- Katak betina memiliki taktik cerdas untuk menghindari perkawinan yang tidak disukai dengan katak jantan.
- Dalam sebuah penelitian, katak betina akan menggunakan berbagai taktik untuk menghindari jantan yang agresif. Mulai dari membuat suara palsu, berguling, hingga pura-pura mati.
- Perilaku ini adalah bentuk resolusi konflik seksual yang sangat ekstrem, sebagai mekanisme pertahanan terakhir bagi betina untuk menghindari perkawinan yang dipaksakan.
- Indonesia adalah pusat keanekaragaman katak dunia. Jumlah jenis amfibi meningkat dari 385 jenis pada 2014 menjadi 475 jenis pada 2024. Terjadi penambahan 90 jenis dalam sepuluh tahun terakhir. Pertumbuhan jumlah jenis yang signifikan ini dipicu kemajuan ilmu taksonomi di Indonesia.
Pernah mendengar suara katak yang nyaring selapas hujan? Itu pertanda dimulainya musim kawin. Katak jantan bersuara untuk menarik perhatian dan menunjukkan keberadaannya pada katak betina. Namun, tidak semua katak betina memiliki ketertarikan pada katak jantan.
Apa yang akan dilakukan katak betina ketika dipaksa kawin oleh katak jantan? Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa katak betina memiliki strategi pertahanan yang sangat unik untuk menghindari agresifitas katak jantan yang tak disukainya.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Open Science edisi 11 OKtober 2023, yang ditulis oleh Carolin Dittrich dan Mark-Oliver Rödel dari Institut Leibniz untuk Ilmu Evolusi dan Keanekaragaman Hayati di Jerman, mengungkap tiga taktik cerdas yang digunakan katak betina. Strategi terakhir yang paling dramatis adalah pura-pura mati.
Penelitian ini dilakukan pada jenis katak biasa atau European common frog (Rana temporaria) pada saat musim kawin. Perilaku katak jantan memeluk erat betinanya yang disebut amplexus, merupakan bagian alami reproduksi katak.
Bagi katak betina, berada dalam pelukan beberapa jantan (amplexus) adalah situasi berbahaya. Mereka bisa cedera, kehabisan energi, atau bahkan tenggelam. Berdasarkan penelitian tersebut, untuk menyelamatkan dirinya, katak betina akan menggunakan taktiknya.

Taktik pertama adalah mengeluarkan panggilan pelepasan (release call), yakni memalsukan suara dan betina berusaha membujuk pejantan yang memeluknya untuk melepaskan karena mengira itu adalah katak jantan yang lain.
Jika tipuan suara gagal, taktik kedua adalah rotasi dengan cara katak betina akan menggunakan tenaganya. Mereka akan berguling dan berputar di air dengan sangat kuat, untuk melepaskan diri dari cengkeraman sang jantan. Semua betina dalam penelitian ini menggunakan taktik fisik sebagai upaya kedua.
Jika kedua upaya itu gagal dan situasi semakin membahayakan, katak betina akan memainkan taktik ketiga sebagai upaya puncak, yaitu pura-pura mati.
“Mereka menjadi kaku sempurna, merentangkan keempat kaki ke samping dan tidak bergerak sama sekali, membiarkan diri terapung atau tenggelam secara pasif. Keadaan pura-pura mati ini disebut tonic immobility,” ungkap Dittrich dan Rödel, dalam penelitian mereka.

Dalam keadaan “mati suri” ini, yang berlangsung sekitar dua menit, betina tiba-tiba menjadi tidak menarik sama sekali bagi jantan. Sang jantan, yang mencari tanda-tanda kehidupan dan respons dari pasangannya, akhirnya kehilangan minat dan melepaskan pelukannya. Saat itulah sang betina “hidup kembali” dan segera melarikan diri.
Para peneliti menyimpulkan bahwa perilaku ini adalah bentuk resolusi konflik seksual yang sangat ekstrem. Mereka menyatakan perilaku pura-pura mati atau feigning death ini tampaknya berfungsi sebagai mekanisme pertahanan terakhir bagi betina untuk menghindari perkawinan yang dipaksakan.
Menurut Dittrich, meskipun eksperimen ini cukup berbeda dengan skenario dunia nyata, namun strategi-strategi ini telah diamati di alam liar. Strategi pura-pura mati untuk menghindari jantan yang tidak diinginkan telah didokumentasikan pada beberapa spesies hewan lain, termasuk capung, laba-laba, dan satu spesies amfibi lain: salamander (Pleurodeles waltl).
“Memahami perilaku kawin seperti ini dapat membantu mendukung upaya konservasi di masa depan, jika kita berusaha membiakkan spesies kembali dari ambang kepunahan. Meskipun katak eropa biasa lebih umum ketimbang spesies lain, jumlah populasinya telah menurun secara stabil dalam 17 tahun terakhir, akibat kurangnya hujan dan kekeringan,” kata Dittrich, dikutip dari Live Science.

Indonesia pusat keragaman katak dunia
Indonesia bukan hanya rumah bagi orangutan, badak, atau komodo. Negeri ini adalah hotspot keanekaragaman amfibi global. Dengan perkiraan lebih dari 450 spesies katak dan kodok yang telah dideskripsikan, dan puluhan lagi yang menunggu untuk dipublikasikan, Indonesia adalah salah satu pusat keanekaragaman katak terkaya di dunia.
Hanya dalam beberapa tahun, dunia ilmu pengetahuan dibuat takjub dengan temuan-temuan katak baru dari Indonesia. Sebagian besar adalah endemik, artinya tidak ditemukan di mana pun di dunia kecuali di suatu pulau atau daerah tertentu di Indonesia. Misalkan dua spesies baru katak bertaring dari Kalimantan, katak terkecil di dunia yang bersarang di daun dan juga katak melahirkan ditemukan di Pulau Sulawesi.

Amir Hamidy, Profesor Riset Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN, menjelaskan bahwa jumlah jenis amfibi di Indonesia meningkat dari 385 jenis pada 2014 menjadi 475 jenis pada 2024. Ini menunjukkan penambahan 90 jenis dalam sepuluh tahun terakhir. Pertumbuhan jumlah jenis yang signifikan dipicu oleh kemajuan ilmu taksonomi di Indonesia.
“Penambahan jenis baru amfibi di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan reptil. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi barcoding molekuler amfibi yang lebih maju dan database molekuler yang lebih lengkap dibandingkan reptil. Database molekuler untuk evaluasi taksonomi reptil masih memiliki ketersediaan yang lebih rendah dibandingkan amfibi,” ungkap Amir, dikutip dari BRIN, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, amfibi dan juga reptil memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, baik sebagai bagian dari rantai makanan, bahkan sebagai bioindikator.
“Beberapa jenis amfibi, seperti katak sawah dan katak tegalan, berfungsi sebagai predator yang membantu mengendalikan populasi invertebrata hama di ekosistem persawahan,” paparnya.
Referensi:
Dittrich, C., & Rödel, M.-O. (2023). Feigning death to avoid male coercion: extreme sexual conflict resolution in a frog. Royal Society Open Science, 10(10), 230742. https://doi.org/10.1098/rsos.230742
*****
Katak Terkecil di Dunia yang Ditemukan di Sulawesi, Ternyata Bersarang di Daun