasai industri nikel di Indonesia. Penelitian Transparency International Indonesia (TII) menyebut investasi Negeri Tirai Bambu itu menguasai sekitar 75% kapasitas peleburan nikel, terutama di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Dominasi ini pun menimbulkan celah korupsi.
- Gita Ayu Atikah, peneliti Tambang TII mengatakan, posisi strategis ini memungkinkan perusahaan Tiongkok mendominasi perolehan nilai dan arus ekspor, bahkan tanpa secara langsung mengendalikan sebagian besar konsesi hulu.
- Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios) menegaskan, celah korupsi dalam tata kelola industri nikel menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia. Menurutnya, investasi Tiongkok ada di mana, tidak hanya di Indonesia. Tapi, di banyak negara, mereka menerapkan prinsip fleksibilitas dalam berinvestasi.
- Ginanjar Mardhikatama, Kepala Tim Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membantah Indonesia bergantung pada investasi Tiongkok dalam industri nikel. Pemerintah, katanya, terbuka dengan investasi dari negara manapun.
Tiongkok menguasai industri nikel di Indonesia. Penelitian Transparency International Indonesia (TII) menyebut, investasi Negeri Tirai Bambu itu menguasai sekitar 75% kapasitas peleburan nikel. Dominasi ini pun menimbulkan kerentanan korupsi.
Gita Ayu Atikah, peneliti Tambang TII mengatakan, posisi strategis ini memungkinkan perusahaan Tiongkok mendominasi perolehan nilai dan arus ekspor, bahkan tanpa secara langsung mengendalikan sebagian besar konsesi hulu.
TII mencatat, terdapat 116 proyek peleburan nikel yang sedang berjalan, baik sudah beroperasi maupun tahap pembangunan dan masih rencana, mayoritas perusahaan Tiongkok kuasai.
“Dominasi ini telah menempatkan Tiongkok sebagai aktor kunci dalam rantai pasok nikel Indonesia, mulai dari pemurnian hingga penyediaan bahan baku untuk pasar baterai kendaraan listrik (EV) global,” katanya saat rilis laporan terbaru TII, di Jakarta, Selasa (9/9/25).
Dia bilang, dominasi ini tidak lepas dari posisi Tiongkok sebagai negara dengan permintaan nikel terbesar di dunia, yang mencapai 64% dari kebutuhan global.
Sementara, Indonesia merupakan negara penyumbang lebih dari 50% pasokan dan cadangan nikel global. Sumber daya ini terkonsentrasi di Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Relasi ekonomi inilah yang juga membuat 98% nikel Indonesia mengalir ke negara Tirai Bambu itu. TII mencatat, nilainya mencapai US$38,0 miliar pada 2024 dan US$11,9 miliar pada 2020.
“Mengamankan pasokan komponen baterai telah menjadi prioritas strategis (Tiongkok). Mengingat peran kunci nikel dalam teknologi baterai, tidak mengherankan jika sumber daya nikel Indonesia yang melimpah telah menjadi target investasi utama bagi perusahaan Tiongkok selama dekade terakhir.”

Hilirisasi
Industri nikel mulai menggeliat saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprioritaskan proyek ‘hilirisasi’ pada periode 2014-2024. Jokowi melarang ekspor nikel mentah dan mendorong peleburan dalam negeri demi tujuan penambahan nilai pada komoditi mineral kritis itu.
Dua pemain besar, seperti di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) seluas 5.500 hektar di Sulawesi Tengah dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Kedua kawasan industri nikel itu masuk dalam proyek strategis nasional (PSN), yang menyediakan proses perizinan lebih efisien, insentif pembiayaan, dan pengawasan dampak sosial dan lingkungan.
Investasi Tiongkok berfokus pada sektor hilir. Mereka mengendalikan seluruh rantai nilai hilir nikel, dari pengadaan bijih mentah atau setengah jadi–baik melalui kontrak pengadaan lokal atau akuisisi perusahaan pemegang izin pertambangan hingga peleburan.
Juga pemurnian, misal, memproduksi nikel pig iron, feronikel, dan endapan hidroksida campuran, dan pemrosesan lebih lanjut menjadi bahan prekursor baterai.
Laporan menyebut, perusahaan-perusahaan, seperti Tiongkok Tsingshan, memimpin proyek peleburan di Morowali melalui anak perusahaannya PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), dan memiliki kemitraan strategis dengan perusahaan lokal dan badan usaha milik negara.
Di Halmahera Tengah, perusahaan Tiongkok Huayou Cobalt dan GEM Co. Ltd berkolaborasi dengan mitra Indonesia untuk memasok endapan hidroksida campuran (MHP) ke pasar baterai kendaraan listrik global, terutama Tiongkok.

Rawan korupsi
Dominasi ini membuka celah korupsi dalam industri nikel. Penelitian TII menemukan beberapa kasus saat perusahaan Tiongkok mengakuisisi perusahaan yang telah mengantongi izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) atau yang memiliki akses ke pasokan bijih nikel.
Praktik ini untuk menghindari proses perizinan yang panjang. Menurut Gita, tindakan akuisisi itu mengabaikan UU 3/2020 tentang Minerba. Temuan TII, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tidak melakukan audit terkait akuisisi itu.
Dia mengatakan, tidak ada proses sistematis untuk memverifikasi pemilik manfaat (beneficial ownership) yang sebenarnya di balik akuisisi perusahaan. Padahal, identifikasi ini penting untuk mencegah pencucian uang, penghindaran pajak, dan konflik kepentingan.
“Banyak perusahaan asing menghindari kewajiban ini dengan menggunakan nominee lokal, yaitu individu atau entitas yang secara formal tercatat sebagai pemilik, tetapi dalam praktiknya kendali tetap berada di tangan investor asing, tanpa mekanisme pengawasan atau verifikasi yang memadai.”
Celah regulasi juga mendorong praktik korupsi. Di Indonesia terjadi fragmentasi regulasi tata kelola industri nikel. KESDM mengatur izin hulu (IUP Eksplorasi dan IUP OP), sesuai UU 3/2020.
Sedangkan, Kementerian Perindustrian mengatur izin hilir pengoperasian smelter, lewat izin usaha industri (IUI) berdasarkan Pasal 104 UU 3/2020 beserta peraturan pelaksana.
Dia bilang, pemisahan tanggung jawab itu menciptakan pengawasan terfragmentasi, terutama terkait transparansi, supervisi, dan konsistensi kebijakan antara hulu dan hilir. Transparansi jadi terbatas karena tidak ada data terintegrasi yang dapat publik akses mengenai perubahan kepemilikan, volume produksi, dan sumber bijih nikel.
Praktik itu, katanya, menyulitkan pelacakan rantai industri nikel dari mulai tambang hingga smelter; juga melemahkan pengawasan publik. Tidak adanya sistem inspeksi terpadu antar kementerian juga mendorong celah lemahnya pengawasan.
Menurut dia, smelter tetap dapat beroperasi secara legal meskipun mendapatkan bijih nikel dari tambang yang tidak patuh aturan.
“Kerentanan ini meningkatkan risiko korupsi, eksploitasi berlebihan, dan ketergantungan ekonomi ketika perusahaan asing, termasuk dari Tiongkok berekspansi di sektor strategis seperti nikel. Koordinasi antar kementerian yang lemah dan kurangnya mekanisme peninjauan risiko investasi memperparah kesenjangan struktural ini.”

Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk Center of Economic and Law Studies (Celios) menegaskan, celah korupsi dalam tata kelola industri nikel menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia.
Dia mendorong Presiden Prabowo Subianto segera membenahi celah itu. Zulfikar menyebut. tidak bisa menyalahkan Tiongkok sebagai investor dari semrawutnya tata kelola.
Dari analisis mereka, ketika investasi perusahaan Tiongkok menerapkan prinsip fleksibilitas. Seharusnya, Indonesia yang berbenah memperbaiki tata kelola pertambangan nikel.
Perusahaan Tiongkok, katanya, fleksibel mengikuti kondisi dan aturan negara tempat mereka berinvestasi. Misal, di Peru, meski 97% ekonomi mereka bergantung pada investasi Tiongkok, tetapi tidak ada pekerja Tiongkok di sana mengikuti kebijakan negara itu.
Kondisi ini karena pemerintah Peru tegas membuat dan menjalankan regulasi secara ketat.
“Ketika rujukan kita kuat dan mampu menegosiasi, maka investasi China juga akan sehat.”
Sitti Rakhmawati dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyebut, pemerintah telah meluncurkan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (simbara) antar kementerian dan lembaga), platform digital data dan proses bisnis minerba dari hulu ke hilir secara terintegrasi.
Menurutnya, sistem tersebut menjadi salah satu solusi pencegahan korupsi dalam tata kelola industri nikel. “Jadi diharapkan tidak ada lagi gap antar kementerian (data), semua bisa ditelusuri di Simbara,” katanya.
Sementara itu, Ginanjar Mardhikatama, Kepala Tim Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengklaim koordinasi antara kementerian/lembaga sudah sangat solid terkait industri nikel.
“Dari sisi data, kami sepakat melakukan konsolidasi dan integrasi data.”
Pada Mei 2025, katanya, Kemenperin dan KESDM telah berkonsolidasi dan integrasi data terkait industri nikel dari hulu hingga hilir. Data itu, akan menjadi pertimbangan bagi KESDM menerbitkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) sektor pertambangan.
Dia juga membantah Indonesia bergantung pada investasi Tiongkok dalam industri nikel. Pemerintah, katanya, terbuka dengan investasi dari negara manapun.
“Kami membuka investasi luas-luasnya ke seluruh negara. Memang ada beberapa negara dulu sudah forth untuk investasi, cuma karena ada beberapa pertimbangan lain, memang tidak semuanya bisa prioritas berinvestasi di Indonesia.”

*****