- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Dayang Donna Walfaries (DDW), Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Timur, tersangka korupsi izin usaha pertambangan (IUP), Rabu (10/09/25). Masyarakat sipil menilai kasus ini menunjukkan masih banyak masalah dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan negara dan lingkungan rugi.
- Asep Guntur Rahayu, Pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, mengatakan, awalnya ROC ingin memperpanjang 6 izin eksplorasi tambang melalui koleganya yang berinisial IC dan SUG sebagai makelar ke Dinas Energi dan Mineral Kaltim. DDW meminta pihak terkait agar memproses dokumen perpanjangan tersebut dengan sejumlah fee sebelum AFI setujui.
- Mustari Sihombing, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, menyebut korupsi tambang tidak hanya merugikan negara, tapi juga merusak ruang hidup warga di tapak. “Yang dipertaruhkan tak hanya uang negara, tetapi ruang hidup rakyat. Hutan, sungai, lahan pertanian, serta keselamatan generasi yang akan datang.“
- Masalah tambang bukan hanya ada di Kutai Kartanegara saja, juga di Kutai Barat. Albed, warga korban tambang di Kampung Gleo Asa, Kecamatan Barong Tongkok, mengatakan, perusahaan tambang yang beroperasi di wilayahnya tidak memiliki izin.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Dayang Donna Walfaries, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Timur, sebagai tersangka korupsi izin usaha pertambangan (IUP), Rabu (10/9/25). Masyarakat sipil menilai, kasus ini menunjukkan masih banyak masalah dalam pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan negara dan lingkungan rugi.
Dayang merupakan putri mantan Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, juga terseret kasus ini, bersama pengusaha Rudy Ong Chandra.
KPK menduga, Dayang menyuap Awang untuk memuluskan perpanjangan izin eksplorasi IUP tambang batubara di Kaltim.
Komisi anti rasuah ini juga menetapkan Awang sebagai tersangka, namun menghentikan penyidikan karena meninggal dunia. Rudy berstatus tersangka dan KPK tahan sejak akhir Agustus lalu.
Asep Guntur Rahayu, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, mengatakan, awalnya Rudy ingin memperpanjang enam izin eksplorasi tambang melalui koleganya berinisial IC dan SUG sebagai makelar ke Dinas Energi dan Mineral Kaltim.
Dayang meminta, pihak terkait memproses dokumen perpanjangan dengan sejumlah fee sebelum Awang setujui.
Selanjutnya, kata Asep, Dayang mengatur pertemuan Rudy dengan Awang untuk menegosiasikan perpanjangan IUP tambang Rudy. Kepada KPK, Dayang bilang IC telah menghubunginya dan memberikan harga penebusan IUP Rp1,5 miliar.
Namun, Dayang menolak dan meminta uang lebih besar. “DDW (Dayang) meminta harga penebusan Rp3,5 miliar untuk 6 IUP tersebut. Atau naik dua kali lipat lebih dari harga penebusan awal,” ucap Asep di Kompas.com.
Asep bilang, Dayang dan Rudy sepakat dengan harga ‘penebusan.’ Keduanya lalu bertemu di hotel di Samarinda. Di sana, IC memberikan uang dalam pecahan dolar Singapura.
“Setelah terjadi transaksi, ROC (Rudy) melalui IC menerima dokumen 6 IUP dari DDW yang diantarkan IJ, selaku babysitter DDW.”
Atas perbuatan ini, KPK menyebut Dayang melanggar Pasal 12 huruf A atau pasal 12 huruf B atau pasal 11 Undang-undang 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KPK berpendapat modus suap untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk percepat dan perlancar penerbitan izin ini karena kawasan target pertambangan di wilayah yang tidak boleh ada izin.
“Pengusaha memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara supaya berbuat melanggar hukum,” kata Guntur.

Merusak ruang hidup
Mustari Sihombing, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, menyebut korupsi tambang tidak hanya merugikan negara, juga merusak ruang hidup warga di tapak.
“Yang dipertaruhkan tak hanya uang negara, tetapi ruang hidup rakyat. Hutan, sungai, lahan pertanian, serta keselamatan generasi yang akan datang.”
Catatan Jatam, dugaan korupsi IUP tambang yang melibatkan Pemerintah Kaltim mencapai luas 34.000 hektar dengan 7 IUP berada di Kutai Kartanegara.
Izin yang menyangkut ROC yakni Cahaya Bara Kaltim seluas 5.011 hektar, Anugerah Pancaran Bulan 4.810 hektar, Sepiak Jaya Kaltim 4.962 hektar, Anugerah Pancaran Bulan 5.018 hektar, Cahaya Bara Kaltim 5.016 hektar, Bunga Jadi Lestari 5.008 hetar, serta Tara Indonusa Coal 5.012 hektar.
Dia berpendapat kasus korupsi ini tidak tunggal. Ini adalah potret telanjang bagaimana penerbitan izin menjadi ladang bancakan.
Pemerintah, mengeluarkan izin tambang jor-joran. Kaltim sendiri memiliki 1.400 izin tambang batubara.
Tambang-tambang ini, katanya, merusak segenap infrastruktur alam. “Pemberian izin yang serampangan membuat ruang hidup rakyat tercekik. Lubang-lubang tambang menganga, sungai rusak, udara penuh debu batubara, dan konflik agraria pecah di mana-mana.”
Untuk itu, katanya, dia mendesak pengembalian enam izin yang terkait korupsi ini pada rakyat. Juga, pemulihan lahan yang rusak, dan pencabutan izin tambang-tambang itu.
Masalah tambang bukan hanya ada di Kutai Kartanegara saja, juga di Kutai Barat. Albed, warga korban tambang di Kampung Gleo Asa, Kecamatan Barong Tongkok, mengatakan, perusahaan tambang yang beroperasi di wilayahnya tidak memiliki izin.
“Kita tanya-tanya izin di situ tidak diberi.”
Berkaca dari kasus korupsi anyar ini, katanya, dia yakin yang terjadi di kampungnya karena ada uang pelicin. Pemerintah, sama sekali tidak melihat kondisi di tapak saat melakukan transaksi terlarang itu. Ujungnya, warga yang jadi korban.
Dia bilang, izin tambang di kampungnya merupakan kewenangan daerah. Dia heran pemerintah Kaltim bisa berikan izin di tengah pemukiman warga.
“Jelas semuanya tidak melalui persetujuan warga.”
Dia merasa tidak pernah pemerintah libatkan dalam konsultasi dan sosialisasi. Kemungkinan, katanya, pengurus kampung saja yang berbicara sepihak dalam proses tersebut.
“Mereka (perusahaan) mencatat bahwa ada semacam sosialisasi di masyarakat. Padahal, itu hanya sebagian.”
Akibatnya, lahan yang warga pertahankan jadi ikut rusak akibat aktivitas pertambangan. Limbah pun masuk ke lahan warga. Lalu, konflik horizontal kerap terjadi di kampungnya.
“Dulu warga ruku, sekarang tidak seperti itu lagi.”

*****